-Midnight Stories-

71 2 0
                                    

Setelah puas menasehati tiga orang yang membuatnya menunggu selama 30 menit, Tigris langsung membicarakan hal penting yang menjadi alasan mereka berkumpul disini.

"Kalian sudah tahu kan, bagaimana bisa sampai disini?" Tanya Tigris mengawali obrolan penting tersebut.

"Udah." Jawab Rendy cuek dan Arga mengangguk singkat.

"Baiklah, kal—"

"Bentar! Jangan diterusin dulu, gue mau pesen kopi ama roti bakar dulu yak." Potong Arnes kemudian berlari dengan cepat menuju meja pemesanan.

Rendy yang melihat gerak gerik Arga hendak berdiri langsung bertanya, "Boy, mau kemana?"

Arga hanya mengedikkan dagu kearah Arnes yang sedang menunggu pesanannya sambil berdiri tidak sabaran. Rendy yang memahami maksud Arga hanya menggumamkan kata 'Oh' meskipun dalam hati kecilnya dipenuhi banyak tanda tanya.

Memperhatikan interaksi 3 remaja itu, Tigris menjadi ingin sedikit ikut campur, "Sepertinya si pirang itu mempunyai ruang tersendiri di hatinya untuk Arnesia." Komennya melihat bagaimana tatapan Arga ketika mengobrol ringan dengan Arnes didekat para barista.

"Nggak tau. Tapi ngelihat sikap dia sejak tadi pagi sih kayaknya iya." Tukas Rendy dengan raut penasaran menatap wajah teman sebangkunya selama 3 tahun yang nampak lebih ekspresif ketika bersama si bar-bar itu. Eh, Arnes maksudnya.

"Harusnya sebagai teman yang baik kamu menyadari hal itu sejak lama. Dasar tidak peka." Cecar Tigris.

"Ya mana gue tau, dia suka ama si bar-bar apa enggak. Eh, tapi kalau diinget-inget kayaknya si Arga sering banget nyamperin Arnes kebangkunya. Ada aja alesannya, kalau nggak minjem pulpen, tipe-x, buku catetan, minta ajarin tugas, bahkan sesekali dia minta makanan aja ke bangkunya Arnes. Pernah juga gue ngelihat mereka beberapa kali pulang bareng." Jelas Rendy panjang lebar.

"Mungkin secara kebetulan kamu tidak memiliki hal yang dibutuhkan Arga saat itu, dan Arnesia memilikinya. Entahlah, tapi itu menurutku. Huft, terkadang kisah cinta para remaja memang sangat membingungkan." Ujar Tigris sambil mengamati orang-orang yang ada di cafe.

"Hm, bener juga sih pendapat lo. Eh, mereka udah dateng tuh." Tigris hanya menatap sekilas Arnes dan Arga yang sedang berjalan kearah mereka, tak lupa 2 nampan penuh berisi kopi dan roti bakar untuk mereka berempat.

Rendy yang melihat wajah Arga sedang tersenyum hangat terkadang merasa geli. Mengingat temannya yang satu itu jarang tertawa bahkan tersenyum ketika ia mengajaknya bercanda. Ya, cenderung datar.

"Lama banget, lo pesen roti bakar apa roti jepang." Sindir Rendy.

"Gais, ada suara tapi nggak ada rupa. Kok serem yah?" Balas Arnes seraya menatap ngeri disekitar mereka. Sementara Rendy hanya melotot melihat respon Arnes dan tak berminat menjawabnya.

"Eh, lanjutin yang tadi." Kata Arga sambil melihat kearah Tigris.

"Sebenarnya bukan sembarang orang yang bisa masuk ke tempat ini dan menemukan buku tersebut. Karena apa? Karena itu semua sudah direncanakan." Ujar Tigris sedikit demi sedikit menjelaskan alasan mereka berada di tempat ini.

"Direncanakan? Tapi kenapa harus gue yang nemu buku itu?" Tanya Arnes.

"Kalau untuk itu aku kurang tahu. Tapi yang jelas, siapa saja yang menemukan buku itu dan terdapat gambar Mawar Hitam di tangan kirinya, dia lah orang yang akan masuk ke tempat ini dan menerima konsekuensi atas apa yang ia lakukan. Yah, anggap saja disini tempat kalian merasakan karma." Jawab Tigris dengan raut serius.

"Kita dihukum gitu maksudnya?" Sahut Rendy tidak terima.

"Iya, semacam itu."

"Sampai kapan? Maksudnya sampai kapan kita bakalan diperlakukan kayak gitu?" Imbuh Arga dengan nada menuntut. Mengingat rasanya tidak enak diacuhkan hampir seisi kota.

"Sampai gambar bunga ditangan kalian hilang." Jawab Tigris singkat.

"Eh, Can. Lo kalau ngomong jangan setengah-setengah dong. Langsung lo jelasin semuanya. Kita kan juga nggak mau ditempat asing kayak gini terus." Tukas Arnes yang sejak tadi melihat percakapan ketiga orang tersebut.

"Baiklah, akan kujelaskan. Tapi tadi kamu menyebutku dengan nama apa?"

"Macan. Nama lo kan artinya Macan, Harimau. Panthera Tigris. Bener kan gue?" Jawab Arnes dengan bangganya.

"Ya, ya. Terserah." Sahut Tigris pasrah karena memang benar apa adanya.

Mereka  hening beberapa saat. Hanya suara orang-orang didalam cafe yang memenuhi indra pendengaran. Malam terasa semakin dingin, karena ada AC yang terletak hampir disetiap sudut ruangan. Ditambah hujan yang mengguyur kota tersebut sejak petang tadi. Beruntung mereka mengenakan pakaian yang agak tebal, tak terkecuali Rendy tentunya.

"Can, gimana caranya biar gambar bunga ditangan kita cepet ilang?" Tanya Rendy setelah diam beberapa saat.

Tigris menatap malas Rendy karena ikut menyebutnya dengan nama Macan. Sampai akhirnya dia menjawab, "Kalian harus banyak melakukan kebaikan selama disini. Apapun dan kepada siapapun. Lambat laun bunga yang ada ditangan kalian juga akan cepat menghilang. Setelah itu kalian bisa kembali ke tempat semula."

Ketiganya menganggukkan kepala seraya memikirkan hal baik apa saja yang harus dilakukan supaya bisa pergi dari tempat ini. Sementara Tigris hanya memerhatikan ekspresi dari tiga orang dihadapannya sambil sesekali menyesap secangkir kopi yang hampir dingin. 

"Gris, kita mulai ngelakuin hal baiknya kapan? Sekarang atau besok?" Tanya Arga yang mewakilkan kedua temannya.

"Ku pikir besok pagi saja, aku akan menunggu kalian disini tepat pukul 8 pagi. Jangan sampai telat seperti tadi. Oh iya, istirahat yang cukup ya malam ini, akan ada hal besar yang menanti kalian besok." Jawab Tigris dengan seringaian kecil sambil berdiri dari tempat duduknya.

Kursi cafe bergeser pelan pertanda pemuda sipit itu sudah pergi dari tempat ini. "Aku pulang dulu, see you soon little buddies."

"Sok misterius." Kata Arnes seraya menatap sekilas punggung tegap Tigris.

Arnes dan kedua temannya pun segera kembali ke apartemen masing-masing untuk segera beristirahat karena sudah malam semakin larut. Rendy pun menoleh kebelakang ketika matanya melirik Arga langkahnya sedikit diperlambat. Yah, mulai lagi batin Rendy.

"Jangan negtink dulu, gue yakin Tigris nggak bakalan ngapa-ngapain kita kok." Senyum Arga melembut seirama dengan usapan tangannya dilengan Arnes.

Arnes tahu dirinya sedikit baper dan naif saat ditatap seperti itu oleh Arga. "Hehe tau aja lo, iya gue agak takut waktu Tigris ngomong kayak gitu. Tapi gue nggak boleh takut kan ya Ga, kita harus berusaha supaya cepet keluar dari tempat ini!" Seru Arnes bersemangat sambil mengepalkan tangannya.

"Nah iya, bener banget tuh. Gitu baru Arnes yang gue kenal." Kata Arga masih tetap mempertahankan senyumnya. Namun tangannya sudah berpindah ke bahu Arnes.

"Giti biri Irnis ying gui kinil." Sindir Rendy menirukan ucapan Arga yang menurutnya sangat cringe.

Arga hanya menatapnya malas dan Arnes segera masuk ke dalam Apartemen tanpa menghiraukan ucapan Rendy. Ya, mereka segera beristirahat meskipun ada sedikit kekhawatiran dengan apa yang terjadi besok.


Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 18, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

The Fault In Our PastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang