Sudah berkali-kali Ardeen mengembuskan napas berat, melengos, terkadang mengangkat kepala, mengembuskan napas lagi—sampai wanita itu menoleh dengan bingung—ia masih belum sanggup menendang pemikiran sinting yang mulai berani melambai-lambai dengan meniup terompet: sarat ejekan.
Parkiran sepi, mobil, dan wanita ber-blazer ketat.
Namun, Ardeen segera membuang pemikiran gila itu. Berengsek! Barusan gue mikir apaan, sih?
Ketika Ardeen memukul-mukul dahi, wanita itu bersuara. "Buat yang kesekian kali, gerakan nggak jelas kamu itu ganggu mata saya banget."
Botol yang isinya sudah habis terkena umpatan Ardeen, sudah tidak berbentuk. Ardeen menendang kakinya sendiri, berdecak, dan merampas botol wanita itu ketika menoleh ke kanan. Sesuai dugaannya, masih ada sisa.
Tenggorokannya sudah tercekat dan Ardeen butuh apa pun untuk mengembalikan keadaan seperti semula. Dalam lima detik, setengah bagian yang lain habis. Wanita itu tiba-tiba memekik, "Ya, Tuhan ... apa yang kamu lakuin barusan, sih?!"
Ardeen mengangkat satu alisnya. "Kenapa?"
"Kenapa kamu bilang? Sadar nggak sama yang udah kamu lakuin?"
"Sebentar, saya bingung banget." Mata Ardeen melirik kanan-kiri, otaknya masih belum mampu memahami kalimat wanita itu. "Kamu kelihatan marah ke saya, selain soal penjahat itu. Kenapa, sih? Ada yang salah sama minum?"
Wanita itu menoleh ke bawah, memungut botol sebelumnya berakhir berdecak. Dua mata menyipit dengan bibir membentuk garis, memberi kesan sinis. "Ini bagian saya, terus kenapa kamu malah minum?"
"Oh, kamu ngerasa kehilangan karena itu? Udahlah, gampang. Nanti saya belikan lagi. Dua, tiga, atau kamu mau sekardus ... saya kabulin. Jangan bikin sulit hal yang sebenernya gampang. Bikin pusing kepala." Lalu Ardeen memasang sabuk pengaman. "Kenapa masih misuh-misuh, sih? Saya, kan, udah berniat ganti rugi soal itu. Keadaan juga yang—"
"Kamu bikin saya takut deh, asli."
"Saya bukan hantu." Ardeen mendapati gerak-gerik tidak nyaman dari wanita itu ketika berulang kali berusaha membuka pintu, berakhir gagal. "Apa yang bikin kamu takut? Udah dibilangin kalau saya bukan orang jahat. Bikin penjara penuh dan kerja polisi berubah dua kali lipat, nggak masuk bucket list saya. Entah buat beberapa tahun ke depan, atau nggak sama sekali. Ribet soalnya."
"Tapi, tindakan kamu—"
"Kamu ngomong yang jelas, jangan setengah-setengah begitu. Saya nggak punya kekuatan mind-reader."
"Itu karena kamu yang memotong omongan saya!"
Alih-alih ikut kesal, Ardeen berusaha menahan tawa. Baru kali ini dia menemukan orang yang ditolong malah merespons anti ramah ke yang menolong. Ardeen bertopang dagu. "Oke, lanjutin aja. Saya nggak bakal motong omongan kamu. I swear."
Hening yang tercipta beberapa detik Ardeen anggap bentuk persiapan dari sosok di sebelahnya. Hitungan ketujuh, mulai terdengar tarikan napas dan Ardeen masih memasang telinga lamat-lamat.
Apa lagi yang mau wanita itu konfrontasikan, sih?
"Kesalahan kamu banyak. Nggak, jangan pakai kata banyak, kayak berlebihan gitu. Pokoknya lebih dari satu. Dua atau empat, terserah," katanya. "Pertama, meski saya bingung, tapi tetap kesalahan. Saya tahu ini mobil kamu, tapi tindakan kamu yang sembarangan bawa saya ke sini sama sekali nggak sopan. Saya nggak tahu kamu siapa, berikut reputasi kamu di kehidupan sehari-hari itu kayak gimana. Ini bukan maksud saya berpikir negatif lagi,loh. Cuma waspada. Karena gimana pun, saya nggak kenal kamu, kan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
It Starts with Hello
RomantikPrioritas Marinka adalah pekerjaan walau masih melajang di umur tiga puluh tiga. Saking sibuknya, Rodheus saja yang orang bilang suami-able hanya berakhir jadi TTM, apalagi Ardeen, personel boyband Victory yang keras kepala? *** Marinka tidak menyan...
Wattpad Original
Ada 1 bab gratis lagi