Bab 1

184 37 8
                                    

Kamu adalah sebuah pensil dan aku adalah sebuah pulpen.

Seorang gadis menatap ruang kelasnya dengan perasaan tak karuan. Gugup. Mungkin itulah kata yang tepat untuk menjelaskan keadaannya saat ini. Dirinya bahkan tidak bisa melangkahkan kaki ke ruangan baru yang selanjutnya akan menjadi kelasnya itu. Berlyn, gadis yang akan menjadi murid baru di SMA Garuda itu menarik nafasnya berkali-kali.

" Huft... Tenanglah Berlyn, semua akan baik-baik saja!" gumamnya.
*
*
*

Tidak. Ia tidak baik-baik saja. Berlyn menatap puluhan murid yang kini tengah menatapnya. " ha... Hai? Namaku Berlyn Marline semoga kita cepat akrab," Berlyn tersenyum canggung, dirinya tidak terbiasa ditatap oleh banyak orang.

" gue mau nanya!" seorang gadis memakai kacamata bulat mengangkat tangannya. " lo! Lo kembarannya Audrey? Gue kira Audrey gak punya saudara kembar?" Usai pertanyaan itu dilontarkan hanya ada satu kata yang menggambarkan suasana kelas tersebut. Hening. Sangat hening hingga akhirnya terdengar sebuah suara lelaki yang memecah keheningan.

" mau dia saudara kembar atau nggak, itu bukan urusan lo!" lelaki itu menatap Berlyn dengan pandangan yang tidak bisa diartikan. " iya, aku saudara kembarnya Audrey semoga kita semua cepat akrab," Berlyn tersenyum simpul dan mulai terdengar tepuk tangan yang menandakan dirinya disambut di kelas itu.

" Kalau begitu silahkan duduk di kursi kosong lalu kita lanjutkan pelajaran kita," kata guru mereka yaitu Bu Dahyu. Berlyn tersenyum lalu menganggukkan kepalanya tanda mengerti dan duduk di samping lelaki yang menyahut tadi. Berlyn menatap lelaki di sampingnya. " hai? Nama kamu?" Mengerti akan pertanyaan Berlyn lelaki itu tersenyum lalu mengulurkan tangannya.

" gue Ryan, jangan suka natap gue entar lo baper," Berlyn tertawa mendengar ucapan Ryan. Berlyn dan Ryan sesekali bercanda di tengah-tengah pelajaran dan terlihat sangat akrab. Tanpa disadari ada beberapa orang gadis yang tidak menyukai kedekatan Berlyn dan Ryan.
*
*
*
Dua orang gadis berjalan dengan cepat menuju taman belakang. Seorang gadis mendorong Berlyn begitu keduanya sampai di taman itu. " udah puas? Kenapa lo ke sini? Mau malu-maluin gue?" Berlyn memegang tangan gadis di depannya. " Audrey aku gak bermaksud gitu. Aku cuman pengen ketemu kamu,"

Gadis yang ada di hadapan Berlyn adalah saudara kembarnya yaitu Audrey. Audrey menatap Berlyn dengan sinis.

" lo tau gak? Lo sama gue itu ibarat pensil dan pulpen. Lo pensil dan gue adalah pulpen. Kalau pensil membuat sebuah goresan yang salah maka akan mudah untuk menghapusnya dan tidak terlihat bekasnya. Kalau pulpen? Jika ada goresan yang salah mungkin bisa ditutupi tetapi, orang-orang akan selalu tau bahwa itu adalah sebuah kesalahan dan selalu akan diingat seperti itu,"

" maksud kamu apa Audrey?" Audrey menatap Berlyn tajam. " maksud gue, kalau lo ngelakuin sebuah kesalahan orang-orang akan ngelupain kesalahan lo! Sedangkan gue? Kesalahan gue akan selalu diingat selama lo selalu ada di deket gue," Perkataan tajam terlontar begitu saja tanpa mempedulikan apakah orang yang menerima perkataan tersebut tersakiti atau tidak.

" karena itu, gue mohon sama lo gak usah deket dan akrab sama gue," Audrey meninggalkan Berlyn yang menunduk menatap sepatunya dengan air mata yang ia tahan sedari tadi.

Ah... Hancur sudah mood Berlyn hari itu. Beribu-ribu pertanyaan terus bermunculan di kepalanya hingga dia ingin membenturkan kepalanya agar pertanyaan itu hilang. " sebenarnya aku salah apa sama kamu Audrey? Maaf... Maaf Audrey,"
*
*
*

Lapangan basket SMA Garuda kala itu dipenuhi dengan suara riuh dan teriakan para siswi yang dapat memekikkan telinga. Ryan Putra Pratama, seorang most wanted di SMA Garuda. Memiliki banyak kelebihan dari fisik, maupun kepintaran. Orang tuanya merupakan donatur terbesar SMA itu dan tentu saja Ryan memiliki fans tersendirinya. Berlyn tersenyum melihat permainan Ryan.

Teman barunya itu begitu hebat dan sangat menakjubkan tidak heran bahwa ia disukai oleh banyak siswi. Baru saja Berlyn ingin meninggalkan lapangan basket, sebuah tangan menariknya membuatnya membalikkan badan dan menatap orang itu. " Ry...Ryan?"

Dengan senyuman Ryan menepuk kepala Berlyn. " gue haus ke kantin yok!" Ryan menggandeng tangan Berlyn melewati lapangan basket.

" eh... Itu siapa tuh?"
" ih di gandeng Ryan omg!"
" pacar?"
" hello lebih cantikan gue,"
" itu kak Audrey?"
" bukan kayaknya itu kembarannya,"
" kembaran?"
" katanya kembaran kak Audrey sekolah disini,"
" seriously?"
" ganjen bat tuh cewek,"

Suara hinaan yang tertuju pada Berlyn membuat dirinya menutup matanya. Takut. Ia sangat takut dan tidak terbiasa mendengar hinaan itu. Tiba-tiba...

Hening. Ia sudah tidak mendengar apapun lagi. Berlyn membuka matanya dan melihat Ryan yang menutupi kedua telinganya  menggunakan tangannya. Dengan senyum lebar dan gerak mulutnya seakan mengatakan 'semua akan baik-baik saja' Berlyn tersenyum.

Ia melepas tangan Ryan yang menutup telinganya. Harusnya ia sadar, ia sudah punya seorang teman yang bisa membantunya. Untuk apa dirinya ketakutan mendengar hinaan itu? Seharusnya ia tidak takut karena ia hanya peduli akan pandangan teman dekatnya pada dirinya.









Yaho! Pemula disini.
Kalau kamu suka jangan lupa vommentnya!
Kalau gak suka skip ajalah •_•

Au RevoirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang