8 - What the-

2.4K 350 68
                                    

Naruto sudah menunggu hingga pukul setengah sepuluh, tapi Sakura tidak kunjung datang. Ponsel dokter itu tidak aktif ketika ditelepon, hingga membuat Naruto mencak-mencak sebab harus tetap disini lebih lama lagi.

Andai saja Sakura tidak memegang kelemahannya, Naruto akan pulang sejak pukul sembilan tadi, tepat setelah Hinata mengobati dahinya yang terluka. Sebenarnya, Naruto tidak terlalu keberatan berada disini asalkan Hyuga Hinata adalah seseorang yang tenang. Masalahnya, Hinata berbanding terbalik dengan definisi kata tenang. Perempuan cebol itu berisik, suka berteriak, benar-benar menyerupai bom yang bisa meledak kapanpun. Oleh karena itu Naruto ingin segera pergi karena tidak ingin telinganya tuli.

Naruto menatap Hinata yang berada di dapur dengan rasa bosan. Setelah perempuan itu mengaku akan membuatnya impoten tadi, Hinata justru memukul kepalanya. Ya ... sebenarnya hanya pukulan pelan, tapi Hinata benar-benar menyebalkan!

"Tidak dia, tidak Sakura, semuanya sama-sama menyebalkan." Ia kembali menghubungi nomor Sakura, namun panggilannya yang ke dua puluh lima tidak mendapat satupun balasan. Ia sudah mencoba menghubungi nomor Sasuke, namun ponsel pria itu juga tidak aktif. Naruto mulai berpikir jika Sakura dan Sasuke menjebaknya agar tetap disini——demi menjadi bodyguard si cebol——dan menjadikan aibnya sebagai alat kontrol. "Dasar sialan."

"Jaga mulutmu, terlalu banyak mengumpat itu tidak baik." Hinata datang dari arah dapur seraya membawa nampan berisi dua mangkuk mie instan. Selepasnya, ia meletakkannya di meja dan kembali ke dapur untuk mengambil minum. "Cih, mulutmu kotor sekali."

Naruto memberinya tatapan murka. "Sialan."

Aroma mie instan yang harum menguar di udara. Harum kuah kaldunya memicu cacing-cacing di perut Naruto untuk berdemo, meminta diisi setelah seharian belum makan apapun. "Apa ini?" tanyanya pada Hinata yang sudah memakan mie, ia menunjuk mangkuk hitam yang diletakkan tepat didepannya.

"Itu mie, astaga."

"Aku tahu! Maksudku dalam rangka apa?"

Hinata memasukkan untaian-untaian mie kedalam mulutnya dengan bantuan sumpit. Sebagian kuahnya membasahi sudut bibir, namun ia tidak berniat membersihkannya. "Karena aku tidak tahan mendengar suara perutmu, tolol. Aku sudah memintamu mencari makanan di luar tapi kau tidak mau, ya sudah aku buatkan mie saja." Hinata menatap tajam pada Naruto yang seolah skeptis dengan maksud baiknya. "Aku akan memukulmu jika kau tidak memakan mienya."

"Galak sekali," celanya, ia menatap mangkuk mienya yang belum terjamah. "Kau tidak meracuniku, kan? Dengan sianida atau semacamnya."

Mata Hinata terpejam sebab jengah dengan segala kekonyolan Naruto. Apa pria itu pikir ia seorang pembunuh? "Aku merebusnya dengan racun tikus." Ia meraih bantal sofa dan melemparnya ke wajah Naruto. Pria itu memekik, namun Hinata tidak peduli. "Cepat makan! Aku sudah berbaik hati membuatkannya untukmu!"

Naruto mendecih jengkel. Matanya menatap penuh keraguan pada mangkuk mie yang saat ini sudah berada ditangannya, takut bila Hinata menambahkan yang tidak-tidak kedalamnya. "Kalau aku mati, aku pastikan hidupmu tidak tenang," sinisnya, kemudian mulai mencicipi mie instan buatan Hinata.

Hinata nyaris tertawa muak saat melihat Naruto bertingkah seperti orang yang tidak makan selama bertahun-tahun. Pria itu memakan mienya dengan cepat, seolah lupa akan betapa tidak percayanya dia pada masakan Hinata. Ya ... walaupun hanya sekadar mie instan, kalau tidak dimasak dengan baik, rasanya tidak akan enak.

Persetan dengan harga diri, Naruto bahkan menghabiskan mie buatan Hinata kurang dari tiga menit. Sejak pagi, ia memang tidak sarapan dan kembali melewatkan makan siang. Niatnya sore tadi adalah mengisi perut setelah pulang dari kelab, tapi ternyata harus terjebak di apartemen Hinata karena ancaman Sakura.

"Bagaimana? Merasa sekarat tidak karena kau memakannya?"

Naruto mendengkus, lalu meminum air putih di atas meja. "Pokoknya jika besok perutku bermasalah, aku akan menuntutmu." Ia berujar sinis, menutupi harga dirinya yang anjlok sebab bersikap munafik. "Dapurnya disana, 'kan?"

Hinata mengikuti arah pandang Naruto, sebelah alisnya terangkat. "Satu porsi tidak cukup untukmu?"

"Aku ingin mencuci mangkuknya, dasar cebol." Naruto memegang gelas dan mangkuknya sebelum berdiri, ia masih memiliki sopan santun untuk tidak merepotkan tuan rumah. Meskipun sebenarnya ia malas membasahi tangannya malam-malam begini, ia tidak mau dikira seenaknya sendiri. "Hei, apa yang kau lakukan?"

Hinata menarik kaus belakang Naruto, menahan agar pria itu tidak pergi. "Biar aku saja," ucapnya, ia berniat mengambil alih mangkuk serta gelas Naruto, tetapi pria itu justru berlari ke arah dapur. "Hei! Sudah kubilang aku saja!"

Naruto berlari secepat cheetah kemudian berhenti di depan wastafel. Keran air itu sudah diputar, Naruto menambahkan sabun diatas spons dan mulai membersihkan mangkuknya yang sudah kosong. Sementara Hinata mencak-mencak ketika sudah menyusul dibelakangnya. "Apa, sih? Aku hanya tidak ingin merepotkanmu dan kau justru marah? Hei!"

Naruto tetap mempertahankan posisinya saat Hinata mendesaknya dari samping. Tapi, ya Tuhan! Bagaimana bisa tenaga seorang perempuan cebol bisa sekuat ini? Tubuhnya bahkan nyaris jatuh akibat desakan Hinata, beruntung mangkuk serta gelasnya masih berada didalam wastafel. Karena jika tidak, Naruto yakin dua benda kaca itu sudah pecah membentur lantai.

"Aku tuan rumahnya, ini seharusnya kewajibanku!"

"Tapi ini apartemen, bukan rumah!" Naruto berusaha mendekat, tetapi Hinata menyenggol tubuhnya dengan pantat. Lagi-lagi Naruto hampir terjatuh akibat senggolan Hinata. "Ya ampun! Kau benar-benar mirip gorilla!"

Hinata menulikan pendengaran, menutup telinga atas teriakan Naruto padanya. Sejak kecil, ia sudah terbiasa mencuci piring serta gelas dari tamu-tamu ayahnya yang kerap datang ke rumah. Rasanya aneh saja saat melihat orang lain mencucinya ketika ia menjadi tuan rumah. "Aku akan menyumpal mulutmu dengan spons jika kau memanggilku cebol!"

Naruto berdecak. "Dibantu justru tidak mau, dasar cebol aneh!"

Pria itu berlari menjauh saat Hinata berbalik kearahnya seraya bersiap melemparnya dengan spons. Ia menjulurkan lidah guna mengejek, lantas berhenti di sofa tadi. Oke, sekarang sudah pukul sepuluh kurang lima belas, tapi Sakura tidak kunjung tiba? Naruto sangat ingin menghancurkan alat-alat kosmetik Sakura jika dalam lima belas menit wanita itu tidak segera tiba.

Berjarak sepuluh detik kemudian, terdengar suara ketukan di pintu. Naruto bergegas membukanya dengan harapan itu adalah kedua temannya——yang maaf——sedikit bajingan. Tapi harapannya pupus saat mendapati orang asing lah yang berdiri didepan pintu, bukan Sasuke maupun Sakura.

Kedua pria itu saling bertatapan dalam kebingungan, sebelum Toneri membuka suara lebih dulu. "Bukankah ini apartemen Hinata?"

Naruto mengangguk pelan. "Ya, dia ada didalam. Kau mencarinya?"

"Tentu saja! Aku kekasihnya!"

Pria berambut pirang itu mengernyit.

WTF?!

•••


Lost And GotTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang