Enam

6.7K 420 4
                                    

Vanya

“Apa? Satu Minggu lagi?
Ayah menganggukkan kepalanya. “Iya, bukannya lebih cepat lebih baik?”

Gue cemberut setelah mendengar ucapan Ayah tadi, kalau gue bakalan nikah satu Minggu lagi, gila. “Tapi, nggak gitu juga, Ayah. Vanya belum siap.”

“Apa yang membuat kamu tidak siap untuk menikah?”

“Vanya nggak mau punya anak di umur 17 tahun “ jawab gue asal.

“Vanya, diberi kesempatan untuk menjadi orang tua adalah suatu keberkahan. Namun tenang saja, Ayah sudah memikirkan ini jauh sebelum kamu memikirkannya. Justin tidak akan menyentuhmu sebelum kamu lulus sekolah “ Ayah tersenyum. “Setelah menikah nanti, kamu masih bisa fokus sekolah. Tidak ada yang perlu di takut, kan Vanya.”

Gue nangis saat itu juga, iya gue tahu kalau ini permintaan terakhir Bunda sebelum dia meninggal. Tapi kenapa harus sekarang? Kenapa gak nanti aja kalau gue udah lulus kuliah. Gue, kan juga punya cita-cita kayak orang lain.

Terus gue juga harus ngomong apa sama Bianca dan Andri? Gue gak siap buat ceritain semua masalah yang sedang gue jalanin saat ini ke mereka. Gue takut mereka terbebani dengan masalah gue juga.

Ayah sepertinya kasihan sama gue, tapi kalo kasihan, kenapa nggak di batalin aja sih perjodohan ini. “Vanya, maaf kan Ayah ...”

Gue hapus tuh air mata secara kasar. “Mau bagaimana lagi? Bukannya Ayah senang lihat Vanya tertekan seperti ini?

                                  ***

Vanya

"Tumben lo gak banyak bacot." sindir Justin.

Ya, dia datang ke rumah gue lagi. Dan katanya mau ngajak gue diner romantis, itu katanya lho pas depan Ayah tadi. Nggak tahu tuh pas sampe nanti mau ngapain, paling juga di sana bakalan ribut sampai nanti salah satu dari kita ada yang mau ngalah baru pulang.

"Astaga perasaan gue salah mulu kalo deket lo.” kata gue sinis.

"Terserah lah.”

Gue memutar bola mata malas, lalu memilih memainkan ponsel dari pada harus ribut terus sama dia, padahal gak ada chat dari siapa pun yang masuk, tapi tetep aja gue geser-geser terus tuh layar ponsel, biar dikira sok sibuk sama Justin.

Pas buka Instagram, gue liat di situ ada sesuatu hal yang lucu, otomatis gue senyum-senyum sendiri dong, masa mau ngajak si Justin, dih ogah banget.

"Kenapa lo?” tanya Justin sok cuek bebek.
Gue menatap Justin sekilas. "Kepo lo."
"Terserah.”

Mobil Justin kini telah terparkir dengan baik di halaman restoran yang cukup mewah dan indah. Ternyata Justin benar-benar ngajak gue makan, gue kira mau di tinggalin di pinggir jalan pas tadi.

Sialnya, si Justin jalan duluan tanpa ngomong apa-apa ke gue, perasaan pas kemaren sikap dia gak gini, ya gak sih? Eh tapi bodo amat lah, emangnya gue pikirin.

Gue lihat Justin duduk di dekat jendela, dan gue samperin tuh bocah. Kini gue sama dia duduk saling berhadapan, namun gak ada niatan gue ataupun dia untuk memulai percakapan.

Sampai akhirnya Justin memesan makanan, ternyata dia juga gak lupa, gue di pesenin dong. Ya kalau gue sih apa aja mau ya, kecuali makan makanan bekas dia.

Setelah beberapa menit kemudian, makanan itu datang.  Gue sama Justin masih sibuk dengan pikiran kita masing-masing, saat makan, pun gak ada satu patah kata yang keluar dari mulutnya.

Gue kira ponsel gue yang bergetar, eh ternyata ponsel Justin. Gue liat gerak-gerik dia mulai dari ambil ponsel sampai ponsel itu dia dekatkan ke telinganya.

"Halo"

“...”

"Iya sayang sory, aku ke sana sekarang deh."

"..."

"Iya Beby.”

"..."

"Sekali lagi sory Beby, oke gua ke sana. Bye Beby.”

Tutt. Sambungan tersebut langsung terputus karena Justin yang mematikannya secara sepihak. Jujur, gue geli dengar Justin ngomong kayak tadi.

Gue natap dia yang lagi beresin barang-barangnya. “Kenapa lo?” tanya Justin sewot.

“Nggak!”

"Lo tunggu di sini, gue ke sana sebentar.” ucap Justin sambil mengeluarkan uang seratus ribuan. “Ini buat bayar makanannya.”

"E-eh lo mau kemana?” 

"Kepo lo, bentaran. Gua gak lama. Tungguin aja."
Sebenarnya dia mau pergi kemana coba?

                                  ***

Vanya

Sudah beberapa menit namun Justin tidak kembali ke restoran ini, gue lihat ke arah jam tangan, ternyata sudah menunjukan pukul 20.45, apa itu hal yang sangat penting bagi Justin sampai-sampai ninggalin gue sendiri kayak gini.

Namun jam 20.45 sudah cepat berlalu, dan sekarang sudah menunjukan pukul 21.30 malam. “Gila aja tuh cowok.” Kesal gue, mana batre ponsel gue mau abis lagi, ah benar-benar sial.

"Mbak maaf, sudah selesai kah makannya? Mau saya bereskan, lagian dari tadi saya lihat, mbak terlihat diam sambil memainkan ponsel" ujar wanita itu membuyarkan lamunan gue.

"Oh iya silakan, silakan bereskan. Ini uangnya, kembaliannya ambil aja. Saya permisi" kata gue kesal.

Gue gak tahu harus kemana setelah keluar dari restoran itu, bahkan gue gak tahu ini ada di daerah mana. Maklum, gue anaknya nolep. Jangan kalian tanya lagi soal perasaan gue sekarang, tentu takut. Takut di culik.

Mau nelpon, pun rasa-rasanya percuma, toh ponsel gue mati, batrenya abis.
Gue denger suara langkah kaki yang berjalan ke arah gue, jantung gue jedag jedug saat ini juga.

Gue lebih takut sama orang mabok dari pada sama hantu. Mungkin kalo hantu bisa gue bacain ayat kursi, lah orang mabok? Gue usir pake apa?

"Hay cantik.” sapa seseorang di belakang gue, kemudian berjalan semakin mendekat.

Dengan rasa takut, gue nengok ke belakang. “Pergi kalian!”

"Sayang, tidak boleh berbicara seperti itu sama Abang.” ujar preman yang badannya gemuk kemudian membelai pipi gue.
Astaga, sekarang gue harus apa...?

                             

Jangan lupa untuk vote dan komennya💘

Married With Fakboy [NEW VERSION]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang