"Denger - denger, cewek yang dimaksud Kak Pandhu itu Kak Renata ya?""Hah?"
"Kak Renata Srikandi IPA-2 itu?"
Padahal Rena hanya melewatkan sekolah sehari kemarin, tapi desas - desus itu langsung terdengar dimana - mana. Dia hampir terantuk kakinya sendiri saat mendengar obrolan itu di koridor. Ketika dia menoleh ke arah dua - tiga siswa yang sedang membicarakan itu, mereka buru - buru melesat pergi.
Mata - mata memandangnya dengan senyum dikulum atau bisik - bisik telinga, menggelitik kekesalannya tentang darimana dan bagaimana desas - desus itu menyebar.
Langkahnya berbelok melewati koridor kelas 10, menghindari depan kelas Pandhu, tapi dia justru menangkap dua anak yang pernah dikirim untuk kompetisi bowling bersama pemuda itu, berjalan di depannya.
"Udah gue tebak tipenya Pandhu itu Renata, hahaha..."
"Sama! Gue diem - diem aja karena dia nggak pernah nyebut nama. He thought he's subtle, padahal lihat aja mukanya tiap ngelihat Rena."
Keduanya tertawa sebelum berbelok ke arah perpustakaan. Dia mendengkuskan napasnya kesal, lebih karena teringat dirinya sendiri yang tidak menolak saat Pandhu menahannya untuk pergi, di depan Roweina dan Jinny kemarin. Di. Depan. Roweina. Dan— pasti mereka!
Pasti mereka biangnya. Siapa lagi?
Mengatupkan bibirnya rapat, Rena menyesalkan kenapa dia bahkan membiarkan Pandhu memegangi pergelangan tangannya selama berbicara dengan Roweina dan Jinny, meski hanya sebentar sebelum keduanya pergi, tapi—ish!
Bagaimana sekarang?
Ludahnya tertelan gugup saat dia memaksakan langkahnya menuju kelas. Tidak bisa dipercaya. Demi apapun, dimana Renata yang sebelumnya?
Lagi - lagi dia terkesiap, nyaris menarik langkahnya mundur ketika dilihatnya Pandhu berdiri di depan pintu kelasnya. Dan tidak ada celah untuk menghindar karena pemuda itu telah melempar senyumnya padanya dari jarak itu.
"Ren..."
"Lo udah masuk?"
Pandhu mengangguk. "I'm fine now."
"Baguslah..."
"Gue... " Pandhu menggaruk ringan ujung hidungnya, "mau bilang makasih banyak, sekali lagi—"
"Never mind," sahutnya, beradu tatap lurus dengan pemuda itu.
Semburat senyum terbayang dalam wajah Pandhu meski pada saat yang sama dia terlihat lebih serius.
"Juga... boleh gue minta 6 jam dari hari Minggu lo besok?"
Napasnya tertahan tanpa dia sadari, tercekat menatap Pandhu. "...buat?"
"Besok jam 12 gue jemput ke rumah lo." jawab Pandhu. "Kalo setelah besok gue masih jadi satu orang yang nggak bisa jadi temen lo, it's okay. Ijinin gue jadi temen lo buat 6 jam itu, Ren."
Tenggorokannya kering seketika. Renata menjatuhkan pandangannya, ke lantai, dan arah lain tapi tidak lagi ke sepasang mata berwarna madu milik pemuda itu. Ada kepanikan yang tidak masuk akal menghampiri dirinya, ditambah tatapan - tatapan anak - anak di sekitar mulai terpusat ke arah mereka, antara terkejut dan penasaran. Dia sengaja ngomong gini di depan anak - anak ya? pikir Renata, hingga kemudian Pandhu sedikit membungkukkan badannya dan menemukan tatapannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Serein
Short StorySerein (n.) the fine, light rain that falls from clear sky at sunset or in the early hours of night; evening serenity "Semua orang bisa jadi temen. Gue suka cari temen. Gue suka dapet temen. Dan kayaknya nggak ada yang nggak suka jadi temen gue. Kec...