May 6, 2019

32 4 0
                                    

May 6, 2019. 01.10pm
Mitha:
Mi, hr ini kaka gym bentar ya. Plg on time kok. Janji.

Mami:
Iy syg gpp. Kamu mau mami masakin ap?

Mitha:
Up to u sih Mi, asal jgn ad nasiny.

Mami:
Alright syg. Semngt ngegym ya 

May 6, 2019. 01.15pm
Papi:
Mi, papi plg telat ya. Ad meeting biasa klien bnyk maunya.

Mami:
Oh ya? Ato mau mami go-send aj laukny?

Mami:
Papi?

Mami:
Halo?

Mami:
Ping

Papi:
Ah maaf mi, ad klien mau ktmu aku di ruangan.
Ga perlu go-send kok mi. Nanti papi plg kok cm telat dikit.

Mami:
Oalah ok deh papi. Smngt syg :*

May 6, 2019. 01.20pm
Mami:
Syg kamu plg kmpus hr ini jm brp?

Indra:
Biasa mi jam 4

Mami:
Wah ok deh nanti lgsng plg ya nak.

Indra:
Hmmm, tp kykny aku mampir bntar deh mi
Ke tmpt Stefanus, biasa mi  tugas kelompok bntr

Mami:
Hmmm, ok deh nak abs itu plg y.

Indra:
Siap bu bos...

May 6, 2019. 01.05pm
Rey:
Jadi kan?

Mitha:
Oh pasti dong

Rey:
Aku ga mau ya telat-telat lg.

Mitha:
Iyaaa

May 6, 2019. 01.00pm
Sekretaris Sella:
Pak suruh ke ruangan ya?

Papi:
Oke Sella...

Sekretaris Sella:
Minumnya seperti biasa ya?

Papi:
Iya

May 6, 2019. 12.55pm
Mirabeth:
Sayang
SAYANGGG
Hei...
P
P
P
P

Indra:
Iya iya jdi sayang
Udh dlu ya aku lgi di kls nih

Mirabeth:
Kmu tuh ya
Situasi genting gini

Indra:
Kamu kira aku gak khawatir apa?
Udh ah mls brantm di chat

Mirabeth:
Awas kmu ga dtg

May 6, 2019. 04.10pm
Mitha turun dari mobil sedan metaliknya. Hadiah ulang tahun yang cukup fancy dua tahun yang lalu. Tentulah Mami perempuan yang mengurusi setiap tetek bengek keperluan anaknya yang berujung pada keinginan pribadi sang bunda.

Mitha meringis tiap kali teringat ibunya yang ingin menyulap anak-anaknya menjadi anak baik yang siap mengubah dunia dengan peran yang disiapkannya. Berkelebat ingatan jenaka bagaimana Mami memohonnya untuk ikut les balet padahal formulir pendaftaran karate sudah di tangan.

   “Kamu jalan sambil ketawa-ketawa kenapa sih?”

“Ah nggak. Ingat Mami di rumah aja.”

“Mami kamu sebaik itu ya?”

“Banget.”

Mitha segera berjalan memasuki gedung gym bersama. Tak lupa menggandeng tangan sosok yang sudah menunggunya lama di parkiran.

“Kamu selalu ya telat. Kebiasaan.”

“Yaelah macet loh dari kantorku, Sayang.”

“Alesan.”

“Udah ih kamu ngambek jelek tauk. Jadi ini mau bantu aku ngecilin perut? Udah kaya hamil dua bulan ini perut aku.”

“Hamil alkohol yang ada.” Sosok yang tak lain tak bukan adalah kekasih Mitha menoyor sekenanya.

May 6, 2019. 01.05pm
“Saya udah bilang kan, kamu gak perlu ke kantor kalo butuh apa-apa.” Ucap pria setengah baya yang sehari-hari di rumah dipanggil Papi. Matanya tak lepas menatap lekat pemuda tanggung berseragam SMP yang menghadapnya bahkan bukan di jam pulang sekolah.

“Saya tahu Pak. Saya ngerti. Tapi ini keadaannya genting.”

“Kamu tuh ya selalu saja datang ke saya kalo ada maunya.”

“Pak, dengerin Arga dulu.”

“Apalagi? Motor baru? Atau laptop game?”

“Pak!”

“Cepat kasih tahu, saya banyak kerjaan.”

Pemuda berseragam putih biru dengan rambut urakan itu menyodorkan sebuah amplop. Benar saja, isi amplop tersebut mampu membuat Papi berangkat dari kursi dan meraih kunci mobilnya.

May 6, 2019. 05.15pm
Ruangan bercat putih di keempat sisinya terasa lebih mencekam daripada jeruji besi. Bagaimana tidak, wajah cemberut Mirabeth yang tak berubah semenjak naik di boncengan dari parkiran kampus semakin membawa hawa perselisihan yang tidak mengenakkan. Sekarang wajah itu menoleh ke dinding, enggan menatap Indra.

“Gimana Dok?” tanya Indra tak sabar pada sosok berjas putih yang menghela napas sambil lalu pindah ke kursinya.

“Kalian ini. Aduh.” Yang ditanyai hanya bisa geleng-geleng kepala.

“Nggak kan Dok?” wajah Indra sumpah mati pucat diikuti dengan Mirabeth yang beranjak dari pembaringan dan duduk di sisinya. Masih memasang wajah cemberut.

“Menurutmu nggak? Dua bulan telat dan mual-mual tiap pagi?” cecar Mirabeth tak tahan melihat wajah pilon pacarnya.

“Ya, memang. Sudah 7 minggu. Selamat ya untuk kalian berdua.” Sang dokter tersenyum setengah iba.

“Mati aku!”

May 6, 2019. 06.35pm
“Mamiku sayang, maaf ya Mitha telat.”

“Hehe maafin Indra juga ya mi, biasa dari rumah Stefanus jalannya macet.”

“Papi juga telat,  aduh kliennya ribet banget mi.”

“Ah gak apa-apa, ini juga kita bisa kumpul Mami udah senang.”

Tiga beranak tersebut lalu memeluk dan menciumi sang ibu bersamaan. Hangat dan lekat mungkin definisi keluarga berencana ini di mata para tetangga, kolega, teman, atau orang-orang pada umumnya yang melihat mereka. Liburan keluar kota tiap bulan di akhir pekan ataupun pesta untuk merayakan berbagai perayaan mulai dari ulang tahun masing-masing anggota keluarga hingga ulang tahun perkawinan selalu membuat iri keluarga-keluarga lain yang tidak seharmonis keluarga ini.

“Ayo kita makan dulu, udah lewat waktunya. Ini Mami bikinin es jell-O kesukaan Kakak dan cheesecake kesukaan Adek.”

“Lah, kesukaan papa apa dong?”

“Tenang sop kepitingnya jadi menu Dinner, kok Papi.”

“Hehe, mama terbaik. Ayo Adek pimpin doa.”

“Ya Tuhan, terima kasih atas limpahan rahmat-Mu. Berkahi puasa kami agar kami selalu menjadi orang yang bersyukur dan merasa cukup. Terima kasih atas anugerah yang kau berikan berupa makanan yang sehat dan keluarga yang bahagia. Amin.”

Hening.

Hanya terdengar suara denting piring dan sendok.

Serta wajah yang saling menyimpan rasa yang mampat.

May 6, 2019. 05.20
“Sayang, aku serius. Habis lebaran kita pindah ke Belanda. Kan bos kamu juga sepakat kamu dipindah tugas ke kantor cabang sana.”

“Kenapa harus sejauh itu sih?”

“Kamu pikir bisa di sini?”

Mitha menelan ludah. Pacarnya benar. Tak bisa dilakukan di sini.

“Kamu serius kan sama aku?”

“Ya kalau gak serius kenapa juga aku bertahan 4 tahun sama kamu.”

“Terus? Masih ragu sama rencana ini? Kita udah bahas ratusan kali loh.”

“Nanti keluarga aku gimana? Aku sayang banget sama Mami.”

“Aku tahu. Kalau bisa juga aku mau datang ke rumah kamu, bantu Mamimu masak sahur, bikin kue lebaran, gosipin artis di TV, atau nemenin dia beli tas baru.” Air mata tumpah setumpahnya dari mata sang pacar. Clueless. Topik yang selalu berujung pertumpahan airmata tanpa pernah ada solusi sebagai penyelesaian ini harus segera diatasi tanpa penundaan untuk yang sekian kalinya.
Mitha menghela napas panjang.

“Baiklah kalau begitu.”

Ia menghapus airmata yang turun dari sepasang mata bundar kekasihnya.

“Mari menikah, Reynita. Di Belanda. Atau dimana saja yang melegalkan pernikahan kita.”

May 6, 2019. 05.30pm
“Kamu kenapa tidak bilang aku kalau selama ini keadaan kamu seperti ini?”

“Mas, aku tahu posisiku.”

Air mata mulai susut dari mata tua lelaki paruh baya ini. Di depannya tergeletak sosok yang sangat kurus di pembaringan dengan infus dan aneka selang yang terpasang di sekujur tubuhnya. Ia tak pernah tega melihat orang-orang yang ia kasihi dalam keadaan tak berdaya.

   “Sesuai isi surat dokter yang kamu baca, kamu tahu kan Mas, aku gak bisa lebih lama jagain Arga.” Ucap sang perempuan terbata-bata disambut dengan anggukan dipenuhi tangis sang lelaki.

“Buk, sekarang Bapak kan udah sama kita. Ibuk ga boleh pergi jauh Ma.”

   “Arga, kalaupun Ibuk pergi kamu gak akan sendiri. Kamu punya Bapak yang akan jagain. Kamu juga punya dua kakak. Yang perempuan namanya Mitha, yang laki-laki namanya Indra. Mereka juga akan jagain kamu, bukan begitu Mas?”

“Iya benar. Ibuk kamu benar.” Lagi-lagi lelaki itu mengangguk untuk sesuatu yang entah sanggup atau tidak ia penuhi.

“Buk, bisa ga sih kita hidup seperti keluarga Bapak? Setiap hari bersama tanpa sembunyi-sembunyi? Kenapa di saat terakhir Ibuk begini Bapak baru mau mengakui kita ada.”

Anak lelaki itu keluar sambil membanting pintu.

May 6, 2019. 05.40pm.
“Mir, kalau kamu mau berdebat sekarang bisa gak kita tunda dulu. Aku capek.”

“Oh, gitu? Kamu kira aku mau hah di posisi begini? Mengandung anak kamu padahal kuliah baru semester 3.”

“Kuliah bisa nanti Mir. Bukan itu yang buat pusing?”

“Lalu?”

Indra mengusap wajahnya berkali-kali tanda kebingungan dan lelah. Bagaimana tidak? Karena keteledorannya kini ia harus menanggung kehamilan Mirabeth.

Dan Indra tahu pasti, perempuan taat ini tidak mau membunuh jabang bayinya. ‘Yang kita lakukan sudah dosa, mau menambah dosa lagi dengan membunuh?’ begitu ucapnya setiap kali Indra berandai jika memiliki anak di luar nikah dengannya. Tak disangka andai-andai itu justru menjadi nyata. Yang tersisa penyesalan berupa ‘Andai tidak pernah melakukannya.’

“Pokoknya ya Ndra, kamu harus menghadap Romoku. Dia pasti ngerti kita kok.”

“Gak sesederhana itu Mir.”

“Kurang apalagi? Kalau sama bapak yang lain mungkin kamu udah dikejar pakai golok.”

“Mir.”

“Bapakku juga nerimo kalau kamu mau mengakui dosa ke dia.”

“Mir. Masalahnya bapak kamu bisa gitu karena dia pendeta Mir. Aku islam Mir. Ya memang kemarin-kemarin aku ikut ke gereja mau belajar. Tapi ga bisa secepat ini kita menikah. Mati aku Mir mati juga Mamiku kalau sampai tahu.”

“Oh kamu mau aku dan calon anak kamu aja yang mati?”

“Mirabeth. Kita bicarain lagi nanti.”

Sekonyong-konyong saja Mirabeth berlari memanggil taksi. Tak mengindahkan Indra yang pusing setengah mati.

May 6, 2019. 04.00pm.
Seorang ibu bertubuh gempal yang sangat dicintai keluarganya sedang sibuk menunggu cheesecake kesukaan anak lelakinya matang. Sup kepiting baru akan ia masak sesudah kue matang.

Betapa bahagia hidup sebagai nyonya rumah sepertinya. Anak-anak tumbuh menjadi anak-anak cerdas, cantik, dan ganteng. Suaminya selalu berada di posisi stabil sebagai direktur perusahaan terkemuka. Hidupnya selalu dilimpahi kebahagiaan materil dan moril. Tak perlu bersusahpayah ataupun terlibat drama seperti teman-teman arisannya kebanyakan.

  “Hidupku sungguh bahagia...” Ia memandangi oven yang menampilkan siluet kue mekar dan terlihat lezat.
Ia beranjak ketika bunyi ting terdengar dari oven. Mengambil kue dan meletakkannya di atas tatakan kue. Lalu tangannya membuka sebuah laci di kitchen set-nya. Ia mengambil sebuah botol berisi serbuk dan menaburkannya ke atas kue. Dan juga menaburkannya ke dalam daging kepiting yang siap di olah menjadi sup, begitupun ke dalam induk sirup es Jell-O. 

Setelahnya ia kembali meletakkan botol kaca tersebut ke dalam laci. Samar tertulis “Arsenic” di label botol. Botol kaca yang berdesakan dengan berbagai foto kebersamaan Papi, Arga, dan Ibunya Arga ketika bocah tersebut berusia 5 tahun, foto putrinya, Mitha sedang berciuman dengan seorang perempuan di kelab, dan juga foto sang putra yang berdiri bahagia bersama pacarnya dan ayah pacarnya di depan sebuah gereja protestan.

Ada pula berbotol-botol pil pereda serangan panik yang sudah bertahun-tahun ia konsumsi. Yang menjaga kewarasannya selama ini. Yang juga membantunya terlihat tetap bahagia. Memang ia pernah begitu bahagia...

“...tapi itu dulu.”

VIXITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang