Natalan Lena

21 3 0
                                    

"Lagi-lagi gak pulang, Teh?" suara di ujung telepon bernada agak naik. Perempuan berjas putih tersebut menebak si bungsu di ujung telepon sedang kesal-kesalnya.

"Teteh penuh jadwal operasi, Dito. Kan udah Teteh kasih tahu dari awal bulan juga." 

 "Ya ampun Teh, ini tuh udah berapa kali natalan Teteh gak pulang-pulang loh." Suara di ujung telepon terdengar gusar. 

 "Udah dulu ya pasien Teteh udah nunggu." Bip. Telepon dimatikan dari seberang. Ia tahu pasti Dito bocah ingusan yang menelepon setiap pertengahan Desember sejak ia berusia 13 hingga saat ini ia sudah mendapat ijazah dari bangku kuliah, tentulah kesal. Kesal tak pernah berhasil membujuk Tetehnya mudik untuk sekadar berebut membuka kado yang berserakan di bawah pohon natal. Adik bungsu memang menggemaskan. Tidak pulang saat hari raya bukan berarti si perempuan tidak pernah bersua dengannya. Beberapa kali bocah nakal itu nekat menabung dan mengunjunginya. Ia tertawa membayangkan pipi tembam Dito memerah karena marah.

 "Guten nachmittag Frau Browning?" Sapanya pada pasien yang sudah duduk menunggu.

***

Sore itu, langit Bandung serupa kue lapis warna-warni dengan cahaya mentari yang melesak di serat-serat tipis awan. Menyirami dedaunan yang masih basah oleh sisa hujan. Membawa romansa bagi gerombolan kupu-kupu yang siap mencumbu tiap kelopak mawar liar dan bougenvile yang ditanam di setiap trotoar. Bandung adalah tempat yang indah untuk jatuh cinta. Cinta berserakan di kafe, mall, terminal, jalan-jalan, dan tentu saja sekolah. Siap membawa siapa saja yang tertembak panah si Cupid mengalami geletar-geletar penuh hasrat di dada. 

 Di depan gerbang SMA, seorang remaja lelaki pucat pasi dengan kedua tangan tremor. Ia seperti melihat hantu. Mungkin hantu tercantik yang telah menghantui malam-malamnya yang membuat frustasi. Frustasi akan prasangka-prasangka seperti berkenankah hantu cantik itu untuk selanjutnya ku panggil Sayang? Sudikah ia ku jemput setiap pergi sekolah pun ku antar saat pulang? Tahukah ia bahwa puisi yang ku buat dan baca di kelas bahasa kemarin adalah puisi untuknya? 

 "Tadi Iqbal bilang mau bicara, bukan? Bicaralah." Si manis yang terlalu manis untuk disebut hantu itu memecah kekikukan dengan senyum menunggu jawaban. 

 "Ah, iya. Emmm... anu, Lena..." remaja bertubuh semampai itu seperti ciut nyalinya. Membuat Lena tambah bingung dan hanya bisa tersenyum kikuk. 

10 menit Iqbal tertunduk dan hanya sibuk mengulang kata Anu... Hmmm... dan Anu... Hmmm.... –lagi. Hingga sebuah mobil sedan hitam mengklakson pertanda jemputan Lena telah tiba. 

"Lena! Pulanglah denganku. Kita naik vespa keliling Bandung!" teriak Iqbal dengan wajah merah padam. Lena terdiam sesaat. Ragu-ragu lalu ia bercakap sebentar kepada pak supir. Lalu menghampiri teman lelakinya yang pastilah malu setelah berhasil mengajukan ajakan yang tertahan bermenit-menit. 

 "Ayo!" Lena tersenyum sembari menghampiri motor vespa bercat putih susu dengan berbagai stiker Bob Marley. Kontradiksi dengan empunya yang berambut tersisir rapi dan kemeja yang selalu menampilkan garis-garis setrika. Iqbal segera menghidupi mesin vespanya, tak lupa menyodorkan helm kepada si gadis. Bersiap menikmati cinta yang meruap seantero Bandung sore ini.

***

"Darimana Lena?" sosok bertubuh tegap dan bersuara berat itu sudah menunggu Lena di teras.

VIXITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang