Tentang Sahabatku Anila

34 5 0
                                    


"Dikatakan oleh angin

yang menghasilkan gelombang,

Jadilah besar bestari

Dan manfaat 'tuk sekitar.

Dikatakan awan hitam

Sebelum datangnya hujan,

Biarlah aku dikutuk

Dan engkau yang dirayakan."

(Saudade-Kunto Aji)

Aku mengenal dia sudah sejak lama. Bahkan ketika ia masih dalam buai. Bayi merah itu memiliki sifat penurut dan tidak senang membuat orang lain pusing. Bahkan ketika lahir, ia hanya menangis selama 30 detik agar ibu, bidan, serta para suster yakin ia lahir dengan kondisi tidak kurang apapun. Ayahnya yang takut darah pun tak perlu khawatir karena bayi perempuan ini lahir dengan ketuban bersih dan sedikit sekali darah nifas. Ia hanya ingin ayahnya tidak jijik untuk menggendong dan membisikkan telinganya dengan doa. Sejak ia lahir, ada-ada saja rejeki datang mengetuk pintu rumah keluarga kecil tersebut. Mulai dari borongan pekerjaan untuk sang ayah, peralatan bayi sebagai hadiah kelahiran, sembako gratis yang diberikan tetangga, tentunya kesemua ini membuat keluarga mungil itu dilimpahi hangatnya cinta dan perasaan yang disebut orang banyak sebagai keharmonisan.

Bayi kecil yang kemudian dipanggil Anila ini tidak pernah membuat ibunya susah. Bahkan ketika malang menghempas nasib, tawa berlesung pipitnya seolah berarti "No need to worry Mama, Papa!" perkara nasib memang aneh. Misterius dan kadang lucu dikirim dalam satu paket bernama takdir. Baru saja pasangan muda Laila dan Kandar menikmati status baru sebagai orangtua, masalah seolah datang tanpa permisi. Kandar, lelaki muda usia 22 tersebut harus mencecap dinginnya jeruji bui karena membela diri saat ia diserang seorang pemuda mabuk. Misterius, karena tak ada yang bisa menebak lelaki yang pagi tadi menimang anaknya di bawah sinar mentari ini akan meringkuk di dinginnya semen rumah pesakitan malamnya. Lucu, karena dalam kitab undang-undang buatan manusia tertulis bahwasanya seseorang bisa dikategorikan orang jahat saat melawan orang jahat.

Tapi lihatlah, siapa yang tak enyuh dengan bayi gembrot yang senang lagu Dodoy ini. Ia bahkan tak pernah menangis ataupun rewel seperti bayi-bayi kebanyakan. Ia seolah mengerti untuk tidak berakhir di depan panti asuhan atau bahkan bak sampah, ia hanya cukup menjadi bayi riang yang tidak membuat ibunya kehilangan akal sehat. Saban hari ia mengikuti ibunya mengambil upah cuci baju dari satu rumah ke rumah yang lain. Bos ibunya tak pernah merasa risih bayi ini tantrum atau mengacaukan isi rumah. Anila kecil duduk di sebelah ibunya bertemankan sebuah boneka beruang kecil yang muat di genggamannya. Tidak bergerak kemana-mana.

Orang-orang sekitar yang tahu keadaan dua beranak ini selalu memandang bayi mungil ini dengan tatap iba. Namun, sekalipun mereka tak mau menyinggung perkara nasib yang menimpanya takut mengiris hati sang ibu. Lagipula siapa yang sanggup berbicara tentang hal-hal yang sedih kalau melihat Anila kecil berpipi tembam yang memerah terkena sinar mentari? Siapapun tak sanggup untuk menahan hasrat menggendongnya. Ibu-ibu yang biasanya bermulut tajam mendadak melembut seperti peri-peri yang bernyanyi dengan larik-larik merdu. Bayi matahari, julukan orang-orang pada Anila kecil. Bayi yang sinarnya menyibak sekalipun awan tergelap.

Perkara pertemananku dengan Anila tak perlu dipertanyakan lagi. Aku adalah orang yang turut serta saat ia mencicipi sambal terasi untuk pertama kalinya. Anila 5 tahun segera menyukai rasa cairan merah yang gurih dengan sedikit rasa pedas tersebut. Aku juga turut serta saat pertama kalinya ia duduk di bangku sekolah dasar. Ia baru tahu nama panjangnya Anila Suksmawati pada saat Bu Guru memanggil daftar presensi. Anila bermakna angin dalam bahasa India, Suksmawati yang berarti wanita yang halus nan lemah lembut tutur kata dan sifatnya. Nenek yang mengajarkannya untuk mengacungkan tangan jika Bu Guru menyebut frasa 'Anila Suksmawati.' Aku juga saksi bagaimana anak kecil ini selalu berdiri di depan menyandang sertifikat peringkat 1 di setiap semester hingga kelas 6 SD. Anila anak matahari yang senang membaca ini juga membeli majalah Bobo pertamanya bersamaku.

Persahabatan aku dan Anila tidak hanya hangat di kala ia mencecap manisnya gula-gula kehidupan ataupun kebersamaan merajut mimpi berbantal bintang dengan cerita-cerita dahsyat yang biasanya menghiasi ruang imaji kekanak. Anila, seperti manusia lain yang juga tentunya mengalami hal-hal buruk dalam proses menuju kedewasaan. Aku adalah saksi bagaimana kerasnya nenek mendidik bocah kecil ini. Setiap kali nenek marah Anila kecil bersembunyi di bawah kolong meja. Anila kecil sudah akrab dengan kata-kata "Bodoh", "Anak Pembawa Sial", "Babi", dan "Bangsat". Iya, aku mengerti Nenek jengkel dengan ibu Anila yang suatu pagi meninggalkan bocah 4 tahun di depan pintu rumahnya. Namun, aku juga tidak mengerti mengapa anak sekecil ini dipaksa untuk mengerti hal-hal buruk yang menimpa dirinya.

Begitupun saat Anila baru saja meniup lilin 13 tahunnya, seminggu kemudian ia disekap seorang lelaki tambun yang mengaku kelas 3 SMA. Anila adalah gadis yang baru saja mengenakan rok biru kala itu. Ia pun kebingungan mengapa lelaki tertarik menyibak rok birunya. Ia juga tak tahu mengapa ia menangis saat darah mengalir dari sela-sela pahanya. Ia tak tahu apa namanya namun ia merasa sakit baik kemaluan maupun hatinya. Bertahun-tahun kemudian Anila menjadi anak pemurung. Ia berhenti bercerita denganku. Ia berhenti memintal mimpi pada malam hari. Ia juga berubah menjadi gadis pemarah. Bayi matahari yang dibanggakan banyak orang itu kini membakar ladang harapan dan rimba cita-cita.

Banyak hal-hal buruk lainnya yang dialami Anila remaja. Beragam orang datang dan pergi dalam hidupnya. Namun, tak sekalipun ia menoleh padaku, sahabat pertamanya. Aku sering membawakan boneka beruang yang tersisih di kolong tempat tidurnya, tak pernah ia gubris. Aku sering membicarakan lagi tentang buku-buku tulis berhiaskan gambar desain pakaian yang ia buat, namun tak pula hening dalam dirinya pecah. Begitu jauh jarakku dengan Anila meski kami tak sekalipun terpisah.

Diam-diam Anila sudah mengenal cinta. Pertama kali ia patah hati ia menangis sejadinya—hingga mimisan. Anila sempat berbicara dengan beberapa lelaki yang ia percaya. Namun, lelaki-lelaki tersebut tak benar-benar selalu berdiri di sampingnya. Paling lama 3 tahun seorang lelaki mampu membantu beban-beban yang dipikul Anila. Sebelum akhirnya meninggalkan Anila dan sebundel masalah di peron. Lelaki tersebut memilih kabur kemanapun asal tidak berjumpa Anila dan peti traumanya. Anila sering meminum obat tidur. Dengan dosis tinggi tentunya. Berharap tidur selama-lamanya. Tapi, aku selalu mengguncang tubuhnya bahkan pernah sekali aku menamparnya. Aku ingin ia terjaga. Aku ingin mata rubah itu melihat bahwa masih ada aku yang mencintainya. Sepenuh hati.

Hari ini Anila berulangtahun yang ke-22 tahun. Dengan isyarat jarinya, ia mengajak aku turut bersama membeli kue cokelat di toko roti. Ia juga membiarkan aku memilih lilin angka atau lilin kecil-kecil untuk dipasangkan di puncak bolu berlapis gula-gula tersebut. Lalu, kami duduk di taman. Taman masa kecil kami, tempat kami berlomba mengumpulkan biji-biji saga yang nyala. Hujan panas baru saja berhenti. Kupu-kupu beterbangan seolah girang mengincar bunga-bunga yang masih belum kuncup. Bau petrikor dan pelangi adalah bonus setelah hujan membuat jengkel warga sekota. Anila membuka kotak kue dan menyalakan lilin.

"Selamat ulang tahun Anila. Semoga damai selalu bersamamu." Ini adalah pertama kalinya Anila kembali berbicara padaku.

VIXITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang