Mengantar N

27 3 0
                                    

Senin, 10 Mei 2020

15.30

Di ruang petak dengan tembok seputih susu, duduk berhadap-hadapan dua orang wanita yang secara tampilan sungguh seperti langit dan bumi. Yang satu bertubuh jenjang dengan perawakan dewasa. Wajahnya manis namun matanya menyiratkan kobaran rasa ingin tahu yang mengintimidasi kebanyakan orang yang pernah berhadapan dengannya. Ia mengenakan kaus dengan kemeja yang tidak terkancing menyiratkan ia adalah sosok yang santai dalam melakukan pekerjaannya. Jemarinya yang lentik, bersahabat karib dengan pena yang tak henti ia ketuk ke meja bangku. Nadira namanya. Ia bagaikan si ratu dalam permainan catur. Tiap gerakannya memungkinkan skak mat bagi pion kecil di hadapannya.

Sementara, duduk di hadapan Nadira sesosok remaja tanggung dengan tubuh terlampau kurus dan mata cekung. Wajahnya pasi seperti melihat hantu. Berkebalikan dengan lekuk di sepasang bibirnya ia justru tersenyum. Senyum yang terlampau tipis untuk disebut sebagai sebuah senyuman. Namun, menyiratkan makna yang ganjil dan mampu menimbulkan perasaan tak nyaman bagi siapapun yang menghujamkan tatap matanya. Begitupun Nadira, ia cukup terganggu melihat keteduhan senyum 'terlalu' tipis tersebut. Timbul berbagai hipotesis bahkan sebelum ia bertanya apa-apa pada bocah tersebut. Selain senyumnya yang mengganggu, bocah tersebut menyambut uluran salamnya dengan sikap yang sekali lagi terlalu dewasa. Tanpa ragu ia mengucap namanya sebagai bentuk perkenalan. Persis seperti pelamar kerja yang terlatih melakukan wawancara kerja.

"Jadi, Mbak Nadira ingin mengetahui informasi apa dari Saya?" kata bocah tersebut tepat saat mereka duduk di bangku yang saling berhadapan tersebut.

"Baiklah, Rieka bagaimana kabarmu?" Nadira menghela napas. Ingat, Kau adalah ratu dalam permainan catur dan bocah ini hanya pion kecil yang menunggu giliran dijemput ajal, bisik Nadira pada dirinya sendiri.

"Saya makan teratur di sini, lebih teratur daripada di rumah. Saya juga cukup merasa senang karena teman sekamar saya sangat baik." Rieka membalas hujaman mata Nadira yang berkobar dengan batu es yang seakan mencelat dari matanya. Dingin yang tak kalah menusuk hingga ke tulang. Memaksa memadamkan bara semangat Nadira.

"Apa kamu tidak merasa menyesal?" Nadira tak tahan lagi untuk meluapkan panas ke atmosfer yang mencekam sebab dinginnya sosok si gadis 14 tahun tersebut.

"Menyesal? Mengapa harus menyesal setelah menolong seseorang?"

"Menolong?" Nadira sedikit terkekeh dengan jawaban yang terbungkus kepolosan tersebut.

"Ya, menolong seorang anak manis segera bertemu Tuhannya di surga. Kita selalu dijanjikan untuk hidup berbahagia di sisi-Nya, bukan? Aku hanya menolongnya untuk disegerakan tanpa menunggu lama."

Nadira mulai penasaran darimana bocah yang masih berseragam putih biru ini berbicara sefilosofis ini.

"Jadi Kamu tak merasa bersalah sedikitpun?"

"Apakah rasa bersalah adalah yang diharapkan orang-orang di luar sana dengar dariku?"

Nadira menyeringai. Bocah polos ini ternyata tidak terintimidasi sama sekali. Justru sebaliknya, ia yang berusaha mengintimidasi Nadira. Ia bukanlah pion kecil yang pasrah dibunuh sang ratu.

"Apa yang Kamu tahu dari N?"

"Ya dia seperti anak-anak tetangga lainnya. Suka menangis jika dilarang keluar rumah. Ia juga sering datang ke rumahku sejak usia dua tahun. Ibuku mengasuhnya."

"Apa Kamu merasa Ibumu pilih kasih karena kehadirannya?"

"Pilih kasih? Tentu saja tidak. Malah jika kasih Ibu tak cukup, aku turut memberikan kasihku lewat mengemongnya saat tidur siang. Dia sangat senang tidur siang di kamarku. Ia suka tembok merah muda di kamarku."

VIXITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang