Satu

21 3 0
                                    

Perempuan dengan perawakan tinggi, kepala dihiasi dengan kerudung warna biru, hidung mancung serta bibir tipis dan kulit yang hitam manis itu tengah menyibukkan diri dengan benda pipih di tangannya. Seakan pikirannya sedang dialihkan untuk saat ini. Tarik nafas dan embuskan, itulah yang dilakukannya sedari tadi. Sungguh berat baginya untuk membuat pikirannya tak terarah ke hal yang sebentar lagi akan terjadi. Perempuan itu tak ingin, namun harus dilakukannya.

Ia harus pergi dari tempat yang selalu melindunginya dari terik matahari, dari tempat yang selalu memberinya kehangatan di musim dingin dan harus pergi dari tempat yang selalu di pijakinya dalam setiap hari. Rumah itu, semuanya ada di dalam rumah itu. Ia akan selalu merindukannya, penghuninya, halamannya dan bahkan mungkin semua yang menyangkut tentang rumah itu. Sungguh berat rasanya meninggalkan tempat yang selalu ditempati selama hidupnya. Namun, sesuatu yang dimiliki saat ini harus ia relakan untuk meraih sesuatu yang ingin dicapai.

Tiba saatnya perempuan itu harus berpamitan kepada setiap orang untuk pergi meraih mimpi, dan tinggal dua orang yang selalu menemani hidupnya yang belum ia pamit.

"Kek, Dea pergi dulu. Do'ain, hiks ... hiks ... hiks..." Kalimat itu terputus dari bibirnya. Semuanya tertelan oleh tangis yang meledak. Ia tak sanggup, air matanya terus keluar dengan tak wajar membuatnya sulit untuk bernapas.

"Hei, kenapa menangis?" Tanyanya yang membuatnya semakin sesak. Tangan yang membelai pipinya, tangan ini yang akan ia rindukan. Bagaimana bisa ia harus meninggalkan orang ini?

"Hiks... hiks... hiks..." ucapnya yang hanya mampu menjawab lewat tangis dan air mata yang bercucuran.

"Aku hiks.. akan sangat hiks... merindukanmu hiks..." Jawabnya sambil sesenggukan.

"Kan, nanti bisa pulang lagi kalau liburan. Kenapa harus nangis?"

"Kan, lama hiks..."

"HAHAHAHA, Dea menangis," ejek seseorang di hadapannya sambil tertawa terbahak. Sedang si empunya  yang melihat itu hanya memasang wajah masam.

"Yang penting kamu belajar dengan baik, fokus sama kuliah mu dulu, ya. Nanti kan, kalau libur bisa pulang," Kakek kembali berucap untuk menenangkan. Dea hanya mengangguk sambil mengusap air mata, malu dengan orang-orang di sekitar yang tersenyum jahil sambil menatap ke arahnya.

"Tante, aku pamit. Do'ain. " Sekuat tenaga perempuan itu menahan tangis ketika bibirnya mencium punggung tangan Tantenya. Tante segera menarik kepala dan mencium kedua pipinya yang membuatnya kembali meneteskan air mata. Tuhan, kenapa berat sekali rasanya?

"Yah, nangis lagi," ejekan itu kembali terdengar dari orang yang sama. Kak Yuda, anak dari Bibi Tika, adik Ibunya.

"Bodo, terserah aku dong," jawabku sambil melap ingus.

"Dasar cengeng." Dea tak menghiraukan lagi ejekan itu sebab waktu sudah semakin sore. Ia harus segera berangkat sebelum terlambat dan bus meninggalkan dirinya sendiri.

"Aku pergi dulu, Assalamu'alaikum," pamit Dea sambil melambaikan tangan ke arah keluarga yang menatapnya tak rela.

Tidak ada yang merelakan suatu kepergian, hanya saja kebersamaan tak bisa dipaksakan untuk selalu bersama. Ada beberapa hal yang tak bisa dipaksakan berhenti; waktu. Ya, seiring berjalannya waktu, sesuatu yang kita inginkan pun akan pergi jua, entah itu kapan. Tugas kita hanya bersiap untuk merelakan.

Di balik kaca bus, Dea terus memusatkan pandangannya ke arah keluarganya. Di sana, orang tuanya, Kakek, Tante, Bibinya dan adik-adiknya perlahan meninggalkan terminal kala mobil beroda empat yang ditumpanginya meninggalkan tempat persinggahannya. Tarik nafas dan embuskan. Sedari tadi ia hanya mampu melakukan itu agar ketika kenangan bersama mereka muncul dalam fikirnya tangis tak lagi terjadi. Dirinya memang tak sendiri, ada beberapa teman yang ikut bersamanya menuju sebuah Kota yang akan menjadi tempat tinggal sementaranya.

Hingga pagi menjelang, sebentar lagi Dea akan sampai di kost nya. Dia berpikir, apa yang harus dia lakukan ketika sudah tiba nanti? Membereskan kamar kost nya? Rasanya tidak mungkin, sebab ada kakak dari keluarganya yang juga menempati kost itu, Kak Raisa. Jadi, tidak mungkin Dea harus membersihkannya lagi ketika ada penghuni di kamar itu. Lalu apa? Tidur? Rasanya tak begitu mengecewakan. Mungkin nanti Dea akan tidur sebentar dan mandi. Jangan lupakan untuk menelpon orang rumah.

Seminggu telah berlalu, waktu mengurus berkas-berkas perkuliahannya sudah ia laksanakan dan akan mulai berada di tengah kampus yang sudah ia daftarkan. Alat-alat perkuliahannya pun sudah ia beli, seperti: tas, sepatu, baju, dan buku pun sudah ia beli. Rasa penasarannya akan dunia perguruan tinggi akan terbayar beberapa hari lagi dan ia akan menjadi seorang mahasiswi. Ah, apakah Dea harus senang atau bersedih? Bersedih? Dea masih ingat bagaimana ia menangis, tidak mau meninggalkan Kakeknya. Jika mengingat itu rasa malunya muncul. Aish.

Namun, dirinya memang sudah tidak menangis lagi dibandingkan dengan temannya yang setiap hari menelpon orang tuanya dan berakhir dengan sebuah tangisan pilu. Hal itu membuat Dea sedikit risih. Bagaimana bisa seminggu telah berlalu dan temannya itu masih menangis? Hah, rasanya sungguh tak wajar.

Daripada memikirkan hal itu, lebih baik Dea tidur.

*??????*

Comeback, semoga cerita ini bisa membuat kalian betah dengan lapak ku. Memang agak sedikit lebay, tapi mungkin nanti kalian akan menyukai dan merasa menyenangkan jika kalian terus membaca.

😊😊😊😊

Asing di Pijakan SendiriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang