Seminggu sudah berlalu, namun sikap Anggi kepada Dea tak pernah berubah, yang ada Anggi selalu menyuruh Dea untuk melakukan ini dan itu, dan itu membuat Dea muak. Pernah suatu hari Dea tak menuruti permintaan Anggi namun yang Dea dapatkan adalah omelan dari sang Ibu tercinta. Dan untuk kali ini Dea benar-benar tak sanggup lagi mengikuti kemauan Anggi. Di pagi buta ini Anggi menyuruhnya untuk membeli bubur di depan komplek yang membuat Dea harus berjalan kaki dan membuat kakinya terasa sakit.
Sekarang Dea sudah sampai di depan gerobak penjual bubur. Sejenak Dea duduk mengistirahatkan kakinya yang pegal karena berjalan yang lumayan jauh. Setelah memesan bubur untuk dirinya, Dea dengan segera melahap bubur itu. Dirinya sangat lapar ditambah dengan berjalan kaki untuk membeli bubur adik laknatnya itu. Bodo amat jika Anggi marah padanya karena pulang terlambat. Dea akan menganggap angin lalu saja, yang penting dirinya sudah menerima asupan energi terlebih dahulu. Masalah Anggi akan Dea urus belakangan.
"Ini neng, yang dibungkus," ucap Bapak penjual bubur.
"Makasih, pak," balas Dea sopan. Setelah menerima kantong plastik itu Dea meninggalkan tempat penjual bubur tadi dan segera pulang.
Beda halnya dengan Anggi yang sedang mengomel di rumah menunggu kedatangan Dea. Mulutnya tak henti-hentinya menyumpahi Dea yang lama kembali.
"Dea kemana, sih? Dari tadi gue nunggu gak datang-datang. Gak tahu apa kalau gue lapar banget." Kakinya terus berjalan mondar-mandir tak karuan membuat sang ibu yang melihatnya pusing.
Tak lama kemudian, bel rumah berbunyi. Segera Anggi melangkah ke arah pintu utama. Dirinya berpikir mungkin itu adalah Dea yang pura-pura menjadi tamu pertama di rumahnya. Dengan perasaan dongkol Anggi membuka pintu. Mulutnya hendak memaki Dea namun diurungkan karena melihat seseorang yang asing baginya, dan sangat tampan menurutnya. Anggi merapikan rambutnya, menyelipkan beberapa helai rambut di belakang telinga.
"Dea nya ada?" Tanya orang itu yang membuat perasaan Anggi kembali membuncah atas rasa amarah.
"Ayo, masuk dulu. Kak Dea nya lagi diluar," jawab Anggi terlihat anggun.
"Gapapa. Saya tunggu di sini saja. Gapapa, kan?" Tanya orang itu yang diangguki oleh Anggi. Tak ingin meninggalkan laki-laki itu Anggi pun menemani laki-laki itu duduk. Lumayan sambil kenalan.
"Kakak temannya kak Dea?"
"Iya."
"Aku Anggi adiknya kak Dea." Kalimat itu hanya diangguki oleh laki-laki itu. Anggi yang melihatnya tak gentar untuk bertanya lebih jauh lagi. Siapa tahu dia bisa mengorek tentang Dea dan menjauhkan Dea dari keluarganya.
"Kakak kenal kak Dea dari mana?" Tanyanya lagi yang membuat laki-laki itu menatapnya intens.
"Kenal Yuda, kan? Gue temannya Yuda. Makanya gue tahu Dea. Dan sebelumnya kita emang udah ketemu," jawabnya sambil mengetik sesuatu di layar ponselnya.
Anggi membulatkan mulutnya hanya ber oh ria. Laki-laki di depannya ini sangat tampan menurutnya, Anggi penasaran hubungan apa yang tengah dijalani oleh Dea dan laki-laki di depannya. Tidak mungkin hanya sekedar teman, pasti ada yang lebih. Ingat bahwa ia belum tahu siapa nama laki-laki di depannya, Anggi berniat untuk menanyakan namanya. Namun, niatnya terurung karena laki-laki di depannya ini sepertinya tengah menghubungi seseorang, terlihat jelas saat benda persegi itu menempel di daun telinganya.
Setelah benda itu tak menempel lagi di telinga sang empunya, Anggi membuka suara untuk bertanya pada laki-laki yang tak diketahui namanya ini.
"Em, kakak namanya siapa?" Merasa dirinya ditanya, laki-laki itu mendongak, menatap orang disampingnya.
"Abi," jawabnya sekilas. Anggi menatap takjub pada laki-laki di depannya ini. Sangat tampan, pikirnya. Tak apa jawabannya hanya satu kata, namun Anggi suka pada perawakannya yang tampan ini. Akan Anggi cari tahu lebih pada Dea nantinya.
Bunyi gerbang dibuka membuat Anggi menolehkan kepalanya ke depan, begitu pula dengan Abi yang berusaha menghubungi Dea lewat chat yang tak kunjung terbalas, Jangankan dibalas di read saja tidak. Panjang umur, orang yang dihubungi Abi dari tadi tengah masuk dan menutup kembali gerbang yang dibukanya. Sepertinya Dea belum menyadari kehadiran Abi. Hendak Anggi memarahi Dea, namun terurung mengingat ada Abi disampingnya, dirinya harus terlihat anggun dalam memperlakukan kakaknya, Dea. Sedangkan Abi langsung berdiri dan berjalan ke arah Dea yang tengah menenteng sesuatu di tangannya.
"Gue hubungi Lo dari tadi, kenapa gak balas chat gue?" Dea mengerjap beberapa detik karena kaget dengan kehadiran orang yang tiba-tiba berada di depannya setelah membalikkan badan.
"Hei," panggilnya lagi membuat Dea sadar.
"Lo, ngapain di sini?" Menghiraukan pertanyaan orang di depannya dengan segera Abi menunjukkan ponselnya yang menampilkan panggilan ke nomor Dea. Tak ada dering sama sekali membuat Abi menduga bahwa perempuan di depannya ini tak membawa ponsel.
"Jangan bilang Lo gak bawa ponsel?" Dea mengangguk sebagai jawaban dan mengambil langkah di sebelah kiri Abi untuk segera masuk dan memberikan bubur kepada seseorang yang tengah menatapnya sambil tersenyum. Dea merinding dibuatnya, tumben sekali Anggi tersenyum seperti itu. Dea curiga.
"Buburnya," ucap Dea memberikan sekantong plastik kepada Anggi.
"Makasih, kakak." Mendengar itu Dea memicingkan matanya bingung. Namun, suara seseorang dibelakangnya membuatnya mengalihkan tatapan.
"Lo belum jawab pertanyaan gue. Jadi, Lo harus jelasin sama gue. Sekarang ayo ikut gue," ucap Abi menarik tangan Dea untuk mengikuti langkahnya. Beberapa langkah Abi berjalan, dirinya berbalik menatap datar pada Anggi yang menatapnya bingung.
"Gue pinjam kakak Lo."
Setelah mengatakan itu, Abi melanjutkan jalannya diikuti oleh Dea yang memberontak tidak ingin mengikuti Abi. Namun rasanya percuma, tangannya digenggam erat oleh Abi menyuruhnya untuk mengikuti langkah Abi yang terlihat santai namun tegas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Asing di Pijakan Sendiri
De TodoKehilangan merenggut sebagian kebahagiaan. Dan kebahagiaan akan terselip kesedihan, walau sedikit. Tak ada yang abadi, keduanya selalu mengikuti. Kapan pun itu, dalam keadaan apapun. Namun, kesedihan tak akan selalu menemani, bukan? Akan ada kebahag...