Lima

5 1 0
                                    

Semakin hari kondisi kakek semakin memburuk, kata Dokter ini adalah faktor usia. Usia kakek memang sudah tua. Bahkan rambutnya sudah dipenuhi dengan uban. Bukankah itu sudah menandakan bahwa usianya memang tua?

Dea hanya bisa tersenyum kepada kakeknya agar tetap semangat menjalani hidup. Dea tahu yang datang akan pergi. Hanya saja, Dea sedang belajar untuk merelakan. Walau Dea tak tahu kapan itu akan terjadi, yang jelas Dea merasa bahwa tidak akan lama lagi. Sepanjang hari Dea bersujud, meminta kepada Sang Pencipta untuk selalu melindungi keluarganya, memberinya umur panjang dan kesehatan kakeknya agar segera berkumpul bersama lagi seperti hari-hari sebelumnya.

"Kakek, mau makan? Biar Dea suapin," tawar Dea kepada kakeknya yang diangguki oleh sang kakek.

Dengan telaten Dea menyuapi kakeknya, membersihkan bekas nasi disekitar bibir kakeknya, memberinya minum ketika selesai makan. Dea bahagia dengan keadaannya yang bisa merawat kakeknya seperti sekarang. Bahkan anak-anaknya yang lain meminta untuk digantikan, namun Dea enggan.

Hingga pagi hari tiba, Dea keluar sebentar bersama temannya untuk membeli buah-buahan. Ponselnya terus berdering tak ada hentinya. Tantenya, Dea segera menjawab telepon dan membuat nafas Dea berhenti sejenak. Segera Dea dan temannya pulang ke rumah untuk menemui anggota keluarganya yang lain.

Langkah Dea semakin cepat seiring dengan banyak pasang mata yang menatap kearahnya iba. Ketika sudah di depan ranjang kakeknya, Ia menguatkan hati. Kakeknya yang tersenyum kearahnya, tangannya melambai ringan tanda sulit untuk digerakkan. Dea segera merapat, menyentuh tangan yang dipenuhi keriput itu dan menciumnya dengan sayang.

"Dea ada di sini. Kakek harus kuat. Kakek harus bertahan," ucap Dea menahan tangis.

"Kakek minta maaf, kalau kakek belum bisa ajak Dea keluar."

"Dea gak butuh itu, Dea cuma mau kakek harus bertahan. Kakek harus tempatin janji kakek."

Dea menatap lurus kearah kakeknya, tangan itu kian melemah, nafas kakeknya terasa ringan baginya, dan wajah itu, wajah itu menampilkan senyum terakhirnya yang disaksikan oleh Dea dan keluarga lainnya. Dea menjerit, memeluk, mengguncangkan tubuh kakeknya untuk segera membuka matanya kembali. Dea tidak mau dengan keadaan ini, Dea tidak menginginkannya, Dea benci keadaan ini.

"KAKEK!" Teriak Dea.

"Tenang, Dea. Ikhlaskan kakekmu. Semua yang diciptakan oleh Tuhan akan kembali kepada-Nya. Tugas kita hanya mengikhlaskan," ucapan itu bagaikan angin lalu bagi Dea. Ia terus menjerit, memeluk tubuh ringkih kakeknya enggan melepaskan.

Beberapa jam berlalu, tibalah untuk mengkebumikan jenazah kakeknya, Dea hanya menatap lurus ke arah nisan yang bertuliskan nama kakeknya. Semua orang sudah pulang, menyisakan Dea sendirian di sana. Tante dan yang lainnya mengerti keadaan dea, untuk itu ia meninggalkannya sendirian.

Tangan Dea mengusap nisan itu, dan air mata kembali menetes dengan sendirinya.

"Bagaimana cara mengikhlaskan kepergianmu, kek? Dea gak bisa." Dea mengambil nafas sejenak.

"Kenapa begitu sulit?"

Dea terus bermonolog, tak peduli dengan siapa dan di tempat mana ia berbicara. Dea ingin mengutarakan semua kegelisahannya, semua yang ingin dia bicarakan. Pakaian hitam yang Dea kenakan sudah kotor karena duduk bersimpah di tanah. Memeluk lututnya dan terus menangis.

Udara dingin membuat tubuhnya menggigil, matanya menerawang dimana dia sekarang? Dea tertidur dan terbangun di tempat yang gelap. Dea berharap, tadi hanya lah mimpi. Namun nihil. Apa yang Dea lihat di hadapannya adalah bukti bahwa semuanya benar-benar terjadi pada dirinya. Tangis kembali terdengar, namun tak sekeras tadi.

Dea bangun, dan berjalan tergopoh-gopoh dengan kondisi tubuh yang lemah. Tubuhnya terasa lemas dan tidak ada tenaga sama sekali. Sebisa mungkin Dea bertahan, setidaknya Dea harus tiba dulu di rumah. Dan benar saja, belum sampai tangannya memegang handle pintu tubuhnya sudah ambruk membuat semua orang berlari kearahnya. Dengan sigap Yuda menggendong Dea untuk dibawa ke kamarnya.

Pelan-pelan Yuda membaringkan Dea, tangannya menyentuh kerudung yang dipakai oleh Dea, nafas teratur Dea membuktikan bahwa Dea sedang tak sadarkan diri. Sedari tadi, Yuda sangat khawatir, namun apalah daya Yuda tak bisa menjemput Dea karena Dea butuh waktu sendiri untuk menerima semuanya.

Semua anggota keluarga ikut khawatir dengan keadaan Dea yang tak pernah seperti ini sebelumnya. Bahkan ke orang tuanya.

Ada rasa iba dengan keadaan Dea saat ini. Tak ada yang membuat Dea seperti ini selain kehilangan kakeknya.

Asing di Pijakan SendiriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang