Lima Belas

2 1 0
                                    

Selepas lari pagi, Dea berjalan di trotoar yang sangat ramai. Keadaan sekarang tak jauh berbeda dengan keadaannya di sekitar rumahnya yang dulu ketika melakukan lari pagi. Orang tua, anak kecil dan remaja seumurannya pun banyak yang melakukan rutinitas seperti dirinyanya pagi ini. Namun, hanya Dea saja yang berjalan sendirian berbeda dengan orang-orang sekelilingnya yang memiliki teman untuk diajak bicara.

Dea tak mengambil pusing perihal demikian. Ada atau tidaknya teman bukan menjadi prioritasnya. Yang penting dirinya nyaman, itu sudah menjadi cukup untuk Dea.

Langkahnya sedikit memelan ketika sepasang mata di depannya menatapnya sambil tersenyum kecil. Hendak berbalik arah, namun gagal karena suara orang itu yang memanggil namanya. Dea mamaksakan senyumnya dan berjalan lurus.

"Wah, udah lama gak ketemu, ya," ucap orang itu membuat Dea mengernyit bingung. Dirinya baru pindah beberapa hari di kompleks ini dan terakhir kali Dea melihat orang dihapadannya sekarang adalah hari dimana Dea pindah. Omong kosong macam apa itu? Pikir Dea.

"Gimana kabar Lo?" tanyanya.

"Baik," jawab Dea datar.

"Gak kangen sama gue?" Tanya nya semakin membuat Dea bingung. Senyum sinis tersungging dari bibir mungil Dea. Hal itu tak lepas dari pandangan Abi. Abi pun ikut tersenyum. Namun berbeda dengan Dea yang tersenyum sinis, kali ini Abi tersenyum manis.

"Rumah Lo sekitaran sini?" Dea mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaannya Abi. Kemudian Abi duduk dengan kaki yang diluruskan. Sedangkan Dea masih anteng berdiri di tempat yang ia pijak. Abi menepuk tempat disampingnya mempersilahkan Dea duduk. Namun, tak ada respons dari Dea membuat Abi menarik pergelangan tangan Dea dan membuat Dea duduk di sebelahnya. Wajah Dea terlihat muram, tak ada tanda bahagia menurut Abi.

"Lo, gak bahagia?" Pertanyaan itu membuat Dea seketika menoleh ke arah Abi yang tengah menatapnya intens. Dea langsung memalingkan wajahnya tatkala pandangan Abi masih terpaku pada wajahnya. Atau mungkin tengah menilainya? Dea tak tahu. Lama keduanya terdiam membuat Dea risih.

"Gak usah sok tahu. Dan berhenti menatap gue seperti Lo sedang mengintimidasi gue." Kalimat telak itu membuat Abi tak surut. Bahkan yang muncul adalah senyum dari wajah tampannya. Dea yang melihatnya bingung.

"Aneh."

"Gapapa."

"Bodo."

Keduanya kembali diam tanpa ada yang membuka suara. Abi meminum air yang dibawanya sambil menatap Dea. Tak ada rasa bosan ketika menatap wajah yang terlihat sinis itu. Baginya rasa tenang selalu ada jika berdekatan dengan Dea. Padahal mereka kerap bertengkar dengan hal-hal tak penting. Seperti tadi, hanya karena dirinya menatap wajah Dea saja sudah menyulutkan api pertengkaran antara dirinya dan Dea. Tapi Abi menyukainya. Menyukai pertengkaran-pertengkaran kecil itu.

Disodorkannya botol minumannya ke arah Dea. Dea yang haus menerima botol tersebut dan meminumnya tanpa rasa canggung.

"Lo gak jijik dengan bekas minum gue?" Tanya Abi yang membuat Dea berdecak.

"Lo bisa gak sih gak usah banyak nanya. Malas gue dengar Lo nanya Mulu dari tadi. Telinga gue udah mau budek dengarnya. Dan, kalau Lo gak mau kasih minum ya udah gak usah kasih ke gue." Mendengar kalimat itu Abi terkekeh pelan lalu mengacak kerudung Dea.

"Ish. Apa-apaan sih, Lo. Gak lucu tahu gak."

"Siapa juga yang lagi ngelawak."

Dea kembali menatapnya sinis. Laki-laki itu terus saja menjawab perkataannya. Malas mendengar ocehan Abi, Dea bangkit. Melihat itu Abi pun bertanya penasaran.

"Lo mau kemana?" Sembari bertanya tangan Abi tak tinggal diam untuk memegang pergelangan tangan Dea, menahan perempuan itu untuk pergi.

"Pulang lah," jawabnya ketus. Abi ikut bangun dan menggandeng tangan Dea. Sebisa mungkin Dea melepaskan tangannya dari genggaman Abi. Namun nihil, tangan itu begitu erat menggenggam tangannya membuat Dea kesusahan untuk melapasnya.

"Ayo," ajak Abi berjalan menarik Dea untuk berjalan disampingnya. Namun, yang diajak hanya diam ditempat membuat Abi menoleh ke belakang mengangkat alisnya bingung. Tadi perempuan itu ingin pulang, sekarang giliran Abi yang mengajaknya pulang kenapa perempuan itu hanya diam saja? Apakah Dea belum mau pulang? Pikir laki-laki itu.

"Lo kenapa? Kok diam?" Dea menggeleng sebagai jawaban.

"Ya udah ayo."

"Kemana?" Sekarang giliran Abi yang dibuat bingung.

"Katanya Lo mau pulang, kan?" Tanya Abi memastikan membuat Dea refleks mengangguk. Hal itu membuat Abi terkekeh. Kenapa perempuan di depannya ini sungguh menggemaskan ketika bertingkah seperti ini? Membuat Abi ingin membawanya pulang saja. Merasa ada yang salah dengan dirinya Abi menggeleng cepat. Sekarang giliran Dea yang dibuat bingung.

"Kenapa geleng?" Tanya Dea memastikan.

"Eh, gak kok. Ayo."

"Gu ... Gue, bisa pulang sendiri." Gugup Dea menggaruk tengkuknya yang tak gatal.

"Gapapa. Biar orang ganteng yang antar. Nanti kalau diculik gimana?" Ejek Abi sambil terkekeh.

"Gue bukan anak kecil. Lagian, kalau diculik, ya tinggal teriak. Apa susahnya," jawab Dea mengangkat bahunya acuh.

"Ya udah. Pulang sana," usir Abi membuat Dea melongo. Dengan kasar Dea menghempaskan tangan Abi agar terlepas dari genggamannya. Lalu berjalan sambil menghentakkan kaki. Hal itu membuat Abi terkekeh. Dasar manusia.

Abi menatap kepergian Dea dengan kekehan kecil. Sudah hampir sepuluh langkah Dea berjalan di depannya Abi kembali menyusul Dea dengan mencolek bahu Dea dengan botol minumannya.

"Lo kenapa sih. Rese tahu gak!" Bentak Dea tak menghiraukan sekitarnya. Abi menatap cengo ke arah Dea dan baru tersadar bahwa banyak pasang mata yang menatap ke arah keduanya. Sedetik kemudian Abi  memberi senyum canggung kepada orang disekitarnya, memberi permohonan maaf atas tingkah Dea. Dea yang tersadar hanya menunduk.

"Lo ganas juga ternyata, ya," canda Abi menahan tawa. Mendengar itu membuat Dea mengerucutkan bibirnya. Tak tahan Abi pun tertawa lepas melihat sikap Dea yang berubah seperti sekarang. Sejak kapan perempuan di depannya ini memiliki sifat pemalu dan menggemaskan? Biasanya perempuan ini hanya bisa berkoar-koar saja seperti orang yang sedang berdemo di kampus.

Tak tahan dengan keadaan sekitarnya Dea akhirnya terus melangkah. Meninggalkan Abi yang masih tertawa. Menyadari hal itu, Abi mengambil ancang-ancang untuk mengejar Dea. Tanpa aba-aba laki-laki itu menarik tangan Dea dan menggenggamnya erat. Dea mengerjap, menatap tangannya yang digenggam dan bergantian menatap pelaku yang menggenggam tangannya.

"Biar gue antarin sampe rumah," ucap Abi membuat Dea tersadar.

"Gak usah, gue bisa sendiri. Dan tolong lepasin tangan Lo," ucap Dea sambil mengangkat tangannya yang digenggam.

"Udah nyaman, gak bisa dilepas."

"Hah?"

Mengabaikan tatapan bingung Dea Abi terus melangkahkan kakinya menuju rumah perempuan itu. Terpaksa Dea juga mengikuti langkah Abi, tangannya terus digenggam tak ingin dilepas oleh laki-laki yang selalu ia jumpai disaat yang tak diinginkannya. Keduanya berjalan beriringan, banyak pasang mata yang menatap kagum pada mereka. Hingga dipersimpangan jalan. Abi berhenti mendadak membuat Dea juga ikutan berhenti.

"Kenapa?" Tanya Dea sambil menatap Abi.

"Um ... gue ...," ucap Abi gagap sambil menggaruk tengkuknya. Kernyitan di dahi Dea semakin terlihat tatkala Abi tak menyelesaikan ucapannya. Abi merasa malu saat ini. Tadi dirinya lah yang mengajak Dea untuk mengantar perempuan itu. Sedang Dea hanya diam menunggu Abi menyelesaikan ucapannya.

"Setelah ini belok kemana? Gue 'kan gak tahu arah rumah Lo," ucap Abi menggaruk tengkuknya. Dea menahan tawa mendengar kalimat tanya Abi.

"Tadi katanya mau ngatar gue, sekarang aja gak tahu mau belok kemana. Masih lurus kok, tenang aja."

"Oh."

Asing di Pijakan SendiriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang