Dua

5 2 0
                                    

Dunia perkuliahan tak begitu sulit seperti yang dipikirkannya, banyak teman baru yang Dea kenal. Bahkan Dea merasa sedikit lebih tenang bermain dengan teman-teman barunya. Setidaknya bisa melupakan sejenak keluarganya. Bukan melupakan selamanya, namun kadang keadaan keluarganya membuatnya berfikir untuk segera pulang, rasa rindunya terus menggebu hingga dua bulan terakhir ini.

Bertukar kabar terus Dea lakukan untuk menuntaskan rindunya, apalagi kepada Kakeknya. Rasanya Dea sangat merindukan sikap manjanya kepada beliau, tangan keriput yang membuat Dea jahil untuk mencubitnya, dan tawa renyah Kakeknya yang semakin membuatnya semakin rindu.

Dea berharap waktu terus cepat berlalu, hingga nanti ketika Dea pulang, ia akan memeluk Kakeknya dengan sayang dan mencium pipi Kakeknya yang tirus itu. Ah, mengingat itu semakin membuat Dea merasa ingin berlari berhambur kepelukan sang Kakek.

"Aish," ringisan itu keluar begitu saja ketika sebuah pulpen mengenai kepalanya.

"Mikirin apa sih, loh? Jangan-jangan mikirin yang aneh?" Temannya yang satu ini memang selalu berpikir negatif, membuat Dea menggeleng kepala.

"Matamu. Gak usah suudzhon jadi orang. Gak malu Lo?" Jawaban itu membuat Lia memutar bola matanya.

"Kenapa malu? Kan, gue cuma nebak aja."

"Tebakan Lo itu salah sasaran, makanya jangan sok tahu."

Percekcokan itu tak akan berakhir jika salah satu dari mereka tak ada yang berhenti berbicara. Untung saja temannya yang bernama Lia segera berhenti, kalau tidak percekcokan itu tak akan benar-benar berhenti.

Lia adalah sosok cantik juga berkerudung sama sepertinya, selalu bersamanya jika kemana-mana. Mereka ibarat perangko yang tak bisa dipisahkan. Sosok Lia sangat membantu Dea, baik dalam mengerjakan tugas ketika Dea tak mengerti dan selalu memahami Dea ketika Dea merasa sedih dan rindu dengan keluarganya. Sungguh teman yang baik.

"Kita liburnya kapan, ya?" Pertanyaan itu selalu saja Dea ajukan ketika bersama Lia membuat Lia memutar bola matanya malas. Kenapa harus selalu pertanyaan itu? Sefanatik itukah pulang menurut Dea? Atau sebegitu rindunya kah Dea kepada orang tuanya? Lia terus berpikir, pasalnya Lia adalah penduduk asli dari kota yang menjadi kota perkuliahan Dea saat ini. Pantas saja Lia berpikir seperti itu, sebab dirinya tak pernah jauh dari orang tuanya. Bahkan orang tuanya melarangnya untuk tinggal di kost seperti temannya Dea.

"Lo kangen banget ya, sama orang tua Lo? Padahal kan baru beberapa bulan di sini?" Tanya Lia yang tak digubris oleh Dea.

"Pasti kangen banget ya, gue aja yang gak liat orang tua gue ketika pulang kuliah aja uring-uringan." Tanya sendiri dan dijawab sendiri oleh Lia. Semuanya serba sendiri untuk Lia jika berhadapan dengan Dea. Perempuan itu hanya fokus pada makanannya yang sedang dia nikmati. Lia mengangkat bahunya acuh, lalu kembali melanjutkan makannya yang tertunda.

*#*#*

"Lo yakin mau pulang sendiri? Jalan kaki?" Pertanyaan itu sudah beberapa kali Lia ajukan untuk Dea. Dea yang mendengarnya sudah hampir muak dengan pertanyaan itu terus. Tak ada kalimat lain apa? Misalnya mengajaknya makan? Atau mentraktirnya mungkin? Jangan harap! Yang ada Dea lah yang harus mengeluarkan uangnya untuk si Lia kurang ajar ini. Percuma orang kaya, tapi pelitnya minta ampun. Untung Dea sabar.

"De, Lo yak..."

"Lo pulang, gih. Telinga gue jadi panas dengar Lo nanya nya itu mulu. Gak ada kalimat lain apa? Aish." Setelah mengatakan kalimat itu Dea segera beranjak dari tempatnya berdiri dan meninggalkan Lia yang cengengesan sendiri. Lia sangat senang melihat wajah menyebalkan Dea, baginya itu adalah kebahagiaan baginya. Bukan berarti Lia jahat dengan Dea, ya. Bukan. Tapi, rasanya sangat menyenangkan menjahili Dea.

Seiring dengan langkah Dea yang kian menjauh, Lia pun ikut melaju dengan dua rodanya yang selalu menemaninya kemana pun, meninggalkan area parkiran kampus. Dea memang kost di dekat kampus, jadi tak membuat Dea meminta tumpangan kepada Lia. Dirinya sudah terbiasa dengan jalan kaki. Bahkan dirinya sangat senang jika diajak jalan kaki. Dea berpikir sama seperti olahraga ringan sekaligus menikmati pemandangan alam yang memanjakan matanya serta sepoi angin yang membuatnya tersenyum.

Kakinya terus melangkah, tiba saatnya menyebrang. Motor berlalu lalang seakan tak ingin Dea meninggalkan tempat itu. Banyak mahasiswa yang masih duduk disekitaran kafe kampusnya. Baru satu langkah Dea maju, sebuah motor tiba-tiba sudah berada di samping Dea.

"Astagfirullah." Kata itu seketika terucap oleh bibirnya dikala jantungnya ikut berdegup kencang.

"Hati-hati, dong!" Kalimat bentakan itu membuat Dea memicingkan mata. Tidak terima dengan bentakan orang yang sedang duduk di atas motornya.

"Heh, yang ada lo yang hati-hati. Udah tahu tikungan masih aja ngegas motor. Punya otak Lo?" Dea paling tidak bisa disalahkan jika itu bukan salahnya. Perihalnya, sebelum menyebrang Dea sudah melihat ke kanan dan ke kiri dan hasilnya Dea tidak melihat kendaraan lagi. Namun, tiba-tiba saja motor itu sudah berada di hadapannya membuatnya hampir tertabrak dan sialnya lagi si pengendara menyalahkannya? Memangnya siapa yang salah di sini? Tentu saja si pengendara itu.

"Ya elah, itu aja marah. Gue 'kan cuma kasihtahu ke lo buat hati-hati. Kenapa lo nyolot?" Hello kasih tahu? Tadi si pengendara itu membentaknya. Bukan memberitahu.

"Nyolot? Yang ada lo duluan yang nyolot. Kasihtahu? Kasihtahu gak perlu bentak-bentak bisa 'kan? Bisa bedakan kasihtahu yang benar sama salahin orang? Udah tahu salah masih aja ngeyel." Setelah mengucapkan itu Dea segera kembali melanjutkan langkahnya yang tertunda. Sedang si pengendara hanya mengangkat satu alisnya merasa diacuhkan.

Pandangan pengendara itu tak lepas dari Dea yang melangkah meninggalkannya semakin jauh. Si perempuan berkerudung yang mulutnya seperti mercon.

"Li, ayo jalan. Bengong aja Lo. Mentang-mentang abis dikasih wejangan. Hahaha." Pengendara itu kembali melajukan motornya Sambil mengangkat bahunya acuh. Mengikuti teman-temannya yang lain menuju ke arah kafe samping kampusnya.

*?????*

Semoga senang dengan ceritanya. Jangan lupa Vote dan komentnya, ya..😊😊😊

Asing di Pijakan SendiriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang