Suara ketukan pintu terdengar tepat ketika Ben menutup dan mengunci rolling door tempatnya berdagang di malam hari. Saat dilihat siapa pelakunya, Ben terkaget bukan main karena sosok itu langsung ambruk di hadapannya.
Ethan—sahabat Ben yang muncul tiba-tiba—langsung dibawa masuk dan ditempatkan di atas sofa. Tubuhnya basah kuyup dan penuh luka gores.
Dengan sigap dan sedikit bingung, Ben mengobati luka-luka yang ada. Setelah selesai, dia membiarkan Ethan beristirahat sebentar sampai akhirnya pulih dan siap dicecar dengan berbagai pertanyaan.
"Kau baik-baik saja?" Pertanyaan basa-basi. Ethan mengangguk. "Sebenarnya apa yang terjadi?"
Pria itu menjelaskan kalau dia telah menjadi buronan selama tiga hari atas tindakan yang tidak dilakukannya. Dia berusaha mencari si pembunuh asli dan berakhir dengan luka dan sungai.
"Aku tidak tahu harus ke mana lagi. Dan kau adalah satu-satunya orang yang terlintas di kepalaku."
Ben melihat Ethan yang memutar-mutar ponselnya dengan gusar. "Kenapa?"
"Ponselku rusak."
"Sini kucoba." Ben menerima ponsel itu, mengamatinya, kemudian mulai membongkar. Butuh kira-kira dua jam agar ponsel itu kembali pulih. Dia mencabut kartu SIM yang ada sebelum menyalakannya, lantas menyambungkannya dengan WIFI. Ada tanda surel masuk.
"Kau mungkin ingin melihat ini, Et," kata Ben yang membuat Ethan mengerjap dari tidurnya.
Ethan mulai membaca pesan itu. Keningnya mengerut karena isi surel tersebut. Si Pengirim mengatakan kalau dia tahu segalanya tentang Ethan dan masalah yang dihadapi. Dia bahkan menuliskan bisa membantu Ethan kalau dia pergi ke alamat yang diberikan.
"Siapa pengirimnya?" tanya Ethan.
"Tunggu." Ben tidak dapat menggulirkan layarnya. Ponsel tersebut mengalami freeze. Sesaat kemudian mati kembali.
"Sialan."
"Kau tahu alamat rumah yang dimaksud, Et?"
Ethan berpikir sejenak sebelum menjawab. "Sepertinya—entahlah. Rasanya aku familier dengan alamat itu."
"Kau akan pergi ke sana?" Ben bertanya dengan nada khawatir.
Ethan sempat ragu, tetapi alamat rumah itu membuatnya penasaran. Seperti ada ingatan yang berusaha mendobrak keluar.
"Ya," jawab Ethan singkat.
"Kau tidak takut itu jebakan?"
"Mungkin saja, tetapi aku harus tetap pergi."
"Tempatnya cukup jauh. Mau dengan apa kau ke rumah itu?" Ethan menatap pria di depannya bingung. Ben benar. Tidak mungkin ada kendaraan umum yang melewati tempat itu. "Sudah kuduga. Biar kuantar kau ke sana."
"Tapi—"
"Aku hanya akan mengantarmu kemudian pergi. Kau bebas melakukan apa pun." Ethan mengangguk.
Paginya seperti yang dijanjikan, Ben hanya sebatas mengantar Ethan ke alamat rumah tersebut. Rumah yang terletak di pinggiran hutan dan sulit akses jalan itu tampak tak berpenghuni. Dinding kayu putih yang sudah pudar dan tanaman rambat yang menjalar membuat bangunan dua lantai itu terkesan menyeramkan. Rumput liar tumbuh di mana-mana.
"Pergilah, Ben."
Ben mengembuskan napas dengan berat. Setelah meyakinkan dirinya kalau Ethan akan baik-baik saja, Ben menancap gas dan pergi dari sana.
Ethan menaiki anak tangga sebelum mencapai teras. Dia hendak mendobrak pintu yang terkunci sampai sebuah ingatan yang membuat sakit kepala menyuruhnya untuk memeriksa bagian bawah karpet "welcome".
Ada kunci di sana.
Ethan masuk ke rumah itu hanya untuk mendapati ruang tamu kosong yang hanya menyisakan satu figura dengan secarik kertas dengan tulisan di dalamnya.
"Temukan ruang cermin dan kau akan menemukanku."
Ethan menuju ke ruang sebelah. Lorong panjang terbentang di sebelah kanan. Kaki kanannya melangkah hanya untuk mendapati kayu yang dipijak turun lima senti. Suara benda-benda bergerak terdengar kemudian.
Pria itu melihat sekeliling, menunggu apa yang terjadi. Matanya tertumpu pada sebuah tulisan dengan tinta merah di dekatnya. Sebuah kalimat yang dapat membuat bulu kuduknya merinding.
Selamat datang kembali, Et.
Dua buah paku meluncur mulus ke arah kepala Ethan dari dinding sebelah kiri. Pria itu berhasil menghindar walaupun satu paku berhasil menggores pipinya. Tidak berhenti di sana, Ethan yang bersandar ke dinding menyadari kalau tempatnya berdiri merupakan jalur sebuah pendulum kapak yang kini siap membelahnya menjadi dua.
Ethan berguling ke samping menghindari benda tajam itu. Sekarang, satu-satunya jalan keluar adalah menuju ruangan di ujung lorong. Pria itu bangkit dan tidak sengaja menarik tempat lilin di dinding yang ternyata tuas, membuka sebuah pintu jebakan dengan duri di dalamnya tepat di bawah kaki. Ethan berhasil bertahan, satu sentimeter lagi dia akan tamat.
Pria bermata hitam itu berhasil keluar hanya untuk mendapati paku terbang lainnya sedang dalam perjalanan. Ethan menjerit keras saat satu buah paku berhasil menancap di bahu kiri, sedangkan yang lain meleset.
Darah mengalir deras ketika paku itu berhasil dikeluarkan. Hal itu mengingatkannya pada hobi yang dulu sangat dia senangi. Ethan menggeleng. Dia tidak boleh lagi melakukan hal itu.
Dengan memegangi bahu yang terluka, Ethan melangkah ke ruangan di ujung lorong. Kosong, hanya ada puluhan figura bertuliskan dengan tinta merah menghias. Pria itu tampak syok. Ethan mengambil salah satu foto yang paling besar.
Apa kau masih ingat?
Seorang bocah lelaki mirip Ethan bersama orang tuanya. Kepala Ethan terasa pening saat melihat orang-orang di foto itu, dia bahkan sampai menjatuhkan figura tersebut hingga kacanya pecah.
Ethan jatuh terduduk, ingatan yang mencoba keluar membuatnya sakit luar-dalam. Kilasan balik penuh darah menghampiri bertubi-tubi. Keringat dingin mulai membasahi, napasnya mulai tidak teratur.
Dia berusaha tegar, sekarang yang harus dia lakukan adalah menemukan ruangan cermin.
Berbekal ingatan yang menyakiti, Ethan naik ke lantai dua lewat jalan rahasia yang pernah dia buat, sehingga tidak perlu menemui jebakan-jebakan yang dapat membunuhnya.
Ethan keluar dari pintu rahasia yang disamarkan menjadi lemari. Seperti namanya, ruangan itu penuh dengan cermin, mulai dari ukuran kecil sampai yang besar. Beberapa di antara cermin-cermin itu bertuliskan kalimat-kalimat seperti sebelumnya yang ditulis dengan tinta merah.
"Darah kering," gumam Ethan seraya meraba tulisan tersebut. Ingat aku?
Pria itu mendekati cermin yang paling besar, berdiri di depannya, kemudian menatap pantulan diri yang menyedihkan.
Sekelebat bayangan hitam melintas di belakang si pria, sesaat kemudian suara familier dari dua puluh tahun lalu itu kembali.
"Kenapa kau melupakanku? Bukankah kita ini teman?"
"Tidak ada teman yang menghasut untuk membunuh!"
"Tapi kau menikmatinya, bukan?"
Ethan menjerit frustrasi. Dia memukul cermin di hadapannya sampai pecah. "Keluar dari kepalaku!" Dengan amarah yang memuncak, pria itu terus menghancurkan cermin-cermin yang ada sampai hancur berkeping-keping.
Luapan emosi tak dapat Ethan bendung. Amarah, kesedihan, kekecewaan, semua menjadi satu. Apa yang dikuburnya selama ini sia-sia. Dia kembali. Mungkin dari awal memang tidak ada yang perlu dicari. Dari awal memang Ethan-lah yang melakukannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
GenFest 2020: Mystery x Thriller
Misteri / ThrillerBagaimana kamu menemukan kebenaran tersembunyi sementara rasa ngeri menggorogoti? ** Dalam Genre Festival yang diselenggarakan oleh Nusantara Pen Circle kali ini, para penulis akan menyajikan sebuah karya dengan Genre Mystery yang dipadukan dengan...