Ini bukan yang pertama kalinya terjadi—tidak. Ini kali pertama kami bisa mengetahui apa yang sedang terjadi.
Aku berlari menuju salah satu kamar di ruangan ini. Aku tiba di ambang pintu yang terbuka, menemukan gadis berambut ikal panjang baru turun dari ranjang tingkat dua.
"Lia!" panggilku. Lia menoleh dengan tatapan dingin.
"Paman bilang tetap di dalam saja," katanya.
Polisi menemukan jasad teman kami yang bernama Lira di sebuah bangunan kosong di sekitar belakang panti. Anak-anak yang lain setahuku tak pernah mendatangi tempat itu. Paman Dindra, satu-satunya orang yang mengurus panti ini sedang berbicara pada para polisi itu. Masalahnya, ini hal baru setelah dua anak yang sebelumnya hanya menghilang tanpa jejak.
Aku tidak mempunyai petunjuk apa-apa, tetapi belakangan aku memperhatikan gerak-gerik Lia yang berbeda dari biasanya. Belakangan ia terus-terusan menoleh pada Paman Dindra.
Aku mengikuti arah pandang Lia menuju pintu. Paman Dindra ternyata muncul, lalu menghampiri kami.
"Paman," panggilku. Wajahnya tampak lesu. Ia memegangi kepalanya sejenak.
"Ini sama sekali bukan kabar yang ingin Paman dengar," katanya. "Meskipun demikian, ini sama sekali tidak melegakan."
Paman menepuk pundak Lia. "Suruh anak-anak yang lain masuk ke kamar kalau sudah menjelang petang."
Kami berdua mengangguk, kemudian bergabung bersama anak-anak yang bermain di ruang tengah panti yang tidak begitu besar ini.
***
Pagi esoknya, kami sudah dapat bermain di luar seperti biasa. Paman Dindra benar-benar mengawasi kami tanpa berkedip sedikit pun. Sedari tadi aku memegang bola yang dititipkan oleh anak-anak yang kini sedang berlarian. Lia duduk di atas pipa silinder besar yang bertumpuk, kelihatan tidak senang.
"Lia," kataku menatapnya, "kita cuma anak-anak."
Lia memicingkan mata padaku. "Remaja awal," koreksinya. Iya, kami berdua memang yang paling tua di antara anak-anak lain—selain Rio dan Diana yang hilang, hanya terpaut beberapa bulan. Lia melompat turun dari tumpukan pipa.
"Kau kesal?" tanyaku. "Pelakunya belum tertangkap?"
Lia mengambil satu langkah, lalu menendang tanah yang pasirnya sedikit terempas ke udara.
"Akhirnya kau menanyakannya." Ia melanjutkan dengan ketus. "Tentu saja."
Lia berjalan menjauh, masuk ke dalam panti. Aku terus memandangi punggungnya pun wajahnya yang masih terlihat sampai akhir. Air muka Lia jauh lebih dalam, seperti kekesalan yang kutanyakan bukan satu-satunya hal yang mengganggunya.
Ganjil juga, barangkali. Sedari tadi Lia tidak memandangi Paman Dindra yang berdiri di halaman sana sedetik pun.
***
Belum ada kabar apa-apa dari polisi melalui Paman Diandra kalau-kalau ada perkembangan mengenai kedua nasib teman kami atau pelaku pembunuhan Lira—aku tidak tahu detailnya. Orang dewasa pasti selalu menyuruh kami menjauh, seolah kami takkan mampu untuk membendung kenyataan yang sebenarnya.
Jam dinding menunjukkan pukul 8.30 malam. Lia yang ranjangnya berada di sampingku beranjak turun ke lantai. Aku menatapnya, ia menoleh.
"Ikut?" ajak Lia.
"Ke mana?" tanyaku. Lia tak menjawab, hanya mengulurkan tangannya padaku.
Aku masih diam sebentar sebelum meraih tangan Lia dan mengikutinya keluar kamar. Ia menggeretku menuju pintu belakang.
"Kita ke luar?" kataku. "Tapi nanti Paman—"
"Kita ke sana," ucap Lia tegas.
"Untuk apa?" tanyaku tak mengerti. Lia memutar gagang pintu dan aku terkejut ternyata pintu itu terbuka begitu saja.
"Dia tak pintar rupanya untuk yang satu ini," celetuk Lia. Kami keluar, menutup pintu kembali, kemudian berjalan melewati pepohonan di perkarangan belakang hingga kami sampai di sebuah bangunan kosong ... bekas taman kanak-kanak yang ditinggalkan.
Penancap garis polisi yang mengitari tempat itu sudah tidak tertanam kuat membuat aku dan Lia tidak perlu melompatinya. Aku tetap menurut ketika Lia membawaku masuk ke dalam bangunan itu. Gelap total.
"Lia, untuk apa kita ke sini?" tanyaku lagi.
"Mencari jawaban."
"Tapi—"
"Len." Lia melepaskan tanganku. "Kau tahu apa yang sudah terjadi padaku, 'kan?"
"Eh?" Aku menatap nanar.
Di kegelapan yang hampir membutakan mata ini, apa yang dapat Lia temukan?
Namun, kebingunganku tak bertahan lama untuk berubah menjadi sebuah keterkejutan kala sosok besar seketika muncul di belakang Lia.
"Loh, ada siapa ini?" Suaranya nyaring. Aku melihat Lia tak bergeming, dan aku bisa merasakan aura ketakutannya. Orang itu membalikkan badan Lia untuk menghadapnya. "Lia ... kamu ingin merasakannya juga?"
Badanku mulai gemetar. Rasanya sekujur tubuhku kaku melihat pemandangan ini.
"Tapi, bukankah kamu sudah merasakannya?"
Otakku serasa berhenti berpikir ketika mendengar itu. Di saat yang sama, dia menoleh padaku.
"Ah, jadi begitu," ujarnya. "Karena kamu membawa dia, sepertinya aku harus melakukan hal yang sama dua kali."
Setelah itu, Lia berteriak, "Len, lari!"
Aku langsung melesat begitu saja. Suara bantingan keras yang menyusul pun tak membuat kakiku berhenti. Aku nyaris tertabrak dinding melalui jalur berlika-liku bagai labirin ini. Aku tak mengerti, bahkan sewaktu berjalan bersama Lia tadi apa memang selama ini?
Aku mencoba mencari cahaya menuju jalan keluar. Berhasil. Aku menoleh ke belakang dan dia masih mengejarku. Tangannya entah kenapa semakin lama semakin dekat meraihku dan ....
Aku terjerembap di atas tanah. Suara yang muncul setelahnya membuat mataku terbuka lebar.
"Diam di sana!"
Rembulan yang tak begitu terang masih mampu membuatku mengenali orang-orang di hadapanku sekarang. Tak lama, aku dibantu berdiri dan diposisikan di belakang mereka. Sekilas, aku melihat Paman Diandra yang mematung dengan wajah syok berat.
Para polisi mengepung dan menggeretnya menjauh dari tempat itu. Beberapa saat kemudian, terlihat Lia yang keluar menggendong seorang anak panti yang kami kenal. Ia berjalan mendekat ke arah salah satu polisi yang ada di sekitar.
"Diana?" Tiba-tiba ia mengucapkan itu.
"Saat ini masih dirawat," jawab salah satu dari mereka.
"Terima kasih," ucap Lia. Salah seorang petugas mendatangi mereka, memberi selimut dan menuntun mereka jalan.
Aku masih di tempat, melihat Lia yang kini berdiri di samping mobil polisi. Wajah Paman Diandra terlihat dari arah pandangku. Aku dapat mengetahui ia dan Lia saling memandang.
Sudut bibirnya tertarik, ia memberi senyum yang tak disangka-sangka. "Jadi begitu, ya."
Kaca pintu mobil naik dan tertutup. Dua mobil polisi pun berlalu begitu saja, menyisakan ambulan di belakangnya. Polisi di sampingku menuntunku pada Lia, kemudian sama-sama naik ke ambulan itu.
Lia hanya diam sepanjang jalan, membiarkan aku yang tidak mengerti—yang bahkan tidak mengerti juga apakah Lia sendiri mengerti. Benakku bertanya, apakah iya anak-anak tidak boleh tahu akan kenyataan yang dilakukan oleh orang dewasa?
Apakah benar aku tidak bisa mengerti meskipun aku tahu apa yang sudah dialami Lia saat berada di panti?
KAMU SEDANG MEMBACA
GenFest 2020: Mystery x Thriller
Mystery / ThrillerBagaimana kamu menemukan kebenaran tersembunyi sementara rasa ngeri menggorogoti? ** Dalam Genre Festival yang diselenggarakan oleh Nusantara Pen Circle kali ini, para penulis akan menyajikan sebuah karya dengan Genre Mystery yang dipadukan dengan...