Ruangan itu gelap, tetapi cahaya rembulan menerangi setidaknya 70% bagian ruangan itu, sekaligus menampilkan gelombang samudra hitam yang sesekali meluncur masuk ke dek kapal.
Wanita itu tersentak, menarik napas panjang-panjang hingga kapsul vertikal berlapis kaca yang menguncinya selama dua tahun itu terbuka. Ia masih mengenakan setelan jas hitam seragamnya. Langkah pertama keluar dari kapsul, dingin. Saat itu ia baru sadar.
Ia tidak menerima data apapun dari kapal. Seharusnya selama proses membangunkan, wanita itu sudah menyimpan seluruh informasi mengenai kapal itu: jadwal keberangkatan dan perkiraan sampai, status kapal, juga alasan kenapa ia dibangunkan.
Aneh, ruang utama kapten seharusnya tidak segelap ini. Walau ia mengaktifkan mode istirahat, setidaknya masih ada beberapa tombol yang bercahaya dan proyektor peta tetap menyala. Ia menoleh ke susut ruangan, tempat istirahat kapten. Kasur lipat kapten masih tertanam pada dinding.
"Kapal non-aktif?" Wanita itu mengernyit. Berarti ia harus menggunakan tangga di dek dan membuka pintu ruangan secara manual. Segera saja ia menghampiri pintu di samping jendela yang menjadi 2/3 dinding ruangan, memutar kenop keras dan mengayunkan pintu besi tebal itu. Angin malam mengacaukan rambut pirangnya, dan dasi hitam yang ia kenakan. Ia langsung menutup pintu, lalu menuju tangga yang tertutup pintu tipis kedap air.
Tidak ada lampu yang menyala. Bagian badan kapal juga tidak banyak menerima cahaya dari jendela-jendela yang tersedia–air laut sangat gelap saat ini. Seharusnya ia akan langsung berhadapan dengan lift yang dapat mengirimnya langsung ke ruang kapten. Namun belum ia mendekati lift itu, sudah tercium bau memualkan dari dalamnya. Wanita itu setengah berlari menghampirinya. Sesampainya, ia langsung membenamkan jemarinya di antara pintu lift, lalu menariknya terbuka. Sudah lama tubuhnya sudah tidak di-service, sempat terdengar bunyi besi beradi besi di bahunya.
Dan pintu itu pun terbuka, memperlihatkan seorang pria beruban–ah! Kapten Vern, 43 tahun, mengenakan atribut lengkapnya tergolek tak berdaya di tengah lift, muntahan keluar dari mulutnya dan kedua matanya terlihat masih terbuka lebar. "Kapten Vern!" teriaknya. Wanita itu berjongkok, mengecek nadinya. Ia sudah tidak bernyawa. Terlihat ada lebam besar di kepalanya.
"Astaga, I-ilsa!"
Tiba-tiba cahaya memperlihatkan seisi lantai lift–muntahan kekuningan, kulit kapten yang tampak tidak lagi seperti manusia, dan beberapa bercak darah di lantai dekat wajah pria tua itu. Wanita itu, Ilsa, berbalik, menatap sumber cahaya tanpa memicingkan mata.
"... Louis?"
"Kukira kau salah satu dari mereka!" teriak pemuda krempeng di hadapannya itu. "Gunakanlah senter seperti manusia. Aku tahu matamu didesain untuk dapat melihat apapun, tetapi jangan–"
"Di belakangmu!"
Ilsa menarik lengan pemuda itu, memaksanya merunduk dan melayangkan sebuah tendangan pada sosok di baliknya.
"G-gila!" Pemuda itu tergagap.
Sosok itu langsung ambruk ke lantai, tidak bergerak sama sekali.
"Pingsan," imbuh Ilsa singkat, lalu menatap Louis tajam. "Siapa dia? Kenapa identitas dirinya tidak terdaftar sebagai awak di sini!"
"Mana aku tahu," balas pemuda itu, terlihat jauh lebih pucat dari sebelumnya. "Orang-orang itu muncul tiba-tiba, mereka sudah membunuh orang keamanan yang kubenci sekali dan," Louis menunduk, "ASTAGA, KAPTEN VERN!"
Plak!
"Bisakah kau diam?" Ilsa berdecak. "Suaramu yang memancing mereka kemari."
Louis mengelus pipinya. "... Apa yang harus kita lakukan sekarang? Kapal ini sudah non-aktif selama 10 jam, rasanya aku ingin mati saja terombang-ambing di tengah samudra dengan manusia-manusia ini."
"Kau lihat yang lain, selain Gus?"
"Aku lihat Gus dan Vienna di dapur, tangan terikat dan Gus sepertinya sudah mati kehilangan darah sebanyak itu. Ada satu orang yang menjaga dapur, dan," Louis mengacungkan senternya ke luar lift, "sepertinya kau sudah menumbangkannya."
"Kita ke dapur." Ilsa menarik lengannya. "Jangan berisik, dan matikan sentermu."
"Hei, kau–"
"Percaya padaku."
Louis membuang muka. "Aku benci android sepertimu."
Senter dimatikan dan mereka mulai berjalan. Dapur hanya beberapa meter dari tempat itu, kapal ini tidaklah besar. Hanya kapal modern yang membawa beberapa kargo di dasarnya. Louis merupakan salah satu awak di sini, juga Vienna. Gus yang bertanggung jawab atas keamanan. Ada dua mekanik yang bertugas menjaga kapal, Josh dan Steph. Apa mereka sedang memperbaiki keadaan kapal?
"Kau tahu di mana Josh dan Steph?" bisik Ilsa.
"Sejak minggu lalu aku belum lihat Josh," ujarnya, "dan Steph? Aku terakhir melihatnya saat kapal ini masih di pelabuhan."
"Itu Steph."
Louis terdiam. Terdapat tiga bayangan tengah terduduk di lantai dapur. Ia mengenal dua orang, Vienna dengan rambutnya yang selalu ia kuncir satu dan Gus yang tidak terlihat bergerak sama sekali. Ada satu sosok baru di sana, sama-sama tersandera.
Setelah memastikan tidak ada orang di sana, Ilsa menghampiri ketiga orang itu dengan langkah cepat, membuka semua ikatan dibantu Louis dan mengecek Gus.
"Steph, jangan bilang mereka sudah membobol ruang kendali utama." Lengan Louis bergetar. "Bukankah keamannya sangat-sangat kau kagumi dan kau bilang tidak mungkin ada yang bisa masuk ke dalamnya?"
Pria berjanggut itu menggeram. "Menurutmu bagaimana kapal ini bisa begini?"
"Di mana Josh, Steph?" Ilsa menepuk pelan kedua tangannya. Entah mengapa, kain-kain tadi penuh dengan serbuk-serbuk kayu.
"... Aku tidak tahu," jawabnya lirih. "Dia selalu menghabiskan waktunya di tempat penyimpanan kargo, bukan?"
"Ambil peralatan-peralatar dapur," ucap Ilsa datar, "gunakan itu untuk melindungi diri kalian. Kita ke bawah."
"Kapal ini...." Semua mata menuju Vienna, kini berdiri di sisi meja menatap jendela. "... kapal ini berjalan."
"Apa? Tidak mungkin. Sudah kubilang kapal ini non-aktif," potong Steph.
"Ayo." Ilsa memandu ketiga orang itu menuju tangga. Louis paling belakang, lalu Vienna, Josh, dan akhirnya Ilsa di depan. Lorong tangga itu sempit, cukup hanya untuk satu orang dewasa. Dan–
"Seseorang datang!" pekik Louis.
"Steph," panggil Ilsa, "bantu aku buka pintu ini."
Pria itu maju, membuka pintu, lalu–
"Steph!"
"Sampai jumpa, Ilsa."
Ilsa terdorong masuk ruang kargo, Steph menguncinya dari luar.
"Wah, Ilsa?" suara tawa bergema. "Budak android kapten kita terbangun, kurasa prediksi Steph benar."
"Josh...?"
"Jangan salahkan aku," potongnya, "salahkan kaptenmu yang sudah menjadi sukarelawan membudidayakan jual beli perbudakan ini. Tahukah kau apa yang ada di dalam kotak-kotak kayu ini?"
Ilsa menatap seisi ruangan–ruangan itu penuh dengan kotak-kotak kayu yang rusak, dan sejumlah pria dan wanita berpakaian lusuh memegang patahan kayu bersiap menyerang.
"Benar, Ilsa." Josh berdeham. "Manusia."
Wanita itu mengerjapkan mata beberapa kali. "Aku–"
"Diam dan jangan persulit mereka hidup."
Ilsa masih menatapnya, berusaha bicara lebih banyak, tetapi ayunan kapak Josh telah menerpa lehernya terlebih dahulu.
KAMU SEDANG MEMBACA
GenFest 2020: Mystery x Thriller
Misteri / ThrillerBagaimana kamu menemukan kebenaran tersembunyi sementara rasa ngeri menggorogoti? ** Dalam Genre Festival yang diselenggarakan oleh Nusantara Pen Circle kali ini, para penulis akan menyajikan sebuah karya dengan Genre Mystery yang dipadukan dengan...