Wajah Trevin sudah seputih kertas, menandingi si Pangeran Salju Cadenza. Pemuda itu terkejut rekan-rekannya tampak biasa saja dalam keadaan seperti ini.
Mereka adalah detektif yang disewa untuk mengembalikan permata kerajaan yang disembunyikan dengan teka-teki. Bayarannya tinggi. Namun, mereka harus cepat dan berhati-hati karena ada pembunuh bersembunyi di dalam istana tak berpenghuni.
Tadinya Trevin tidak mau, ia tidak suka hal menyeramkan, tetapi harga dirinya menolak diejek Cadenza sebagai bocah penakut. Akhirnya ia memberanikan diri untuk pertama kalinya ikut masalah seperti ini.
Akan tetapi, keberaniannya sudah menguap sejak satu jam lalu. Ia masih bisa berjalan karena terus menempel pada Chester—seperti anak ayam—yang untungnya tidak peduli.
"Satu-satu disusun (beberapa berpisah tetapi bersatu), perhatikan ukuran bentuk, sama tetapi berbeda, berdenting."
Milly yang menemukan kertas teka-teki memegang dagunya, berusaha mencari jawaban dan pada saat bersamaan June menyeletuk di sebelahnya. "Peralatan makan, bukan?"
Sang gadis menengok. "Dari mana kau tahu?"
"Satu-satu disusun, perhatikan ukuran bentuk. Sendok, garpu, dan pisau disusun sesuai ukuran, bentuk, dan kegunaannya. Beberapa terpisah, ada yang di sisi kanan, sisi kiri, dan sisi atas. Semuanya bersatu, dan berdenting," jelas June.
Milly terdiam sebentar sebelum membalas, "Tapi, bukankah di ruang musik ada piano? Tutsnya disusun, ada yang ukurannya kecil juga, suaranya berdenting. Oh, mungkin ada yang lain di sana."
Cadenza mengangguk setuju. "Benar kata Milly, misalnya, bar chimes. Lagipula ini lumayan ambigu."
"Bentuk mereka sama," bantah June, "tuts piano seperti balok, dan bar chimes? Memangnya istana ini punya benda seperti itu? Mereka tidak ada yang terpisah."
"Yang dimaksud di sini ukuran bentuknya, bukan bentuk dan ukuran," ucap Milly, "juga, beberapa tuts hitam itu terpisah."
Mata Trevin melirik jam di pergelangan tangan kanannya, meminta agar pencarian ini segera berakhir. Namun, lamunan tersebut pecah saat seseorang menggenggam tepat pada jamnya dan menariknya cepat ke sisi kiri. Ia menengok, menemukan seorang gadis yang lebih tinggi darinya sedang menatap jam dengan rona datar.
"Nana, a-ada apa?" Trevin berusaha menarik tangannya, tetapi genggaman Nana jauh lebih kuat.
"Menurutmu kita bisa selesaikan dalam dua jam?"
"Mungkin, tapi aku ingin lebih cepat."
Nana tersenyumtampak sepert seringai, ia melepaskan genggamannya lalu berucap, "Kalau begitu, tinggal pecahkan saja teka-teki konyol ini."
Nana membungkam perdebatan hanya dengan suaranya. "Bagaimana kalau kita berpisah?"
Tanpa sadar Trevin berteriak, "Apa!?"
Sekarang Trevin tidak percaya sedang memasuki dapur bersama Chester dan June. Dapurnya seperti kapal pecah, peralatan masak berserakan di lantai. June segera mencari di laci-laci kabinet, sedangkan Chester mencari di kabinet dinding.
Trevin membuka laci yang paling dekat dengannya, di hadapan lukisan hitam berbau apak. Di dalam laci terdapat seperangkat alat makan dengan ukuran berbeda dan secarik kertas dilipat dua. Jantungnya berdebar tak keruan. Ia membuka kertas tersebut.
226.
Lantas sang pemuda berbalik lalu melambaikan tangannya dan berucap, "Hei, aku menemukan ...."
Sensasi dingin pada lengan Trevin yang diangkat membuat pemuda itu terdiam. Chester membelalakkan mata, menunjuk ke belakang Trevin, tak bisa bicara. Ternyata itu bukan sebuah lukisan, melainkan lorong dengan tangan menjulur dari kegelapan, menarik Trevin tanpa aba-aba.
Mau sekuat apa pun memberontak, Trevin tidak bisa, ia lemah. Pembunuh berantai berusaha menutup mulut Trevin, untungnya ia berseru sebelum dibungkam dan diseret ke dalam lorong. "Jawabannya 226! Lari!"
Chester terpaku di tempat, June mencengkeram lengan kiri pemuda tersebut lalu berlari keluar sekencang-kencangnya sembari berteriak, "Lari! Jangan dilawan!"
June memimpin Chester sampai akhirnya ia dapat berlari sendiri, tidak ada yang berani menengok. Setelah itu mereka berputar ke kanan dan menaiki tangga menuju ruang musik. Ketiga orang di sana terdiam melihat June dan Chester kesulitan mengatur napas.
"Di mana Trevin?"
"Dia ... ditangkap," jawab June.
"'Jawabannya 226'. Seperti ... kode lain." Chester berujar.
"Yang benar saja." Milly tampak khawatir.
Cadenza berusaha melembutkan suasana dengan berkata, "Mungkin itu jawaban dari ini, kami menemukannya di dalam piano. Tapi kita harus tetap bergerak."
Nana tampak sangat siap dalam keadaan seperti ini. "Ayo ke kamar pelayan 226."
Di sana sama saja berantakan seperti dapur, tidak ada yang peduli kecuali Milly. Semuanya langsung menuju kotak perhiasan dengan kunci tiga digit. Cadenza memasukkan 226 dan kotak terbuka, isinya sebuah diari kecil yang mengatakan sebuah teka-teki pada akhir halaman.
"Gelap, mengaum seperti singa. Jawabannya ruang bawah tanah, cari tanda silang." Cadenza berkata.
"Benarkah?"
"Ada jawabannya pada diari tanggal 26, pelayan ini mengeluh setiap harus ke ruang bawah tanah untuk mengambil anggur. Suaranya menyeramkan seperti singa mengaum."
Mereka segera keluar. Seseorang serba hitam sudah menunggu di ujung buntu yang berkebalikan dengan arah mereka, ia berlari menyambar kerah Milly, tetapi langsung diblokir oleh June. Ia melemparkan tendangan tinggi untuk memblokir lagi, tetapi pergelangan kaki kanannya dikunci.
Nana meneriakkan, "Lari, jangan dilawan!"
Sudah terlambat, June jatuh dan kedua tangannya diikat ke belakang dengan sangat cepat. Pemuda itu menyuruh rekan-rekannya kabur, ia akan menahannya.
Keempat detektif yang tersisa langsung masuk ke dalam ruang bawah tanah lewat jalur pertama kali datang. Gelap, berangin, dan berisik. Tempat itu cukup luas jadi keempatnya berpencar. Tak ada satu pun tanda silang di tanah dan di botol-botol anggur, cukup sulit melihat dinding karena tertutup rak-rak anggur.
Mata Chester yang sangat tajam akhirnya melihat silang hitam dan seutas tali pendek di langit-langit setelah hampir sebelas menit. Nana menaiki salah satu rak dan melompat ke arah silang tersebut, menangkap talinya dan mengusahakan semua berat tubuhnya ke bawah sampai tanda itu retak, menjatuhkan kerikil-kerikil. Namun, Nana terjatuh karena tidak kuat menahan, retakannya pun berhenti.
Cadenza melemparkan sebuah botol anggur ke arah retakan yang akhirnya hancur dan menjatuhkan sesuatu yang berkilau.
"Itu permatanya! Ambil!"
Setelah Cadenza mendapatkannya, mereka berlari menuju jalan keluar di ujung ruangan. Nana menaiki tangga dan membuka pintu, ia segera keluar dan mengulurkan tangan membantu yang lain. Namun saat giliran Cadenza, kakinya ditahan seseorang. Sang pemuda memberikan permatanya pada Nana dan langsung menutup pintu tanpa berkata.
***
Dahi Trevin berkerut kesal. Bisa-bisanya ia tertangkap, Cadenza pasti meledeknya.
Saat Trevin mendapati June ikut dibawa keluar, ia senang tidak sendirian. Namun, saat Cadenza yang dikeluarkan, ia tertawa seperti setan.
"Apa pendapatmu tentang escape room yang baru saja kau ikuti?"
"Tolong, jangan bertanya pada orang yang duluan mati."
Ketiga pemain yang selamat mendatangi mereka di ruang tunggu. Milly tersenyum paling lebar sambil menenteng hadiah.
KAMU SEDANG MEMBACA
GenFest 2020: Mystery x Thriller
Misteri / ThrillerBagaimana kamu menemukan kebenaran tersembunyi sementara rasa ngeri menggorogoti? ** Dalam Genre Festival yang diselenggarakan oleh Nusantara Pen Circle kali ini, para penulis akan menyajikan sebuah karya dengan Genre Mystery yang dipadukan dengan...