BAB 3 : Pertanggungjawaban

3.2K 139 0
                                    

.

.

.

.

.

Devan berjalan keluar dari ruang operasi. Keluarga pasien yang sudah menunggu di depan ruang tersebut langsung tergopoh begitu pintu terbuka dan Devan muncul. Devan melepas masker di wajah, lalu tersenyum lebar. "Operasinya berhasil. Dia berhasil melewati masa kritisnya."

Keluarga pasien mengehela nafas lega mendengarnya, tersenyum haru sambil menjabah tangan Devan. "Terima kasih dok," ucap pria paru baya yang merupakan ayah pasien. "Itu sudah tugas saya," Devan membalasnya dengan senyum tulus, sebelum kemudian berlalu pergi.

Devan menyeduh kopi untuk menghalau rasa lelahnya. Sebelah tangan Devan memijat tekuk dan menghela nafas panjang. Pasien yang dia tangani hari ini cukup berat. Terluka parah, hingga perlu dilakukan tindakan operasi. Hal itu tentu saja sangat menguras tenaga Devan.

"Bukankah oprasi tadi seharusnya menjadi tanggung jawab Dr. Anton? Kenapa jadi kau yang melakukannya?" tanya Aldo mendatangi Devan dan ikut menyedu kopi. Devan melirik Aldo sebentar sebelum menjawab, "Dr. Anton sedang ada urusan mendesak. Dia meminta tolong padaku untuk mengambil alih." Setelah menuang air panas ke gelas cup berisi bubuk kopi, Devan lalu mengaduknya.

"Luar biasa, kau bahkan mengambil tugas yang bukan bagianmu. Ada apa denganmu, kau gila kerja sekali beberapa minggu terakhir?" Aldo mengenal Devan dengan sangat baik, mereka berteman bukan hanya satu atau dua tahun. Tapi sudah bertahun-tahun, dari mereka masih menjadi mahasiswa. Tentunya jika ada sesuatu yang berbeda dari Devan, orang pertama yang akan menyadarinya adalah Aldo.

"Apa terlihat seperti Itu?" Devan tersenyum kecil menanggapi Aldo. "Kau tidak sadar, hah? Bercerminlah, kau hampir seperti zombie." Itu benar yang dikatakan Aldo, muka Devan terlihat sangat lelah seperti kurang istirahat. Bawah matanya bahkan sudah mirip seperti panda.

Devan mendengus singkat, sebelum berkata dengan sangat percaya diri. "Tenang saja, aku masih terlihat tampan." Devan tersenyum, lalu duduk di kursi sambil memegang gelas kopinya. "Aku sedang menghukum diriku sendiri," gumamnya lirih, tapi masih bisa di dengar oleh telinga Aldo.

"Memang kesalahan apa yang telah kau lakukan sampai bisa membuatmu sefrustasi ini?" Meskipun omongan Devan terdengar absurd, namun Aldo masih mencoba menanggapinya. Devan tidak menjawab dan malah tersenyum. Aldo justru melihatnya seperti Devan sedang memiliki masalah yang tengah di simpan rapat-rapat.

Devan menghela nafas lagi, lalu menyeruput kopi dengan tenang. Pandangannya lurus ke depan dan terlihat kosong seperti penuh beban. Kenyataan bahwa dia memang sengaja menyibukkan diri dengan bekerja sangat gila hanya untuk mengalihkan sedikit pikirannya dari masalah yang sedang dia hadapi.

Ponsel Devan bergetar di dalam saku. Devan meraihnya, dan melihat nama 'Tasya' tertera di layar.

oOo

"Bagaimana bisa kau tega melakukan itu padanya? Ternyata aku salah telah mempercayaimu!"

BUK!
BUK!
BUK!

"Kau sama brengsek dengan para penjahat kelamin di luar sana!" Kemarahan Adrian berada di puncak, emosinya meledak tak terkontrol begitu Devan mengakui semuanya. Menghajar dan meninju berkali-kali hingga Devan tersungkur di lantai dengan Wajah babak belur.

EDELWEISS (1-END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang