p e n a 0 5 | k e m b a l i
“Ma, kalian kenapa berangkat ke Jakarta gak bilang-bilang sih? Masa Chika ditinggal di Bandung sendirian?” Tanya gue pada seseorang di sebrang telpon sana.
“Chika, kamu kan udah gede. Lah masa sendirian di rumah aja gak berani. Sana minta temenin Idan. Biasanya juga sama dia.” Jawab lawan bicara gue yang tak lain adalah nyokap. Nyonya rumah di rumah gue ini.
Yah, gue belum bilang nyokap soal gue sama Idan putus. Bukannya gak berani bilang sih. Toh keluarga gue gak pernah maksain hubungan kita. Walaupun Idan anaknya tante Ayas sahabat nyokap dan Om Adhy sahabat bokap. Tapi itu tidak berpengaruh apa-apa dengan siapapun calon pasangan gue kelak.
Gue cuma lagi gak mau bahas soal Idan dulu aja. Walaupun cuma buat cerita ke orang lain. Semakin sering diceritain nanti makin susah lupanya. Sudah lah.
“Mama, Chika kan pengen ketemu nenek juga disana. Kok mama tega sih gak ngajakin Chika?” Rajuk gue.
“Mama kan taunya tadi kamu kuliah, Sayang. Lagian mama udah minta tolong Idan kok buat nganter kamu nanti sore nyusul kita. Nanti temuin Idan ya, kalian paling nyampe malem.” Jawab nyokap di sebrang sana.
Loh? Kok, sama Idan? Kok, gue harus berdua sama Idan perjalanan Bandung-Jakarta?
.
.
--
Yah, dan disinilah gue sekarang. Di bangku depan yang biasanya gue duduki tiap pergi bareng orang disamping gue ini. Tempat gue sering duduk sambil ketawa bareng dia, sambil dengerin lagu-lagu radionya dia, sambil mainin jendela mobilnya dia, bahkan tempat dimana gue sering ketiduran.
Tangan itu. Gue melirik sekilas tangan Idan yang sedang bertengger dengan manis di setir mobil. Biasanya tangan itu memegang tangan gue ini tiap kali gue dan dia berlarut dengan waktu di dalam sini. Biasanya tangan itu menggenggam erat tangan ini tiap kali kami bercengkrama sambil tertawa.
Ah, masa lalu, masa lalu.
Sudah lebih dari tiga puluh menit perjalanan kami berlalu. Tapi gue masih saja sibuk mengusap-ngusap jendela samping gue yang entah kenapa terlihat lebih menarik dibanding harus memulai mengeluarkan suara dari mulut.
Atau sesekali pura-pura sibuk memperhatikan jalan. Membaca satu-persatu nama toko yang berderet disana dengan harapan itu semua bisa membunuh waktu. Iya, gue tau ini super kurang kerjaan.
“Ka,” panggil Idan yang langsung memudarkan lamunan gue.
Gue hanya menoleh sedikit, “Hmm,” jawab gue dengan malas.
“Lo masih ngambek sama gue?” Tanyanya.
Ngambek? Maksud dia? Ngambek masalah yang mana ya?
“Ngambek apaan?” Tanya gue.
Tanpa mengalihkan pandangannya dari fokus menyetir, Idan tidak mengeluarkan suaranya untuk menjawab pertanyaan gue. Doh, dia ini. Giliran ditanya malah diem lagi. Dasar. Gak tau ah.
Gue memilih untuk berpindah dunia. Memasang earphone yang terhubung ke playlists handphone, melipat kedua tangan, kemudian mulai memejamkan mata. Berharap bisa tidur dan ketika bangun, mobil ini udah ada di garasi rumah nenek di Jakarta.
“Ka,” panggil Idan yang masih bisa gue dengar tapi gue malah pura-pura tidur.
Diam-diam gue menunggu panggilan selanjutnya, hanya sekedar ingin tahu seberapa besar usaha dia untuk membuat gue terbangun dan memperhatikan dia.
![](https://img.wattpad.com/cover/28093330-288-k568299.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Nama Pena [8/8 End]
Short Story[hanya dipublish di http://wattpad.com/user/just-anny, jika menemukan cerita ini di situs lain artinya itu merupakan PLAGIAT/PENYEBARAN TANPA IZIN] Nggak. Gue gak pake nama pena untuk surat-menyurat dengan teman jauh melalui kantor pos. Gue bukan se...