p e n a 0 1 | b e r b e d a

37.5K 2.7K 88
                                    

[hanya dipublish di http://wattpad.com/user/just-anny, jika menemukan cerita ini di situs lain artinya itu merupakan PLAGIAT/PENYEBARAN TANPA IZIN]

     

p e n a  0 1 | b e r b e d a

Es krim rasa vanila dengan taburan oreo di sekitarnya kini bentuknya sudah tak secantik semula. Seinget gue es krim ini tadi bentuknya bulat. Hasil cetakan es dan karya terampil pelayan cafe Aroma ini. Tapi seiring berjalannya waktu, gue semakin menyadari perubahan dari bentuk es ini. Menjadi suatu bentuk lain yang  berbeda.

Berbeda.  Rasanya akhir-akhir ini gue agak sensitif sama satu kata itu. Gue baru tahu kalau kita ternyata bisa ada di posisi seperti gue saat ini. Merasa menginginkan dan juga tidak menginginkan adanya suatu hal yang berbeda disaat yang bersamaan.

Iya, bisa.

Perhatian gue teralihkan saat tiba-tiba seorang cowok duduk tepat di depan gue. Gue perhatikan dia. Orang ini. Seseorang yang membuat gue sensitif dengan kata tadi.

"Chika. Maaf lama," ucap dia kemudian merebut sendok es yang sedaritadi gue aduk-aduk dan melahapkan sendokan es krim tersebut ke mulutnya. "Kemanisan." Katanya sambil mengerutkan dahi dan hidungnya.

Adalah seorang Haidan Adhyasa yang selama beberapa tahun ke belakang selalu ada di sekitar gue. Cerita kami klasik. Teramat klasik bahkan. Tetanggaan, teman seangkatan, sahabatan.

Walaupun tidak selalu pasti ada Idan dimana ada gue, juga tidak selalu pasti ada gue dimana ada Idan. Hubungan kami sebenarnya sederhana. Hanya sebagai teman yang merasakan kenyamanan saat berada di samping satu sama lain.

"Besok mau kemana?" Tanya gue.

"Hmm? Besok?" Tanyanya yang kemudian berpikir. "Gak ada. Ngerjain tugas di rumah." Lanjutnya.

"Sendirian?" Tanya gue.

"Yap. Kecuali lo mau dateng nemenin gue." Jawabnya.

Lagi-lagi. Selalu seperti ini. Bisakah hubungan kita berkembang sedikit? Haruskah hubungan kita gini-gini aja?

"Gak mau main keluar?" Tanya gue.

"Ngapain? Di rumah kan lebih adem. Bisa ditemenin pacar seharian pula." Jawabnya.

Iya, pacar. Gak ada yang salah kan dengan berubahnya status dari sahabat jadi pacar? Sejak hari itu, gue sama Idan pacaran. Hari dimana gue sendiri merasa tidak ada hal yang istimewa dengan hari itu. Hanya satu dari sekian banyak hari yang biasa.

Gue, dia. Seperti biasa kami menghabiskan waktu seharian di rumah gue saat hari libur. Tanpa pernyataan cinta, tanpa pernyataan sayang. Idan tiba-tiba mengelus kepala gue dan dengan gampangnya dia bilang jadi pacar gue ya, Ka.

Gue merasa senang hari itu. Untuk pertama kalinya seumur hidup gue, gue akhirnya punya pacar. Gue mau sama Idan. Karena selama ini Idan selalu nemenin gue. Gue mau sama Idan. Karena selama ini gue merasa nyaman dengannya.

Hingga beberapa tahun berlalu semenjak hari itu, hubungan kita tidak pernah berubah. Walaupun kita sekarang udah duduk di bangku kuliah, tapi gaya pacaran kita sama sekali gak kayak orang pacaran. Apa bedanya status kita sekarang dengan status kita yang dulu?

Berbeda. Sesuatu yang gue inginkan saat ini. Hubungan yang berbeda. Salahkah gue mau sesuatu yang lebih manis di hubungan kita berdua? Tidak datar seperti saat ini.

Bukan Idan namanya kalau saat gue ulang tahun ngasih gue kejutan. Bukan Idan namanya kalau saat tertentu tiba-tiba ngasih gue boneka, cokelat ataupun bunga. Bukan Idan namanya kalau dengan terang-terangan bilang sayang sama gue.

Dasar manusia kaku. Gak romantis. Bosenin.

"Chika?" Panggilan Idan menyadarkan lamunan gue tentang dia.

"Hmm?" Tanya gue dengan malas.

"Lo ngantuk ya? Tidur jam berapa semalem?" Tanya Idan.

"Lupa," jawab gue sekenanya.

Berbeda. Sesuatu yang tidak gue inginkan saat ini. Saat perasaan nyaman gue ketika ada di samping dia entah sejak kapan berubah menjadi perasaan lain. Mungkinkah gue jenuh dengan dia? Bingung. Percaya gak kalo akhir-akhir ini gue ngejalanin hubungan dengan dia tanpa rasa?

Gue, seolah kehilangan alasan kenapa gue jatuh cinta dengan orang yang selalu di samping gue ini.

"Dan," panggil gue.

"Hmm?" Tanyanya sambil meneguk minuman yang bahkan gue sendiri gak sadar sejak kapan dia pesan.

"Gue mau kita udahan," ucap gue pelan.

Cowok di hadapan gue saat ini tiba-tiba terdiam tanpa ekspresi. Tidak menunjukkan rasa kagetnya sedikitpun. Tidak menunjukkan perubahan menegangnya wajah sedikitpun.

"Gue mau kita putus," jelas gue.

Satu detik.

Dua detik.

Tiga detik.

"Oke," ucapnya singkat masih tanpa ekspresi. Datar kayak papan pintu.

Walaupun rasaya terdengar cukup impulsif, tapi ini adalah pilihan yang gue rasa terbaik untuk saat ini. Bukankah sesuatu yang dipaksakan itu akan tidak baik? Bukan berarti gue merasa sok paling benar. Hanya saja ini masalah rasa. Rasa tidak pernah berbohong. Seperti layaknya hati.

Boleh kan gue bilang cara putus seperti ini adalah cara baik-baik? Gue mengajukan, dia tidak menolak. Gue rasa semuanya sudah cukup jelas. Hubungan gue sama dia mulai detik ini berakhir. Kita. Putus.

---------------

Cerita baru, yeay!

Halo, ini tulisan gue yang kedua belas. Disini gue masih akan menulis dengan gaya simpel gue. Semoga bisa menghibur ya. Pesannya cuma satu, tolong dihargai. buat yang suka, vote ya!


Nama Pena [8/8 End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang