1. Inlander

81 12 0
                                    

BRAKK BRAKK BRAKK..

BRAKKK BRAK BRAAK!

"Open de poort! Open de poort!!" teriak Sena dengan suara keras melengking yang dipenuhi amarah. (Buka gerbangnya!)

Dia menggedor-gedor gerbang pabrik setinggi lima meter itu dengan sangat marah. Sena terus-menerus memukul pintu besi yang berkarat itu meski kepalan tangannya mulai mati rasa.

Sepuluh menit dia seperti itu, tak ada jawaban dari dalam pabrik. Sementara hujan deras terus mengguyur disertai guntur dan petir menyambar-nyambar. Sepatu putihnya dipenuhi lumpur, pakaiannya basah dan bibirnya semakin pucat. Air hujan terus mengguyurnya, Sena tidak menyerah!

"Ben je doof?" maki Sena mulai hilang kesabaran. (Kalian tuli?)

"Nederlandse dom!" tambah Sena semakin naik pitam. (Belanda dungu!)

"Heb je niet gehoord? Open de poort!!" teriak Sena lagi. (Kalian tidak dengar? Buka gerbangnya!)

Langit semakin gelap, ditambah genangan air bercampur lumpur semakin tinggi. Petir belum berhenti, justru semakin keras dan bertabrak-tabrakan bunyinya. Langit terang berkali-kali seperti jepretan foto orang profesional. Sena mulai menggigil kedinginan. Bibirnya mengkerut pucat pasi, matanya berusaha tetap terbuka meski air terus mengalir dari keningnya. Berkali-kali dia usap wajahnya dengan telapak tangannya. Sementara tangan yang lain bergantian menggedor pintu besi raksasa itu.

Dia yakin mereka ada di balik pintu itu. Bersiap dengan senjata laras panjangnya, panas telinga mereka mendengar umpatannya, tapi juga tertahan tidak bisa menyumpal mulutnya untuk berhenti. Belanda-belanda itu masih terus bergeming hingga serak suara Sena dan habis tenaganya.

Hingga akhirnya..
KRIIEEKKKK...

Segaris cahaya putih keluar dari pintu yang dibuka pelan. Cahaya dari penerangan dalam pabrik yang sedikit menerangi Sena. Membuatnya silau hingga terpaksa memincingkan kelopak matanya.

Belum selesai sensai putih menyilaukan itu, tiba-tiba krah leher Sena ditarik paksa hingga tubuhnya terangkat tinggi. Sesak lehernya tercekik. Dua tangan besar berotot mencengkram krahnya sangat kuat.

"Ga hier weh, Inlander!" bentak laki-laki Belanda itu. (Pergi dari sini, pribumi!)

Sena semakin sesak, dia kesulitan bernapas. "Laat me gaan!" bentak Sena tegas. (Lepaskan aku!)

Belanda itu lalu melepas cengkeramannya. Dia melempar Sena ke bawah sampai ada bunyi debam yang keras. Kini seluruh pakaiannya penuh lumpur.

Belanda itu menyalakan senter kecilnya, mengarahkannya ke wajah Sena, lalu turun ke pakaiannya. Dia menemukan lambang HBS di dada kirinya.

Sena cepat-cepat berdiri lagi. Dia rapikan jilbabnya, dan pakaiannya yang kumal kotor berlumur lumpur. Dengan percaya diri, dia tatap mata Belanda itu dengan emosi meletup-letup.

"Waar zijn de kinderen?" serang Sena. (Dimana anak-anak itu?)

Belanda itu tidak menggubris pertanyaan Sena. Dia malah meninggalkan dia, melangkah berbalik setelah mematikan senter kecilnya. Tapi Sena tidak mau diam saja, dia berlari mengejarnya, berlari lebih cepat darinya, mendahului orang Belanda itu dan masuk ke dalam pabrik.

"Stop! Inlander, stop!" teriak laki-laki Belanda itu mengejar Sena. (Berhenti! Berhenti, pribumi!)

Sena terus berlari masuk, membelah lapangan luas dengan bergunung-gunung pasir hitam di sekitarnya. Dia tidak menoleh ke belakang sedikitpun. Debam kaki Belanda itu semakin mendekat padanya, tidak hanya satu, tapi sekarang menjadi lima orang yang mengejarnya. Sena mengangkat sedikit roknya agar dia bisa berlari lebih cepat lagi, sementara jilbabnya berkibar di belakang.

Hujan masih terus mengguyur, ditambah angin malam yang berhembus ke arahnya sangat kuat. Malam berkali-kali terang bersamaan kilat petir dan suara gemuruh menggelegar. Sena sama sekali tidak takut.

Dia harus menemukan keberadaan murid-muridnya yang tiba-tiba menghilang. Tujuh murid tidak datang sore ini. Teman dan tetangganya bersaksi kalau mereka semua terlihat di pabrik pasir Belanda. Pagi-Pagi buta mereka diseret orang-orang Belanda ini dari rumah mereka ke pabrik dan dipaksa menjadi buruh dan kuli angkut pasir. Sementara orang tua mereka dihajar hingga berdarah-darah dan tidak bisa menyelamatkan anak-anaknya. Mendidih darah Sena mendengar cerita itu. Panas telinganya dan habis kesabarannya. Sebab kejadian seperti ini bukan pertama kalinya.

Sore ini juga, Sena bergegas ke pabrik pasir Belanda untuk memastikan kebenaran laporan itu. Dia menerjang hujan badai, berlari belasan kilometer untuk mencapai lokasi ini.

Sena masih berpakaian sekolahnya lengkap dengan buku-buku yang basah di dalam tasnya. Dia tidak berhenti, terus berlari, meski napasnya semakin kering dan habis.

Dari kejauhan, dia menemukan ruangan terang. Satu-satunya ruangan dengan lampu paling terang di lapangan gunung pasir ini. Itu pasti ruangan bos pabrik ini. Dia harus ke sana!

Tapi,
Semuanya tiba-tiba gelap. Sena terjatuh. Dua orang menahan tubuhnya, seorang lagi mengikat tangan dan kakinya.
Dia tertangkap.

Taman Siswa [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang