"Mas Dewa tidak setuju dengan pemikiran Ki Hajar soal Belanda yang memeras kita?" sanggah Sena. Ketegasan dalam suaranya mengimbangi keseriusan Dewa.
Dewa menyandarkan punggungnya ke kursi, sementara Sena tetap duduk tegak sedikit condong padanya. Pelataran rumah sudah gelap, tinggal lampu teras itu satu-satunya penerangan mereka sekarang. Lalu suara jangkrik dan katak bersahut-sahut nyaring.
Dewa masih diam.
"Bahkan sampai sekarang pun, mereka masih tetap memeras kita. Mereka mengambil terlalu banyak dari kita, harta kekayaan bumi, tenaga, pikiran, waktu, kehormatan, harga diri yang diinjak, dan bahkan Harapan akan masa depan! Tulisan ini hanya sedikit sindiran dari semua kejahatan yang dilakukan Belanda, dari semua kebahagiaan yang mereka rampas dari kita!" bantah Sena berapi-api.
"Tapi berkat Belanda, kau bisa menikmati hidupmu sekarang," potong Dewa.
"Apa?" pekik Sena pelan. Tak pernah ia bayangkan kalimat itu terucap dari orang yang ia percaya dan sayangi selama ini. Sebuah pernyataan yang sangat berbeda dari apa yang ia inginkan.
Mereka saling diam sebentar. Menamatkan pandangan, menguji keyakinan dan juga perbedaan pemikiran yang tiba-tiba muncul.
"Apa maksudmu, Mas?" tegas Sena. Dia tersinggung.
"Bukankah selama ini kita hidup mewah? Menjadi putri seorang bupati yang dijunjung dan dihormati rakyat, disegani oleh pejabat Belanda, dan bebas bersekolah di HBS dan ELS. Semua itu karena sistem Belanda yang berpihak pada kaum bangsawan seperti kita. Seharusnya kau berterima kasih, Sena," jelas Dewa mencoba mengatakan dengan cara sehalus mungkin.
Sena tertegun. Semua rasa kemarahan, kecewa, dan tidak menyangka itu, semuanya bercampur aduk.
Memang benar, Sena adalah siswi HBS (hogere burger school). Dia bisa bersekolah di sana karena dia anak seorang bupati dan masih memiliki darah bangsawan. Sekolah elit itu tidak untuk pribumi rendahan yang miskin. Hanya keturunan eropa, dan sedikit kaum ningrat pribumi yang boleh bersekolah. Meski begitu, tidak semuanya mampu lolos seleksi masuk dan bertahan hingga lulus. Standart pendidikannya sangat tinggi.
"Apa kita juga hidup dari pajak rakyat?" tanya Sena, dengan getir. Pikirannya segera berlari ke ucapan pria Indo malam sebelumnya. 'Pencuri Pajak' itu sangat menghina harga dirinya. Dan pendapat Dewa petang ini, seolah menguatkan julukan itu. Sena bertanya karena marah, disaat yang sama dia takut jika jawaban Dewa tidak sesuai harapannya.
"Tentu saja," cetus Dewa ringan. "Semua pejabat pemerintahan digaji dari hasil pajak, Sen. Tapi jika hanya mengandalkan gaji itu saja, kita tidak bisa hidup seperti ini," jelasnya.
CEKLEK CEKLEK
Engkel pintu di buka dari dalam, segaris cahaya terang menyorot mereka berdua. Ibu Sena menghampiri mereka dengan senampan penuh makanan dan dua gelas teh hangat. Ketegangan mereka terpecah karena teh hangat dari Ibu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Taman Siswa [Sudah Terbit]
Fiksi SejarahBagaimana jika mimpimu itu mengharuskan kamu kehilangan keluarga, sahabat bahkan pasanganmu? Sebab mereka semua menentang habis-habisan mimpi itu? Sebab mimpimu itu terlalu berani hingga bisa merenggut masa depanmu? Apalagi hidup di masa penjajahan...