BRAAKKKK!
Tiga kursi terseruduk mundur menabrak tembok berlumut. Seorang anak kecil tersungkur kesakitan di bawah kursi paling depan. Tubuhnya meringkuk, dua tangannya melindungi kepalanya. Dia berusaha bangun, duduk lagi, tapi laki-laki tinggi berkulit putih dan rambut coklatnya, menendang bahu anak itu sampai ia kembali tersungkur. Sol sepatu hitamnya yang tebal dan keras itu menekan belikat kanan anak 7 tahun itu sangat kuat. Anak perempuan itu meronta, tangisnya terus bertambah keras ketika Belanda itu menarik tangannya, memaksanya kembali berdiri. Dia ketakutan.
"Stop met huilen!" bentak tentara Belanda itu sangat marah. (Berhenti menangis!)
Di sisi lain ruangan kecil 3x4m itu, bertambah riuh ketika sepuluh anak kecil lainnya ikut berteriak ketakutan yang lama-lama menjadi tangisan histeris. Pakaian mereka lusuh, hampir tak terdefinisikan warnanya selain abu yang kumal. Kaos oblong kebesaran, celana pendek, dan rambut yang acak-acakan. Wajah mereka kotor, berkeringat dan debu yang menempel. Tubuh kurus mereka terlalu ringkih menerima siksaan macam apapun dari kompeni itu.
"Maafkan kami..." seru mereka bersama-sama tapi tak serempak. Suara memohon yang terbalut tangis ketakutan. Mereka bersimpuh, berlutut, apapun yang mereka bisa lakukan untuk menunjukan penyesalan dan ketundukan mereka pada Belanda itu agar dimaafkan dan berhenti menyiksa teman mereka.
Belanda itu justru semakin muak dengan suara mereka. Dia menghampiri anak-anak miskin itu dengan wajah jengkel dan dua alis yang tertaut. Tangannya menyabet beberapa lembar uang yang digenggam kuat anak-anak itu dengan kasar. Beberapa dari mereka melawan, memegang erat uang itu, enggan melepasnya, tapi tetap kalah kuat dengan tangan besar tentara terlatih itu. Lembaran uang itu adalah upah kerja mereka satu minggu ini.
"Ini tidak akan terjadi kalau kalian menurut dengan Saya dan tidak protes!" ucap Tentara Belanda itu, berbicara dengan bahasa Indonesia agar mereka mengerti. Dia cukup fasih meski tak jelas pengucapannya, mereka paham maksudnya. "Minggu ini kalian tidak Saya bayar! Ini karena ulah kalian sendiri!" imbuhnya dengan emosi kemenangan.
Tangis mereka terbungkam, tak bisa protes apalagi membela diri.
PROOTTT!
Sebuah telur pecah di kepalanya. Mereka semua terdiam. Anak-anak itu juga diam mendadak dan Belanda itu juga kaget. Matanya melotot panik bercampur marah. Tangannya meraba kepalanya yang lengket telur. Lalu satu lagi membentur kepalanya untuk kedua kalinya.
PROOTT!!
Bertambah melotot matanya sampai mau keluar. Tangannya mengepal, meremas kulit telur yang dia temukan di kepalanya.
"Mau lagi?" seru Sena. Dia berdiri di ambang pintu. Memegang tas plastik berisi tiga telur lagi dan di tangan kanannya menggenggam satu telur yang sepertinya siap untuk dia lemparkan ketiga kalinya.
Belanda itu menemukannya dengan mata bulatnya yang sangat lebar dan dua alisnya yang hampir menyatu.
"Kemari kau Inlander!" teriaknya penuh amarah.
Sena hanya menjulurkan lidahnya dan melambaikan tangannya mengejek Belanda itu.
"Kau yang kemari kalau berani, Belanda Jelek!" ejek Sena lebih keras.
Dia lemparkan lagi telur ketiganya. Tepat memukul mata kiri orang Belanda itu. Sena berhenti sebentar, menyempatkan tertawa girang dulu mengejek laki-laki itu. Dia menjulurkan lidahnya lagi. Sambil menyuruh anak-anak itu ikut menertawakan tentara itu.
Tentara Belanda itu kehabisan kesabarannya. Dia mau berbalik menghajar anak-anak itu, tapi Sena melempar telur lagi ke mulutnya. Anak-anak itu semakin girang dan terbahak luar biasa. Sena ikut senang melihat pembalasannya berhasil membuat anak-anak itu tertawa. Tapi tawanya tak bisa berlangsung lama karena Belanda itu sedang berlari ke arahnya dengan kemarahan yang meletup-letup seperti magma yang muncrat-muncrat di ujung kawah.
Sena harus berlari sekarang! Dia kerahkan seluruh kemampuan larinya untuk pergi secepatnya dan menghindari kejaran Belanda itu. Sekarang mereka meninggalkan gedung tua yang suram itu. Sena memancingnya keluar, dia berlari menyebrangi jalan menuju ke arah sawah yang kebetulan gedung itu dekat sekali dengan sawah. Belanda itu semakin cepat, dia tak bisa kehilangan Sena.
Sena menoleh ke belakang, jarak mereka semakin dekat! Bahaya! Sena fokus lagi ke depan. Dia mencari cara untuk kabur dari Belanda ini. Sekarang mereka berlari di tengah-tengah pematang sawah. Gundukan tanah becek yang membatasi antar lahan sawah, biasanya sebagai jalan setapak petani untuk menuju sawah mereka. Aksi kejar-kejaran itu menyita perhatian setiap petani yang mereka lewati. Semuanya serempak menghentikan aktivitas mereka dan melihat Sena dan Belanda itu yang berkejar-kejaran.
"Disana!" pekik Sena bahagia. Dia melihat persimpangan pematang sawah di arah Timur Lautnya. Ada sebuah galian yang dibuat petani untuk mencari sumber air baru saat kemarau kekeringan. Ketika musim hujan seperti sekarang, bekas galian itu tergenangi air hingga sedalam bahu orang dewasa. Sena perkirakan itu akan sedalam dada orang Belanda itu. Tapi jika dia ingin memancingnya kesana, dia sendiri harus memikirkan cara agar tidak ikut tercebur. Bagaimana?
Gawat! Lokasi kubangan air itu semakin dekat dan dia belum menemukan ide. Sena berpikir keras. Saat dia berbelok ke kanan, jauh di depannya dia melihat sebuah pohon. Betapa senangnya Sena, sebab beberapa tahun lalu pohon itu masih kecil dan sekarang tumbuh sangat subur dengan batangnya yang bercabang banyak dan meliuk-liuk. Daun-daunnya kecil dan lebat. Pohon itu tumbuh rendah dengan batangnya yang bercabang ke tengah pematang sawah.
Ujung jemari Belanda itu berhasil menyentuh bahunya sedetik. Sena mempercepat larinya. Sepuluh meter lagi pematang sawah di depan akan putus, karena galian dalam petani yang membuat kubangan air melebar hingga membuat pematang sawah itu ambles. Sena mempercepat lagi langkahnya dan tak lupa menengok ke belakang mengejek Belanda itu lagi agar dia semakin marah. Lalu Sena fokus ke depan lagi, dia melompat menggapai dahan pohon itu. Sedangkan orang Belanda itu karena fokus melihat Sena dan kesal, dia tidak memperhatikan jalan di depannya dan... terperosok!
BYUUURRRR
Sena bergelantung di dahan pohon itu sambil berusaha naik. Dia tertawa sangat-sangat keras dan puas membuat Belanda itu tercebur.
--------------------------
KAMU SEDANG MEMBACA
Taman Siswa [Sudah Terbit]
Narrativa StoricaBagaimana jika mimpimu itu mengharuskan kamu kehilangan keluarga, sahabat bahkan pasanganmu? Sebab mereka semua menentang habis-habisan mimpi itu? Sebab mimpimu itu terlalu berani hingga bisa merenggut masa depanmu? Apalagi hidup di masa penjajahan...