Sore itu, 1932, di Surabaya.
Halaman depan rumah bupati yang tidak kurang dari seratus meter persegi itu, lengang. Dua pembantu laki-laki baru selesai menyapu daun-daun kering. Tumpukan sampahnya masih utuh di ujung belakang halaman. Ada dua pohon mangga besar di pinggir jalan depan, pohon yang seperti gapura pintu masuk itu sedang berbunga, sangat banyak seperti sakura. Di sisi kanan, tumbuh juga pohon jati yang masih muda, ada sepuluh jumlahnya, berjajar membentuk pagar, yang tingginya masih 3 meter. Sisanya hanya halaman luas tanpa sekat dengan pemandangan sawah luas di sisi kiri. Lapang sawah yang memberikan sensasi matahari terbit setiap pagi.
Rumah bupati Atmojoyo adalah yang terbesar di desa itu. Rumah Joglo khas Surabaya seluas tiga ratus meter persegi itu tak ada yang menandingi di sana.
Terasnya lebih tinggi, butuh 2 anak tangga untuk naik. Empat pilar depan yang menyanggah langit-langit kanopi dari kayu dan triplek itu berjajar rapi di muka. Pilar setinggi tiga setengah meter dengan ornamen kayu ukir yang melingkari ujung atasnya, dicat warna coklat tua. Lantainya dari susunan ubin-ubin hitam kecil yang mengkilap. Ada dua pasang meja kursi di sana. Masing-masing di sisi kanan dan kirinya. Meja di sisi kiri biasa dipakai Atmojoyo menjamu tamu-tamunya, kebanyakan dari kepala desa yang berkunjung dan berkonsultasi. Sedang meja lainnya, paling sering digunakan Sena, putri semata wayang Atmojoyo.
Sena tenggelam dalam buku-bukunya. Perempuan berwajah manis dengan kulit sawo mentahnya itu sangat suka membaca. Bentuk matanya almond, dan dia punya tatapan yang tajam. Ini mempertegas kepribadiannya yang terkenal berani tapi juga pengasih.
Lima majalah dan tiga buku tebal menumpuk di meja bundar di depannya. Surat kabar De Express, Oerang Jawa, Pusara dan juga buku-buku tentang sekolah untuk pribumi, menjadi menu wajib yang dia baca. Semuanya tentang perkembangan pergerakan nasional. Berita-cerita bagaimana para pahlawan berjuang lewat pendidikan dan keorganisasi untuk menyuarakan pemikirannya dan juga berbuat nyata membantu rakyat. Dua kisah yang paling membuat Sena takjub adalah perjuangan Sarekat Islam dan Taman Siswa.
Sarekat Islam yang berhasil menyelamatkan rakyat pribumi dari monopoli dagang dan menyatukan seluruh kekuatan di pulau Jawa ini. Sosok Tjokroaminoto yang begitu memukau dalam pidato-pidatonya yang menggelorakan perjuangan dan membangkitkan jiwa pribumi atas nasib dan masa depan mereka. Kepiawaian Tjokroaminoto dalam melindungi Sarekat Islamnya hingga Belanda tak bisa berbuat sesuka hati melibasnya, benar-benar membuat Sena kehabisan kata-kata. Sayangnya, ketika gelora perjuangan itu sedang dipuncaknya, Sena masih terlalu kecil untuk bergabung.
Lalu di tahun-tahun yang hampir sama, Perjuangan Ki Hajar Dewantara yang mendirikan Taman Siswa untuk sekolah pribumi miskin, juga tak kalah membuatnya berair mata. Bagaimana pengasingan di Belanda justru membuatnya bertekad melawan mereka dalam bentuk lain, bukan lagi politik yang beradu pemikiran dan keluar masuk penjara, Ki Hajar melihat peluang emas lain yang akan menjadi kekuatan baru dalam perjuangan ini, yaitu Pendidikan. Dia mengumpulkan teman-temannya dan bersepakat mendirikan Taman Siswa pertama di Yogya, 10 tahun lalu. Sena masih berusia 10 tahun kala itu.
Sena membetulkan jilbab merah tuanya, menariknya sedikit ke belakang, hingga nampaklah alis tebal yang mengkerut karena terlalu fokus membaca itu. Wajahnya menunduk, matanya fokus memindai setiap kalimat yang ia baca satu per satu. Sesekali dia geleng-geleng, kadang mengangguk-angguk, kadang bibirnya komat kamit cepat, kadang juga matanya terpejam tanpa sadar, tapi kali ini tidak.
Sena terlalu fokus, sampai tidak peduli pada sekitarnya. Sampai tidak sadar matahari sebentar lagi istirahat. Bola lampu terasnya menyala. Pendar kuningnya menerangi kepala Sena, memberinya bayangan menghalangi bacaannya. Ia terganggu, lalu berdiri hendak memutar arah kursinya. Belum sadar ia keadaan sekitarnya, seorang pria jangkung berdiri tepat di sampingnya.
"Hei," pekiknya menyapa. Sena kaget. Bukunya jatuh, Lututnya tersandung kaki kursi, nyerinya merambat cepat, Sena tak imbang. Dia hampir terduduk, tapi laki-laki itu menahan lengan Sena.
"Sejak kapan.. kau berdiri di situ?" protes Sena jengkel. Dia berusaha berdiri lagi dengan benar.
Laki-laki itu hanya terkekeh puas, lalu menarik kursi di sebelah Sena dan duduk di sana.
"Mas, kau sengaja mengagetkanku?" Sena semakin jengkel.
Laki-laki itu pura-pura tak dengar sambil menahan tawa kecilnya. Namanya Dewangga, Sena memanggilnya Mas Dewa. Itu karena kultur masyarakat Jawa, panggilan kepada yang lebih tua. Sebenarnya mereka juga bisa dikatakan sebaya, hanya selisih satu tahun.
Dewangga, laki-laki berkulit putih yang tinggi itu adalah anak pengusaha sukses di Surabaya. Dengan setelan beskap putih gading dan celana kain hitam yang membalut tubuh atletisnya, Dewa menjadi pujaan banyak siswi di HBS. Dia jarang memakai udheng di kepalanya, Dewa suka menjaga kerapaian rambut hitam klimis yang selalu ia sisir ke samping kanan itu. Sebenarnya bukan itu alasan sesungguhnya. Sena pernah bertanya, kenapa Dewa tidak suka memakai udheng, jawabannya karena itu terlalu menunjukan identitas pribuminya.
"Apa yang kau baca, Sen?" tanya Dewa, dengan suara bass yang bulat. Tangannya sudah menjelajah majalah dan surat kabar yang menumpuk acak di meja bundar itu. Rasa penasaran mendorongnya untuk membaca satu judul pada artikel terdepan surat kabar harian De Express.
"Banyak," jawab Sena ringan. Dia masih fokus ke tulisan Ki Hajar Dewantara yang paling fenomenal, 'Als ik een Nederlanders was'.
"'Als ik een Nederlanders was?'" Dewa mengeja judulnya sekaligus dengan nada bertanya pada Sena. Sorot matanya lebih serius dibanding sebelumnya.
"Hem," angguk Sena ringan. "Itu tulisan karya Soewardi Suryaningrat, 19 tahun yang lalu, sekarang dia mengubah namanya menjadi Ki Hajar Dewantara," jelas Sena. Lalu perempuan itu mencondongkan badannya ke arah Dewa, "Itu tulisan yang luar biasa berani," bisiknya antusias dengan sorot mata penuh kekaguman.
Dewa mengerutkan dahinya sampai dua alisnya hampir bertemu. Dia membacanya, tulisan dalam bahasa Belanda itu.
"Andai aku seorang Belanda..." ucap Sena mengulangi judulnya. "'Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang telah kita rampas sendiri kemerdekaannya.. Kalau aku seorang Belanda, hal yang terutama menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku ialah kenyataan bahwa inlander diharuskan ikut mengongkosi suatu kegiatan yang tidak ada kepentingan sedikit pun baginya,'" ujar Sena berapi-api. Dia mengutip sepenggal kalimat paling terkenal dari tulisan itu.
Dewa masih membaca tulisan itu. "Tapi tulisan ini sangat berbahaya," cetus Dewa.
Sena terdiam, matanya berubah jadi penuh selidik curiga pada ucapan Dewa. Lalu suasana meja itu mendadak tegang.
"Kau bisa menjadi pemberontak jika menulis seperti ini, atau dengan menyimpan tulisan-tulisan ini," imbuh Dewa serius.
KAMU SEDANG MEMBACA
Taman Siswa [Sudah Terbit]
Tarihi KurguBagaimana jika mimpimu itu mengharuskan kamu kehilangan keluarga, sahabat bahkan pasanganmu? Sebab mereka semua menentang habis-habisan mimpi itu? Sebab mimpimu itu terlalu berani hingga bisa merenggut masa depanmu? Apalagi hidup di masa penjajahan...