7. Demmo

29 4 1
                                    

Haloo semuanya.. :) 

Jangan lupa kasih vote yaa :)


Setelah pertengkaran hebat malam itu, Atmojoyo tak sekalipun menyapa putrinya meski setiap sarapan dan makan malam mereka bertemu di meja yang sama. Tak ada percakapan, tak ada yang memulai pembicaraan. Sena datang, duduk, makan, melihat sebentar ayahnya, lalu kembali ke kamarnya.


Atmojoyo juga tidak berniat membuka ruang berunding untuk membicarakan lagi keinginan Sena. Dia tidak mencoba membujuk putrinya untuk membatalkan niatnya seperti yang selalu ia lakukan. Barangkali ucapan Sena malam itu sangat melukai hatinya, dan menjatuhkan harga dirinya di depan anaknya sendiri. Bukankah rasa malunya lebih besar ketimbang di hadapan orang lain? Bupati berkumis tebal itu mengunci rapat bibirnya, melirik Sena pun tidak.


Ini seperti perang dingin dimana kedua pihak mempertahankan keangkuhan masing-masing. Siapa yang mencoba berdamai lebih dulu adalah yang kalah. Kalau keduanya punya pendirian yang kuat, lantas siapa yang mau dikatakan kalah dan mengalah? Tidak ada.


Hari itu, sekolah masih libur, hingga dua hari ke depan sebelum pengumuman hasil ujian kelulusan. Seminggu yang lalu, Sena merampungkan ujian akhir kelulusannya di sekolah paling elit di Surabaya itu, HBS. Sekolah paling sulit ditembus apalagi untuk dapat ijazahnya. Bukan hanya karena biaya sekolah yang sangat mahal, tapi sistem pendidikan dan standart kelulusannya terlampau tinggi untuk anak-anak pribumi, pun juga anak-anak Eropa. Ini karena HBS menyamakan standart dan kurikulumnya seperti HBS di Belanda, sehingga begitu lulus, alumni HBS bisa memilih melanjutkan kuliah ke Belanda atau di perguruan tinggi HIndia Belanda.


Sartinah mengintip dari ambang pintu, putrinya sedang duduk di anak tangga teras depan, bertopang dagu, menekuk dua lututnya. Pandangannya jauh menyusuri hamparan sawah yang hijau. Hari itu masih pagi, Atmojoyo sudah berangkat lebih pagi hari ini.


"Sena," Sapa Sartinah. Dia ikut duduk di samping Sena. Hari ini sanggul ibu tidak sebesar biasanya, dia juga mengenakan kebaya biasa, bukan yang istimewa. Wajahnya juga lebih pucat dan lesu, bibirnya tidak semerah hari-hari biasanya. Tapi Sartinah tidak sakit.


"Ada apa, Bu?" Sena menoleh.


"Kamu sudah coba bicara sama Ayah lagi?" tanya Sartinah. Sena sudah menduga apa yang akan dibicarakan Ibunya. Sena hanya menggeleng pelan.


"Ayah tidak bisa dibujuk," jawab Sena singkat. Dia mengalihkan pandangannya ke sawah lagi setelah melihat Ibunya yang duduk di sebelah kanannya. "Sena tahu Ibu juga menentang keinginan Sena," imbuhnya pelan.


Lama, mereka saling diam. Hingga ayam berkokok sampai dua kali. Piaran Atmojoyo di halaman belakang rumah mereka.


"Ayah begitu karena sayang padamu, Nak," ucap Sartinah lagi. Tangannya mengelus kepala belakang Sena pelan. "Ayah sama Ibu tidak ingin kamu celaka. Kalau kamu ingin mengajari mereka, lakukan saja seperti biasanya. Mendirikan sekolah itu terlalu berbahaya, nak," lanjut Sartinah.


Sena menarik napas panjang, mengendalikan emosinya, seperti bersiap mengeluarkan jurus maut. Tapi begitu melihat wajah Sartinah yang menatapnya penuh kasih dan iba itu, emosi Sena luluh.

Taman Siswa [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang