10. Teruslah Berkarya!

34 6 1
                                    


Sore itu, Sena mengajar seperti biasanya. Di sebuah langgar joglo sederhana, dia ajarkan membaca dan menulis kepada dua puluh muridnya, hari itu. Setiap hari jumlah murid yang hadir berbeda, rata-rata 15 sampai 17 anak, tapi hari ini sampai 20.


Langgar itu tidak terlalu luas, hanya tiga puluh meter persegi. Tidak ada dinding, hanya disanggah empat pilar besar dari kayu kelapa. Lebih mirip seperti gazebo. Atapnya juga dari susunan daun kelapa yang ditumpuk-tumpuk rapi. Lantainya dari papan kayu, dengan pagar mengelilingi setinggi satu meter di keempat sisinya.


Sena duduk di pusat lingkaran itu. Disamping papan tulis hitam kecil dengan kaki penyanggahnya. Dia menuntun mereka membaca bersama-sama kata demi kata yang ia tulis di papan itu menggunakan bahasa Melayu. Lalu ia beri mereka waktu lima belas menit untuk belajar mandiri sebelum dia meminta mereka membacanya dengan berdiri di depan satu per satu.


Kedua puluh anak itu datang dari usia yang beragam. Mulai usia 7 – 12 tahun. Rata-rata mereka anak buruh pabrik pasir dan gula yang lokasinya paling dekat dengan desa ini. Sebagian dari orang tua mereka juga masih bertani dan berkebun. Satu kesamaan dari mereka semua adalah semuanya miskin dan tidak bisa sekolah.


Sembari menunggu mereka belajar mandiri, Sena menyempatkan membuka majalah dan surat kabar yang ia kumpulkan. Semuanya tentang Taman Siswa. Sena harus mulai mencari tahu bagaimana caranya mendirikan sekolah swasta itu ditengah keadaan politik yang sulit ini. Sena mengumpulkan banyak surat kabar dan apapun yang bisa memberinya semua informasi tentang Taman Siswa. Mulai dari majalah Wasita dan Pusara yang diterbitkan sendiri oleh Majelis Luhur Taman Siswa Pusat, lalu majalah-majalah pergerakan terbitan Soerabaja dan meminta bantuan teman HBS nya yang memiliki saudara yang mengajar di Taman Siswa untuk berbagi informasi mengenai pengajuan cabang. Sena membawa tas selempang putih gadingnya, dan tas itu penuh.


Dia memungut satu surat kabar Pusara yang memuat berita terbaru mengenai pembelajaran di Taman Siswa. Ada juga gambar Ki Hajar Dewantara sedang berpidato di sampul depannya, dengan judul Konggres Nasional Taman Siswa. Sena membacanya sebentar, Berita itu menggambarkan betapa berkembangnya Taman Siswa kini. Selama tahun 1930 saja, ada 29 cabang baru yang dibuka, lalu pada tahun 1931 bertambah lagi 30 cabang baru. Dengan bertambah pesatnya perkembangan Taman Siswa itu, Majelis Luhur Pusat Taman Siswa, yang menjadi manajemen pusatnya, bermaksud mengumpulkan seluruh pengurus Taman Siswa cabang, untuk membahas hal-hal mendasar seputar Taman Siswa dan menyatukan beberapa hal, seperti: fungsi dewan pengurus sekolah, tugas dan kewajiban guru, kurikulum, hari libur dan sebagainya. Sebelum konggres itu, cabang-cabang Taman Siswa diberi kebebasan menentukan kurikulum dan sistem sekolahnya berdasarkan kondisi masing-masing kotanya, namun kini Ki Hajar Dewantara ingin menyeragamkan dan menyatukan gerak seluruh Taman Siswa agar tersentralisasi dan memiliki standart yang sama.


Sena membacanya begitu antusias, sampai tidak sadar ada dua muridnya yang berdiri di hadapannya, menunggunya.


"Bu guru...." Panggilnya beberapa kali. Sena tetap tidak sadar. Sampai akhirnya semuanya serempak memanggil namanya keras-keras, "Bu guruuu...."


Sena terperanjat. Lalu tersenyum malu dan meminta maaf. Dia membereskan buku-bukunya, memasukkannya dengan cepat ke tasnya lagi lalu melanjutkan pembelajarannya. Mereka semua tertawa.

Taman Siswa [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang