Bukan perkara mudah berinteraksi dengan Darren setiap hari. Menyeimbangkan pikiran antara masa lalu dan sekarang tidak segampang membalik telapak tangan.
Entah mengapa ada saja yang mengharuskan aku bolak-balik antara ruangannya dan meja kerjaku. Padahal yang ku kerjakan tidak perlu pembenahan.
Rasanya ada yang ingin di sampaikan, entah itu apa. Dan aku memasa bodohkan semuanya.
'Fokus, Lea. Fokus .... Abaikan dia. Kamu di sini kerja. Untuk masa depanmu. Dan juga masa depan Gavin yang harus kau perjuangkan,' suara hatiku.
"Lea, di panggil bos," kata lirih Riri di samping telinga, yang membuatku geli karena hembusan nafasnya.
Aku berdecak jengkel.
"Kau bikin kesalahan apa, bolak-balik di panggil." Tegur Riri. Aku hanya mengangkat bahu.
'Kesalahan apa? Laporan yang ku kerjakan sudah di tanda tangani.'
Aku bangkit dari duduk. Melangkah gontai, dan mengabaikan Riri yang heran.
Tuk ... tuk ....
Aku mengambil nafas panjang, sebelum masuk.
"Bisa ikut saya keluar. Lihat lokasi proyek di Gresik."
Dahiku mengernyit.
"Bukannya bapak harus mengajak Mbak Yanti."
Aku menyebut nama asistennya.
"Mbak Yanti cuti tiga hari, suaminya sakit. Karena pekerjaanmu yang duluan selesai. Makanya aku ngajak kamu. Bersiaplah, aku tunggu di parkiran."
Mau menyangkal apa lagi selain mengangguk.
Aku kembali ke meja kerja. Berkemas. Riri mendekat.
"Ada apa?"
"Aku mau di ajak keluar. Lihat proyek di Gresik. Mbak Yanti cuti. Ada-ada aja bos baru ini," gerutuku.
"Ya sudah, ku pikir ada apa-apa. Risau juga aku lihat kamu bolak-balik ke ruangan bos. Berarti kamu langsung pulang kan nanti. Aku nggak usah nunggu."
Aku mengangguk.
"Okelah, hati-hati." Pesan Riri sebelum kembali ke mejanya.
Aman kali ini. Dia tidak menggoda seperti biasanya. Mungkin karena kasihan. Sejak pagi aku mondar-mandir kayak setrikaan.
Aku meraih handbag di meja. Lalu menenteng paper bag tempat bekal. Tangan kulambaikan pada Riri dan teman yang kebetulan memandang.
Melangkah keluar dengan cepat, karena bos sudah keluar sejak tadi. Di parkiran, dia berdiri di samping Fortuner putih.
"Duduklah di depan," perintahnya saat aku membuka pintu belakang.
"Di belakang saja, Pak."
"Apa perlu di bukakan pintu?"
Aku menatap sekilas. Lalu menutup kembali pintu mobil belakang yang sudah ku buka. Dan beralih ke pintu depan.
Mobil melaju di antara lalu lintas kota pahlawan. Jarum jam baru menunjukkan pukul sepuluh pagi.
Hening di antara kami. Aku tidak berniat untuk bertanya apapun. Bagaimana pernikahannya, apa kabar mamanya, punya anak berapa? Semua itu tidak penting lagi. End. Seperti berakhirnya hubungan kami ketika itu.
Mobil masuk parkiran di sebuah taman kota. Aku kaget. Memang dari tadi tidak menyadari jalan yang di ambil Darren. Selain nggak hafal kota Surabaya, aku juga dalam pikiran entah kemana waktu di perjalanan tadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Disaat Cinta Harus Usai
General FictionPerpisahan adalah akhir sebuah hubungan. Penyesalan adalah awal penderitaan. Bagaimana caranya agar bisa berdamai lagi, menggapai hati yang telah pergi.