"Tolong nggak usah turun, Pak. Tunggu di mobil saja," pintaku pada Darren pagi itu.
Dahinya mengernyit, mungkin karena ku panggil 'Pak' diluar jam kantor.
Aktivitas kembali seperti semula. Walaupun lelah, aku harus masuk kerja hari ini. Dengan diantar Darren, aku berganti baju di kosan, kemudian berangkat ke kantor bareng.
Riri sudah berangkat duluan. Kamarnya sudah terkunci rapat.
Sampai kantor, kami agak telat. Akhirnya jadi pusat perhatian. Hingga ada yang berbisik-bisik antar sesama pekerja. Riri yang sering berdehem, membuyarkan obrolan mereka.
"Jujur aja kalau ditanya mereka, Le. Kalau si bos ayahnya Gavin," saran Riri waktu makan siang.
"Biarlah, Ri. Suka-suka hati mereka mau ngomong apa."
"Ya terserah kamu, kalau emang tahan di gosipin yang enggak-enggak."
"Biarlah, aku pernah diginiin. Malah lebih parah. Waktu aku hamil Gavin."
Riri memandangku dengan tatapan yang ... entah bagaimana. Antara iba dan geregetan karena keras kepalaku.
Aku menghabiskan makan tanpa bicara lagi. Kemarin sempat berfikir untuk resign saja. Tapi jika aku bekerja ditempat lain. Aku tidak bisa lagi mengawasi Darren, takutnya suka hati dia saja bertemu Gavin. Atau justru akan membawa Gavin pergi.
Ponsel di meja berdenting, ada pesan dari Rafka.
[Malam ini kita dinner ya]
[Ya]
Tanpa berfikir panjang, aku langsung menyetujui.
***
Rafka mengajakku makan malam di kafe tempat biasa. Sebelumnya tadi sempat keliling kota. Dan menemaninya beli charger.
"Gantengnya Gavin. Nggak sabar pingin kenalan," kata Rafka sambil memandangku.
Aku tersenyum.
"Papanya masih ngurusin, nggak?"
Aku mengangguk pelan.
"Hubungan kalian masih baik?"
"Ya, hanya untuk urusan anak saja."
"Kapan Lea siap ketemu sama mama."
Aku terhenyak. Secepat itu.
"Apa ini nggak terburu-buru? Jujur aku belum siap. Bagaimana kalau mamanya, Mas, menolak."
"Mama nggak masalah. Mau pilihan aku gadis apa janda. Aku sudah bilang soal status kamu. Jujur, mama nggak masalah. Yang penting lancar diurusan dinas."
"Bu Suryo tahu kalau janda yang Mas maksud itu aku."
"Belum. Aku hanya ngasih tahu, kalau aku ingin menikahi janda anak satu."
Keringat mulai membasahi tubuh. Padahal AC menyala di ruangan itu. Debaran didada semakin kencang terasa. Ini kali pertama seorang pria bicara serius mengenai pernikahan denganku.
"Aku siap kapanpun ketemu anak sama keluarga kamu."
Aku meraih gelas dan menyesap teh hangat. Bayangan Gavin melintas. Dia baru dekat dengan papanya. Jika aku mengenalkan orang baru, apa dia tidak akan kebingungan? Bagaimana perasaan anak sekecil itu?
"Hai, Lea."
Debaran tadi belum sirna, sudah dikagetkan pula dengan sapaan Darren yang tiba-tiba muncul diantara kami.
Aku dan Darren saling pandang sejenak.
"Mas, kenalin ini Pak Darren. Manajerku di kantor."
Rafka berdiri, dan menghulurkan tangan pada Darren. Keduanya bersalaman erat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Disaat Cinta Harus Usai
General FictionPerpisahan adalah akhir sebuah hubungan. Penyesalan adalah awal penderitaan. Bagaimana caranya agar bisa berdamai lagi, menggapai hati yang telah pergi.