Sehabis sholat isya aku minta ijin bapak, untuk menyusul Mbak Maya di rumah mertuanya. Dengan mengendarai motor matic, aku melewati jalan becek dengan penerangan yang minim.Mbak Maya mengajakku duduk di bangku bambu, di halaman depan rumah. Agak menepi dari kaum kerabat yang berkumpul diruang tengah.
"Kata ibu, kamu diantar Darren tadi?"
Aku mengangguk.
"Kenapa Mbak nggak cerita kalau Darren kesini beberapa hari yang lalu?"
"Mbak belum sempat nelfon kamu. Waktu itu Mbak sibuk ngurus bapak yang sakit. Sedangkan Mas Farhan nggak bisa cuti. Jadi Mbak yang mondar-mandir ngurus rumah dan mertua."
Aku menengadah, memandang rembulan yang tertutup awan gelap.
"Ada apa dengan bapak dan ibu. Secepat itu luluh. Dan melupakan peristiwa lima tahun yang lalu."
"Selama kamu tidak di rumah, kami sering diskusi tentang kamu dan Gavin. Apalagi tanpa kamu tahu, Gavin sering bertanya siapa papanya. Teman-teman di sekolahnya sering diantar ayah dan ibunya. Sedangkan ia tidak. Aku pernah bilang, kalau Mas Farhan ayahnya juga. Tapi kamu tahu apa jawaban Gavin, 'Bukan budhe, ayah Farhan itu ayahnya mbak Nana. Bukan ayah Gavin'. Terus apa yang harus kami katakan, Lea?"
"Mbak juga pernah bilang, 'Ayahnya Gavin lagi kerja?'. Terus apa jawabannya, 'Kerja kok nggak pernah pulang. Ayah nggak sayang Gavin, ya?'. Anakmu cerdas, Le."
Aku memandang Mbak Maya sejenak. Kekhawatiran yang pernah terpikirkan, akhirnya terjadi juga. Walaupun itu tidak didepanku.
"Waktu ketemu Darren di terminal hari itu, Mbak nglihat kalau dia bersungguh-sungguh. Beri dia kesempatan sekali lagi. Gavin butuh sosok ayahnya. Mbak harap, kalian dapat berbaikan demi anak kalian. Kesampingkan ego dulu."
"Darren hanya menginginkan Gavin. Aku nggak mau dia ngambil anakku, Mbak."
"Ku rasa nggak begitu. Kemarin dia bilang, hanya ingin bertanggung jawab. Darren juga tidak berniat membawa Gavin pergi. Cobalah kamu perhatikan, chemistry ayah dan anak nggak bisa kamu pungkiri. Walaupun baru ketemu, betapa akrabnya mereka. Gavin juga terlihat nyaman saja."
Benar kata Mbak Maya. Sejak siang tadi, Gavin nampak manja sama Darren. Bermain bersama, makan di suapin, bahkan mandi berdua sambil bergurau di kamar mandi.
"Apa semua mainan mahal itu Darren yang beliin?"
"Ya, ada baju juga. Masih sedikit kebesaran."
Kecewa. Tapi tak bisa marah. Apa mungkin aku memarahi bapak, ibu, Mbak Maya, dan Mas Farhan. Mereka yang selama ini merawat Gavin, selama aku tinggal kerja.
Apa harus marah sama Gavin. Kenapa seakrab itu sama orang yang baru dikenal?
Darren itu ayahnya. Dia berhak mengenal pria yang membuatnya lahir ke dunia ini.
"Apa kata tetangga, Mbak?"
"Ya, kami bilang kalau Darren memang mantan suami kamu. Ayahnya Gavin."
Kami diam sejenak, dan aku menguncir rambut yang tergerai.
"Awalnya Bapak nggak semudah itu nerima Darren. Mbak rasa dia bersungguh-sungguh, makanya bapak luluh juga. Beliau tidak sekeras dulu. Nglihat cucunya gembira, bapak lebih bahagia. Bagi bapak, tidak ada yang lebih berharga selain melihat cucu-cucunya ceria."
Aku memandang langit yang makin gelap. Rembulan sudah tidak tampak lagi. Sesekali nampak kilat menyambar di angkasa.
"Mbak, aku pulang dulu, ya! Mbak Maya tidur sini kan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Disaat Cinta Harus Usai
General FictionPerpisahan adalah akhir sebuah hubungan. Penyesalan adalah awal penderitaan. Bagaimana caranya agar bisa berdamai lagi, menggapai hati yang telah pergi.