"Lea, pinjam pensilnya. Punyaku jatuh menggelinding entah kemana."
Aku menyerahkan pensil ke Riri tanpa menatapnya. Dan gadis itu berlalu dengan rasa heran. Mungkin.
Layar komputer di depan kupandang teliti. Jangan sampai kerjaanku amburadul, hingga membuat semakin sering berurusan dengan Darren.
Sekarang yang terpenting kerja baik-baik. Peduli apa dengan dia yang sudah tahu kalau aku melahirkan anaknya. Untuk pindah kerja, rasanya tak terpikirkan di kepalaku. Kalau resign, apa mungkin aku akan dapat pekerjaan sebaik ini. Dengan gaji yang lumayan. Kalau memikirkan ego, bisa-bisa tambah hancur keadaan finansial.
'Nggak apa-apa, Lea. Jalani seperti biasa. Anggap aja nggak terjadi apapun di beberapa hari terakhir ini. Ingat, Gavin butuh kamu.'
Aku tersenyum untuk diri sendiri. Dan ... plak. Riri menabok bahuku.
"Ngapain senyum-senyum sendiri. Tadi serius amat. Sekarang gitu amat. Kamu oke nggak?" tegur Riri sambil ngembaliin pensil di atas meja.
"Ih, kamu. Sakit tau." Aku ngelus bahu.
"Habis kamu, cengar-cengir sendirian."
"Ingat Gavin," jawabku cepat.
"Oh, kamu jadi pulang minggu depan?"
Aku mengangguk.
"Kamu pulang nggak?"
Riri menggeleng.
"Minggu kemarin aku kan sudah pulang."
Habis itu Riri nggeloyor pergi. Punggung ku sandarkan pada kursi. Aku jadi kepikiran, kenapa dengan jemari Darren yang memar. Apakah dia berkelahi? Tapi dengan siapa? Kok sampe bengkak gitu. Ah ... biarlah, bukan urusanku.
***
Sejak kena tegur hari itu, aku tidak pernah lagi makan di ruang kerja. Walaupun bawa bekal, aku selalu membawanya ke kantin. Begitu juga dengan Riri.
"Lea, si Bos suka ngelirik kamu," kata Riri pelan.
"Iyalah, dia berhasil menegur karyawannya yang suka makan di meja kerja."
"Sering aku lihat dia gitu akhir-akhir ini."
"Hmm ...."
"Kayaknya naksir kamu deh."
"Nggak usah ngelantur," omelku pada Riri.
"Serius ini. Kamu memang beruntung Lea, ada dua pria keren lagi nyari perhatian kamu."
"Siapa?"
"Polisi keren itu sama si Bos ganteng ini. Pilih yang mana?"
"Pilih Gavin," jawabku.
Bibir Riri mencebik. Aku terus saja melahap nasi, sambal bawang dan ayam goreng. Tadi sempat pesan seporsi cah kangkung yang ku makan berdua sama Riri.
"Come on, coba buka hati kembali. Masa mau sendiri terus. Walaupun sudah punya anak. Kamu masih seperti anak gadis, Lea."
Aku tersenyum getir.
"Aku jadi penasaran deh, sama laki-laki mantan suami kamu itu. Kayak apa orangnya. Sampe kamu gagal move on. Dan aku heran juga sama kamu, kita temenan bukan baru setahun dua tahun. Sejak kuliah dulu. Tapi tak pernah kamu tunjukkan wajah suamimu itu padaku. Eh, mantan maksudku. Nikah juga nggak ngabarin. Nelfon aku, tahu-tahu dah punya anak."
"Ri, jadi makan nggak?" ucapku memotong pembicaraannya.
'Sempat nanyain foto pula. Tau nggak sih, Ri. Aku sama sekali nggak nyimpan fotonya. Kalau pengen tau banget siapa dia, noh yang lagi makan di sebelah sana', kata-kata itu hanya sekedar terucap dalam benak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Disaat Cinta Harus Usai
General FictionPerpisahan adalah akhir sebuah hubungan. Penyesalan adalah awal penderitaan. Bagaimana caranya agar bisa berdamai lagi, menggapai hati yang telah pergi.