Part 10 POV Aleana

4.3K 379 18
                                    

Kami duduk di salah satu sudut kafe. Berhadapan sambil menikmati juice dan chicken fingers, serta spaghetti yang jadi menu andalan dari Orchid and Rose Cafe.

Sejenak rasa canggung masih terasa. Aku memutar-mutar garpu diatas spaghetti. Rafka sesekali memandang.

"Ayo, dihabisin dulu makannya, baru kita ngomong," ucapnya.

Aku tersenyum sambil menatapnya sekilas. Dengan cepat Rafka menyempurnakan menu di piringnya. Sedangkan aku susah sekali menelan. Bukan khawatir akan di akhiri sebelum dimulai. Karena dari dulu lagi aku sudah siap untuk hal seperti ini.

Straw di gelas ku raih. Menyesap jus untuk melonggarkan tenggorokan.

"Maaf untuk malam kemarin. Jadi canggung kita akhirnya. Jujur aku kaget juga. Tapi kamu tahu? Itu tidak masalah buatku."

Kini aku yang ganti kaget. 'Bukan masalah katanya!'

Ku pandang pria di hadapan, ada senyum terukir di bibirnya.

"Jangan bercanda?"

"Nggak. Ini serius."

Entah kenapa dengan hatiku. Kemarin aku telah siap ditolak. Tapi sekarang tidak siap pula saat dia berkata tidak apa-apa. Justru aku ketakutan untuk menerima. Takut terluka, takut kalau pada akhirnya hubungan ini sia-sia.

"Aku nggak bercanda, bahkan serius untuk menikah ... secepatnya."

Aku menatapnya. Kaget. Nggak nyangka secepat ini. Apa yang dipikirkannya dalam satu kali dua puluh empat jam. Seolah tak pikir panjang dalam mengambil keputusan.

Rasanya susah sekali untuk bernafas kali ini. Teringat angan-angan diwaktu yang telah lewat, kalau aku ingin memiliki hubungan yang harmonis seperti pasangan lainnya, tapi angan itu sekarang menguap entah kemana? Ada ketakutan yang hinggap tiba-tiba.

"Kenapa?"

"Apakah ini tidak akan rumit?"

"Rumit bagaimana? Hmm ...."

"Mas seorang aparat, tentu tidak mudah mengajukan pernikahan dengan seorang janda. Apakah Mas, terburu-buru mengambil keputusan. Terus Bu Suryo bagaimana?"

"Mama tidak mempermasalahkan siapa pilihanku."

"Tapi bukan dengan janda bukan?"

"Akan ku bicarakan dengan Mama nanti. Setahuku mama bukan tipe ibu yang cerewet dalam memilih menantu."

Aku diam. Mengalihkan pandangan ke sepasang muda-mudi yang asik bercengkrama di pojok lainnya. Ada keraguan yang mengganggu disudut hati.

Kemarin-kemarin enjoy saja hanya berteman dengannya. Saling sapa, sempat jalan bareng, dan lebih bebas. Tapi sekarang seperti ada beban.

Kenapa? Entahlah. Sejauh ini dia pria baik, tampan, punya karier yang menjanjikan, dan siapa perempuan yang tidak menginginkan pendamping dengan paket komplit. Tapi disini aku justru khawatir. Takut kecewa sekali lagi.

"Kenapa diam?"

"Tidak mudah kan, seorang polisi mendapatkan ijin menikahi janda?"

"Tidak mudah bukan berarti tidak boleh."

Aku tahu ini tidak segampang yang dia bicarakan. Bahkan kemungkinan gagal total bisa terjadi.

"Tidak ada larangan polisi menikahi janda. Yang penting ada surat keterangan dari pengadilan agama mengenai status  dari pihak perempuan."

Dan aku tidak punya surat itu. Karena aku menikah siri. Apakah ini akan jadi masalah?

***

"Ri, Pak Darren kenapa ya, nggak masuk kerja dua hari ini," tanyaku pada Riri sambil makan siang.

Disaat Cinta Harus UsaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang