Kita yang tak pernah ada jarak, kini bertemu dengan tatapan kaku. Kita yang selalu punya cerita untuk diceritakan, kini tidak ada satu katapun yang bisa terucap. Mata kita yang selalu bertemu, kini menatap pun enggan.
Hari ini, semesta mendukungku untuk bertemu kembali denganmu. Ada yang ingin aku sampaikan perihal kita yang tak pernah menjadi satu, tapi aku tidak bisa. Lidah ini kelu. Aku hanya bisa menatapmu dari kejauhan.
Kamu adalah sesuatu yang selalu aku semogakan. Sebab aku mencintaimu, meski aku tidak dicintai.
Iya, ini salahku. Ada banyak kehilangan yang aku temui semenjak kamu menjauh. Seharusnya ekspetasiku tidak terlalu tinggi padamu hingga muncul kata 'harap'. Harapanku yang utuh kini runtuh. Seharusnya aku paham, kata 'teman' jauh lebih aman untuk kita.
Kini, setiap hariku adalah upaya merelakanmu. Memudarkan harapan yang tumbuh hingga saat ini. Sebab yang aku perjuangkan tak pernah memberi hati.
"Awan, semua sudah dibereskan? Malam ini kamu berangkat kan?"
"Iya, Bun. Sudah."
Bunda seperti tahu kata hatiku. Ia memelukku. Hangat. Sangat hangat. Dengan lembut, ia mengelus punggungku seakan memberikan kekuatan. Seolah mengatakan semua akan baik-baik saja.
"Bunda tahu kamu sangat mencintai Senja. Tapi tidak semua rasa harus terbalaskan. Mungkin tidak dipersatukan dengannya adalah cara terbaik Tuhan untuk tidak menyakitimu terlalu dalam, Awan."
Sakit. Ternyata rasanya sesakit ini. Berusaha mereka apa yang tidak ingin aku lepas, tapi lagi-lagi aku berusaha tersenyum.
"Awan bahagia kalau Senja bahagia, Bun. Meski Awan harus melihat Senja dengan orang yang dia pilih untuk menjadi pasangan hidupnya. Setidaknya Awan bisa melihat Senja selalu tersenyum."
Dengan ini, kututup kisahku tentangmu dan kucoba tuliskan kisah yang baru.
Dari semua kata, kupilih kata 'terima kasih'. Terima kasih sudah memberikan awan ini warna. Meski warna senjamu hanya sementara.
Terima kasih, Senja.
Terima kasih untuk kita dan segala kenangannya.
Maaf, aku memilih pergi dan mengikhlaskanmu.