(ken)ANGAN

13 1 0
                                    

Tersakiti dan disakiti, adalah dua kata yang serupa tapi tak sama. Pada dasarnya sama-sama sakit. Yang membuat beda adalah kesengajaan dari pelaku yang menentukan muncul atau tidaknya hak kita untuk marah atau sekedar menerima permintaan maaf.

Dua teori itu yang selalu berputar putar di otak. Ibarat dua ujung tali yang berebut melilitkan diri tapi tak tau arah. Namun berujung pada satu kepastian, sakit. Dan benang merah yang masih terlihat cukup jelas dan mempu menjelaskan semua, bahwa itu, rumit.

Rumit. Satu kata yang cukup apik menggambarkan kondisi latar saat ini. Berada dalam kebisingan kafetaria di jam istirahat, yang hanya sedikit berusaha nyempil di tengah jam kerja, namun tidak menyusutkan kemampuan dengarku untuk sekedar mengangkap nama Kafabi. Apalagi dilakukan dengan pengejaan yang tidak sembarang orang tau. Pabi. Itu adalah nama muncul untuk membalas ejekannya, dulu.

"si Neng sekarang makannya cepet ya? Cepet-cepet mau ngucapain selamat makan buat Abang Pabi, cieeee." Deg! Neng, Pabi? Sekarang mereka?

"Apaan sih, biasa aja lu pada, kaya ga pernah kasmaran aja" itu suara Neng, pasti. Walaupun tanpa bertatap wajah aku yakin, itu pengucapan kalimat yang dibarengi rona-rona merah, semacam malu-malu tapi mau, mau banget diledekkin. Biar apa? Biar semua dunia tau kalau sekarang Neng jalan sama Pabi? Hah!

Sudah cukup, ini makanan depan mata seakan menyublim, tak kasat lagi. Tak ada lagi makanan, tak da lagi rasa lapar yang sejak tadi menggebu. Yang ada hanya kepingan-kepingan waktu demi waktu yangmana ada Aku, Neng, dan atau Pabi di dalamnya. Semuanya berebut mencuat ke permukaan, berlomba-lomba menunjukkan kenyataan yang tak pernah kusadari sebelumnya. Bukan seperti adegan film yang berganti secara halus dan teratur sehingga memunculkan alur yang mudah dipahami. Ini masing-masingnya tak ada yang mau kalah, secara bersamaan mereka mendobrak akal sehat yang selama ini selalu aku andalkan. Menembus selaput tipis yang selalu melindungi mata, rasanya tak sanggup lagi untuk sekedar membendung air mata yang terdorong. Saat itu pula aku menyerah. Menangis.

Sudah cukup malu dengan menunjukkan respon motorik yang berlebih__bagi yang peka. Aku memilih mengasingkan diri. Kembali ke kubikel dan menyelesaikan laporan keuangan harian jelas bukan pilihan tepat. Sehingga kamar mandi menjadi solusi alternatif sementara. Sebelum setelahnya beralasan sakit, dan meminta ijin pulang dari Bu Siska.

***

Lima langkah di depan, aku sudah bisa melihat pintu. Aku mulai membuat skenario abstrak dalam tempurung kepala yang volumenya tidak seberapa ini. Aku membuka pintu, maju sedikit, menemukan pintu lain di sisi kanan. Disana, biasanya ada kakak yang sedang tiduran, aku akan menceritakan kalau ada orang ketiga yang menhancurkan hubunganku dengan Pabi.

Entah benar lima langkah atau tidak, nyatanya sekarang aku sudah di depan pintu. Semua berjalan sesuai dengan imajinasi dadakanku, sampai pada masuk kamar, dan aku tidak menemukan Kakak. Dimana dia?

Pikiranku tiba-tiba buntu. Aku bingung. Aku linglung. Bingung menentukan apa yang harus kulakukan. Ternyata bingung itu melelahkan. Aku terlalu lelah menahan kebingungan, dan akhirnya terduduk dengan sendirinya. Aku menangis. Menangisi kenyataan. Aku marah. Aku kecewa dan merasa terkhianati.

Aku bingung menjelaskannya. Aku merasa Neng merusak hubunganku dengan Pabi. Tapi hubunganku dengan Pabi yang mana? Bahkan baik aku maupun Pabi tak pernah mendeklarasikan nama untuk hubungan kita. Kupikir, kebersamaan selama ini, saling ketergantungan yang seakan tak pernh lepas di setiap hari, adalah perwujudan sebuah kenyamanan yang tak perlu diungkap dan diangkat di depan umum. Kita sudah dewasa kan? Kupikir, cukup dengan kenyamanan dan nanti pada saatnya Pabi akan menanyakan kesiapan untuk sebuah hubungan yang bernama dan lebih bermakna. Ah, entahlah, mungkin memang ini hanya perasaanku saja.

a posterioriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang