"Heh, jelasin apa salahku?" Rahang atas dan bawah yang agaknya menyatu, disusul bunyi-bunyian akibat gigi yang beradu, nafasnya kembang kempis tidak teratur, kasar, area hidung menjalar pipi hingga mata terlihat agak merah karena kesan eksotis sedikit menyamarkan, ngarai beningnya dan pusat pekat yang menatap tajam. Entah apa artinya.
"Jelasin dimana salahnya aku, aku cuma mau ngobrol. Jawab! Jangan diem!" ini semacam intimidasi, tepat sebelum membalas, kusempatkan membaca sekitar. Dari arah yang berlawanan, ternyata hampir semua penghuni kelas berkumpul, menatapku, oh atau orang di depanku. Aku seakan tersadar menjadi pusat perhatian, dan itu menjengahkan.
"Diem lagi, jawab, Ra" terlambat, baru saja hendak bersuara, langsung terpotong suara lelaki depanku ini. "Mas hanya berusaha mengembalikan yang sempat terlewatkan, Mas yang bakal berusaha. Kamu cukup kasih kesempatan." sambungnya lagi, sedikit melembut.
Kembali, aku merasa bingung. Seakan melihat potongan puzzle yang tak ada kesinambungan di setiap sisinya. Namun, keping demi keping yang tak terlihat sedang coba kuamati dalam diam. Tepat lima bulan sebelum hari ini, aku adalah mahasiswa baru yang memiliki resolusi hidup menjadi lebih terbuka pada lingkungan.
Awal perkuliahan terasa berat, karena harus pasang topeng ramah pada semua wajah asing. Namun beruntungnya cukup berhasil di bulan pertama. Bertemu Kayisha di Kuliah Umum (KU). Calon arsitek yang cukup easy going. Dia yang tak keberatan ketika kubilang 'elah, panjang amat, susah, udah Icha aja pie?' dan dia hanya tersenyum. Efek Icha yang supel dan humble membuatku ikut punya banyak teman. Walaupun tidak sedekat aku dengan Icha, ini sudah jadi progres yang cukup baik buatku yang tadinya hampir-hampir tak punya teman. Kecuali Mas Dipta, dulu.
Sebagai mahasiswa sains yang kesehariannya disibukkan dengan laporan, belum lagi tugas paper maupun proyek, membuatku cukup lelah. Bahkan banyaknya mark up class akibat sibuknya dosen pengampu yang kala itu menjadi Ketua Jurusan__orang nomer satu di jurusan, membuatku tak ada waktu untuk sekadar menyapa teman baru di kelas KU.
Karena tersenyum bagi orang yang cukup introvert itu butuh energi, sedang energiku sudah habis untuk memahami yang belum tentu mau dipahami__fisika matematika. Aku mulai melupakan, ah, mungkin hanya menggeser sdikit pemikiran sih, 'toh aku udah punya temen baru sekarang, gausah sok ramah lagi gapapa kan?' pikirku.
Tidak seramah sebelumnya bukan berarti aku tak memiliki cukup teman, ada, beberapa malah. Namun, sepanjang ingatan ini bekerja, tak sedikitpun memori tentang seseorang yang barusan saja menyentakku, atau hanya menanyai? Entahlah. Nyatanya dari apa yang dia ucapkan, aku adalah tersangka.
Lelah dengan semua kemungkinan-kemungkina yang coba kurangkai, kuputuskan melangkah ke arah pintu keluar. Mencoba baik-baik saja ditengah tatapan ingin tahu seluruh penjuru kelas. 'Bahkan nama kamu siapa, aku juga gatau, Mas.' Batinku berteriak.
***
Untung saja semesta masih berbaik hati, ditengah kecamuk batin yang tak terucap, aku sampai dengan selamat di kost.
"Ly! ngelamun ih" tegur Icha yang ternyata sedari tadi membersamaiku menyusuri entah jalanan mana hingga sampai kost.
"Hehe, ngapain disini kamu, Cha?" ucapku antara kaget dan bingung. Kenapa dia di depanku saat ini, dan tidak dengan motor Beat putih keluaran tahun pertama kesayangannya. Padahal biasanya mereka itu sepaket.
"Menurut ngana?" "Ya kali, ngebiarin kamu jalan kaya orang linglung sendirian, ga bisa bedain mana jalan orang dan jalan air. Asal bisa diinjek, bakal kamu lewatin" lanjutnya sebelum aku selesai berpikir. Dan aku hanya membatin 'separah itu?'
"Kayanya juga, kalo ga aku seret, kamu bakal terus lurus padalah kostmu udah kelewat." Ucapnya final, dengan diakhiri decakan gemas. Kebiasaanya ketika kesal.
KAMU SEDANG MEMBACA
a posteriori
RomanceKenganan adalah semua tentang kamu. Kamu dan aku, pada masa itu. Kala tanpa 'Dia' kita tertawa bahagia. Kala semua yang kamu bicarakan selalu menyertakan aku. Kala diammu pun, selalu menatapku teduh. Kala aku pikir, aku dan kamu memanglah kita.