Jejak Perak

4 0 0
                                    


"Masih ga suka hujan? Kalo kopi masih suka kan, Ai?"

Dibandingkan mengutuk hujan, kamu lebih tau membuatku bertahan. Bahagia menurutku sesederhana makan ketika lapar, minum saat haus, juga memaki lantaran terjebak dengan orang yang memilih pergi. Aku masih saja menyusuri mulut cangkir, menggerakkan ujung telunjuk mengimitasi kontur keramik berbentuk lingkaran. Mengalirkan panas dari air mendidih yang dicampur dengan bubuk kafein hingga menimbulkan aroma menenangkan, mengusir hawa dingin.

"Kopinya keburu dingin, Ay." Kembali mengangkat muka demi menunjukkan adanya sedikit atensi pada apa yang diucapkan. Namun, untuk kembali bercengkerama aku tak bisa. Kepulan dari pola bunga di dalam cangkir yang memudar tidak selaras dengan curahan hujan yang menderas. Pun, kecanggungan yang tak juga berubah kenyamanan.

"Lalu?"

"Cita rasanya jelas berubah, kamu yang paling tahu, Ai."

"Dan sekarang pun kamu tahu, kopi yang didiamkan akan mendingin dan mengurangi cita rasa. Lalu, apakah kembali setelah pergi dengan membiarkan keadaan dikuasai asumsi kamu pikir ada bedanya dengan memandangi kopi yang mendingin?"

"Ai..." Kamu tampak menelan kembali apa yang mau diucapkan. Kespresi dan gerak tubuhmu masih sama seperti tujuh tahun lalu. Helaan nafas berat sarat ketidaksetujuan. Meski aku juga tidak yakin penyebabnya, mungkin ucapanku atau bahkan hanya nada final yang saat kita pernah bersama dulu tak pernah kuutarakan di depanmu.

"Oh, rupanya kamu masih saja belum tahu. Satu, aku tak lagi minum kopi, dan yang kedua, baik dulu, sekarang, ataupun nanti aku tak pernah takut hujan."

"Bertahan, menunda kepergian saat hujan datang bukan berarti aku membencinya. Jangan bandingkan aku denganmu. Seorang Argentum. Kamu yang tak pernah sambat kala hujan, seolah sedikitpun tak ada reaksi. Aku hanyalah Hephaestus yang akan mati terkena air. setidaknya Tuhan masih berbaik hati, hanya kakiku yang diberi kepekaan berlebih, yang seringkali malah sakit. Bukan hati." Seperti membaca iklan, aku mengucapkan salam perpisahan dengan intonasi sedatar dan nada sepelan mungkin. Menyampirkan Backpack pada sisi kiri lengan, aku beranjak. Menatapmu sekali lagi, merekam sebaik mungkin dan menyimpannya sebagai memori yang harus disembunyikan, aku berlalu.

***

Bergelung di pojok ruangan, aku masih saja ragu melemparkan pengingat sakitku. Ternyata selain dermatitis atropi pada kakiku, hatiku juga memiliki tingkat sensitivitas berlebih pada apapun yang berhubungan dengannya. Melempar dan kembali memungut sudah serupa adegan boomerang yang belakangan ini viral. Aku bahkan tak lagi berminat menghitung berapa perulangan itu terjadi. Yang pasti adalah, benda itu akan tetap kembali pada tanganku.

Aku masih saja mengingat hal yang selalu berusaha ku lupa. 'karena cincin hanya akan keberikan saat tanggung jawab Abah terhadapmu sudah sepenuhnya ku pikul' adalah responmu ketika aku hanya mengerukan kening, tak juga memakai gelang itu. Juga saat aku berusaha menyembunyikan rona merah. Aku berbunga, tentu saja. Aku tersanjung hanya dengan ucapmu yang nyatanya semu. Mengelak, juga menolak terlihat malu, aku berusaha membuatnya salah tingkah 'ya kali dikasih perak doang, ngirit banget!'alih-alih salah tingkah, dia kembali berulah. 'Dengar ya, Ai. Gelang itu artinya mengikat? Kenapa perak? Adalah untuk menjadikan lengkap filosofi itu, Hephaestus yang sudah terikat Argentum.' Ucapnya pongah, dan aku kembali bersemu merah.

Kalau saja pintu kamarku tak diketuk, mungkin aku masih menenggelamkan diri pada kenangan. Juga ketika Abah yang tak sengaja menduduki kursi dan secara otomatis mengganti channel TV, aku masih saja menikmati proses pengusiran bayangannya yang terus bermunculan. Andai, kalau, jika semua harapan di atas terkabul, paasti tak ada saran yang lebih mengarah pada perintah untukku mendaftar ASN, PPPK atau apalah sejenisnya.

***

Dari layar gawai yang gelap, aku mengangkap seseorang mendekat. Menengok pada sumber ketukan sepatu dan lantai, aku sempat ragu papa kemampuanku.

"Coklat panas? Pilihan yang cuku baik untuk menggantikan kopi" ucapnya riang, seolah abai pada muka tak bersahabatku.

"Kamu ngapain di sini?"

"Kamu kenapa memilih tempat baru untuk menenangkan?" aku semakin mengernyit. Memang, aku tak lagi mendatangi Louge d'Cafe. Aku memilih Silver yang memang baru tiga bulan ini berjalan, dengan harapan mampu menghindarinya.

"Ini memang kafeku, cabang terbaru yang memang baru berusia tig tahunan."

"Oke, dan aku pun hanya mencari kafe terdekat" ucapku seratus persen bohong, bahkan kerutan di dahimu tak satupun berkurang. Justru tatapan matanya menajam, menuntut jawaban.

"Apa?" ucapku

"serius, Ai, setela tujuh tahun dan yang jadi pertanyaanmu hanya 'apa'?"

"Terlalu banyak, Ar."

"Waktu luangku lebih dari cukup untuk mendengar dan menjawab semua pertanyaannmu."

"Satu, apa kabar kuliahmu?"

"Aku cuti, aku semakin yakin, Arsitek bukan Passionku."

"Lalu?"

"Nanti, setelah usahaku mapan, setidaknya demi membuat orang tua bangga aku akan menyelesaikannya."

"Ke mana kamu tujuh tahun ini?"

"Bogor, aku belajar bisnis dari sana, dan mengenal bahan minuman kesukaanmu."

"Bukan lagi," ucapku menggantung.

"Oke. Bukan lagi. Tapi, kenapa, Ai?"

"Pertanyaan adalah bagianku, dan kamu menjawab, Ar." Semacam sesi tanya jawab yang begitu seru, aku sampai lupa kepenatan akibat tuntutan Abah, hingga nama Abah terucap dari bibirnya setelah tiga jam kami bersama. Aku ingat betul karena jam tujuh adalah ketika aku baru sampai dan sekarang beberapa petugas sedang menutup rolling dor, yang artinya kafe akan segera tutup, jam seouluh malam.

Argentum, laki-laki yang pernah sangat kuharap kehadirannya mengungkit alasan utamanya memilih pergi. Soal janjinya dengan Abah yang ternyata ada aku di dalamnya. 'Malam itu aku beneran dateng, Ai. Aku ketemu Abah. Ada yang lain hari itu, bukan senyum ramah seperti yang selama ini terlihat ketika aku mengantarmu. Abah dengan defensifnya memeberi ultimatum bahwa aku harus punya jaminan agar tak membuatmu menangis. Abah sama sekali tidak melirik jurusan arsitek yang saat itu sangat kugadang.' Aku hampir tak percaya kalau saja tak ingat raut masam Abah hari itu, hari yang kita sepakati sebagai hari pertemuan untuk meresmikan hubungan kita. Dari dulu aku percaya Abah pun kecewa karena anak perempuannya dibuat menangis. Lebih dari itu, ternyata Abah kecewa karena jika diteruskan, aku akan terus menangis. Berada dalam hubungan yang sejatinya belum seharusnya ada, karena kami yang masih terlalu belia.

'Arsitek bukanlah tujuanku, Ai. Karena tujuanku itu kamu. Dulu, aku mati-matian mengejar arsitek sampai jalur mandiri pun ditempuh hanya demi mengalahkan Dimas. Iya, Dimas sahabatmu, dan Dimas sainganku. Aku yakin hari ini akan tiba, hari di mana aku dan kamu kembali bersama, karena sudah semestinya, Ai. Kamu, Hephaestusku yang akn kurang tanpa aku. Dan aku, Argentum yang selalu butuh kamu.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 15, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

a posterioriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang