Bodoh

3 1 0
                                    

 "Yang suka bacain berita di TV TV itu namanya apaan ya, Bang?"

"News Anchor, Jas. Kenapa sih?"

"Itu tuh pada keliatan pinter gitu, iiish, kan gemes."

"Yaudah besok adek jadi News Anchor aja."

"Iiiiih, bukan Jas, Bang. Jas penginnya liat abang di sana. Abang kan cakep tuh, pinter lagi, cocok deh. Jas nunggu di rumah aja, nyiapin makan malam kalo abang pulang."

"Kok di rumah? Jas gamau kerja?"

"Jas kan kewajibannya berbakti sama Abang, kalo udah sah."

Itu sepenggal obrolan yang menurutku sangat bermakna. Entah untuk dia. Seseorang yang pernah kupanggil Abang. Seseorang yang pernah kuharapkan janjinya. Waktu berlalu, pun diriku, yang dulu adalah rutinitas, kini bersisa kenangan. Obrolan terakhir kita. Obrolan yang kukira akan menjadi awal dari babak baru. Alih-alih berkelanjutan, dia bahkan tak pernah lagi sekadar menampakkan batang hidungnya.

Dia yang hanya memberiku ucapan sampai jumpa, bukan selamat tinggal. Dan itu membuatku merasa berdosa ketika berniat beranjak. Aku yang selalu merasa terikat dengan janji tak terucapku. Karena setelah 'sampai jumpa' yang Bang Revan ucapkan, aku tak mampu membalas satu kata pun. Aku hanya mampu menjerit dalam hati, bahawa aku akan selalu menantikan perjumpaan kita selanjutnya, dan secepatnya.

Kupikir ada yang Maha mendengar dan akan membuktikannya.

Namun setelah hitungan detik berlalu, berganti menit, hingga jam, sampai hari, minggu, bulan, bahkan tahun berganti. Pertemuan itu tak kunjung terwujud.

Inginnya kuumpat yang membuat skenario hidup, kalau saja tak ingat kita ibarat semut bahkan jauh lebih kecil dalam menjalani peran hidup ini. Aku kembali menata hati. Hidup itu jelas tidak berporos pada satu orang yang mulai malas kusebut namanya.

***

Ketika aku berhasil mengumpulkan mozaik-mozaik kesadaranku, segara kutata hati, kualihkan pandangan yang ternyata masih melekat sosok manusia beberapa meter di belakang samping kiriku, karena motor yang ku tumpangi telah melaju ke depan. Dari spion sebelah kiri, kulihat kemeja putih polos pas badan dipadu dengan celana bahannya yang membuat kesan cakep berlipat, menurutku. Entah karena dia yang memang berubah, atau efek pangling, akibat lama tak bertemu. Mungkin dua-duanya. Tapi ada satu hal yang katahu berbeda. Dia, disana. Berdiri tepat di samping pintu kemudi kendaraan bermesin roda empat yang kutahu itu keluaran baru. Bukan, bukan karena aku ijo melihat mobil. Ini karena stiker super besar yang manutupi seluruh area mobil. Chanel 9. Itu bancanya.

Ada bagian dari diriku yang rasanya terlepas. Antara kehilangan dan merasa ringan. Aku sempat untuk sesaat kebingungan untuk mengungkapakannya dalam sebuah ekspresi.

Untuk memastikan sesuatu, aku menepikan motorku, mengambil handphone yang berada di dashboard. Chanel 9, adalah keyword yang kutulis dalam mesin pencarian. Tak lama muncul wajah yang sudah cukup familiar (lagi) sejak beberapa saat lalu.

Namanya tercantum sebagai News Anchor pendatang baru yang cukup potensial. Aku kembali teringat percakapan yang memeng sering muncul dalam ingatan. Ternyata itu bukan kenangan kosong, mungkin juga ada yang menganggapnya angan, dan mewujudkannya.

***

Pagi hari tak lagi melelahkan untukku. Aku selalu tepat bahkan terlalu pagi untuk menunggu acara Siaran Pagi, Siaran Pagi yang ternyata dibawakan oleh Bang Revan. Bodonya aku, baru menyadari setelah tepat sebulan masa kerjanya. Mungkin menjadi bagian dari hidupnya tak akan lagi menjadi tugasku. Melihanya setiap pagi saja, sudah cukup.

Ketika ada yang bertanya "ngefans banget ya? Kalo misal ketemu, mau diapain, Jas?" dan selalu kujawab dengan yakin "kan kupeluk dan takkan ku lepaskan (lagi)." 'mereka tak tau saja seoerti apa kita, dulu' sambungku membatin. Biarlah tetap ada kita, walaupun hanya dalam ingtanku.

***

Genap sepuluh hari kebiasaan bangun pagiku yang sudah mulai mengakar. Bangun pagi dan mantengin Chanel 9, namun tepat pukul enam, wajah yang kutunggu dan biasa menghiasi layar kaca, tak juga muncul. Bahkan acara pagi yang sangat jarang dengan gosip, entah mengapa sekarang menampakkan gosip (pikirku).

"Kematiannya diduga akibat serangan jantung mendadak." Potongan kalimat itu cukup menggangguku, tapi tak mampu mengalihkan pandanganku dari layar HP yang sedang menampilkan profil Bang Revan.

"Pembawa berita yang digadang mampu menaikkan rating ini,...." entah apa lagi yang sedang disampaikan. Kali ini aktifitas detakan jantungku melemah, atau malah menggila hingga tak teras detakannya, entahlah. Kedua kelopak mataku seakan melebar sempurna, pegal memang, namun untuk berkedip dan melewatkan apa yang sedang ditayangkan rasanya aku tak rela. Mulutku terbuka, mungkin, karena yang kurasakan hanya angin. Namun, untuk berucap, aku tak sanggup. Kakiku pun rasanya kehilangan tulang, lemas. Aku tak sanggup lagi. Sepertinya aku terduduk. Dalam diam banyak yang kupikirkan, mulai dari pertemuan pertama (untuk yang kedua), yaang membuatku berpikir bahwa kita masih dalam lingkaran yang sama. Yang membuatku kembali berharap.

Tapi kali ini, alam seolah menamparku. Bahkan lingkaran yang sama, alam pun kita sudah berbeda. Tak mungkin lagi ada kita mulai sekarang.

Rasanya aku ingin berteriak, menangis, meneriakkan namamu, menyeretku kembali, namun itu sungguh tak mungkin. Menjatuhkan air mata pun aku tak berhasil. Hanya menatap lurus melalui televisi, berharap jiwaku mampu melakukan teleportasi hanya untuk mengucaokan sekamat tinggal yang tak sempat terucap. Walaupun aku sendiri tak yakin mampu.







a posterioriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang