(surat untuk mantan)

4 0 0
                                    


Untuk seseorang yang sedang berdiri di depan sana.

Ingin kuucap, 'Hai, apa kabar?' tapi bakal aneh. Karena orang buta pun bisa dengan gamblang melihat kebahagiaan yang diwujudkan berupa senyum tulus dari mata, dan tawa ringan nan renyah yang terkesan lepas namun hangat.

Bohong ketika aku bilang tak tahu kabarmu selama ini. Ini bukan jaman pra aksara dimana semua terbentur ruang dan waktu. Selama masih dalam dimensi yang sama, selama masih menghirup udara yang sama, dan selama masih beratapkan langit yang sama, serta berpijak pada bumi yang sama, aku masih berani menamani aku dan kamu sebagai kita. Nyatanya untuk sekedar tahu kegiatanmu setiap hari aku tak perlu memelihara merpati. Aku cukup memanfaatkan kecerdasan entah siapa, yang sekarang diberi nama internet. Internet, sepaket dengan semua sosial medianya.

Dari sana pula, aku tahu bahwa kamu baik-baik saja. Selalu baik-baik saja. Terlalu baik-baik saja (menurutku), karena padahal tak ada aku di sana. Sedang aku tak mampu untuk sekedar berpura-pura baik-baik saja.

Tujuan awalku ngstalk semua akun sosial mediamu hanya untuk mencari tahu keadaanmu.

Namun sepertinya itu hanya kamuflase.

Seharusnya, aku bahagia bukan saat tahu kamu bahagia? Seharusnya. Tapi, selalu dan selalu ada tapi, aku selalu menemukan tapi untuk melakuakan semua pembenaran. Aku kecewa saat tahu kamu bahagia, karena ternyata bahagiamu bukan aku.

Ternyata yang selama ini jadi tujuanku adalah, untuk tahu bagaimana hatiku, apa akan baik-baik saja ketika tahu kamu baik-baik tanpa aku? Dan tenyata aku (sangat) tidak baik-baik saja.

Untuk kamu yang sedang menatap orang di depanmu dengan pemujaan tertinggi.

Untuk saat ini saja, biarkan aku sedikit egois. Karena setelah kamu baca tulisan ini, itu artinya aku sudah benar-benar menutup harapan. Samapi saat ini aku masih berharap menjadi alasanmu tertawa. Bukan tanpa alasan aku seberani ini dalam berharap. Aku hanya merasa berhak saja.

Entah ini menurutmu penting atau tidak, tapi aku selalu mengingatnya. Saat pertama kali setelah sekian lama kita tak bertemu, ketika aku sudah berusaha menjadi orang asing diantara yang tak saling kenal. Namun bukannya membantu, kamu malah berperan sebagai teman lama yang dekat. Hancur sudah. Karena memang pondasi yang belum kuat, benteng pertahannanku roboh. Aku kembali tak imun pada pesonamu. Kamu kembali menyapa setiap pagiku, dan aku sedikit (demi sedikit) berharap itu akan berlangsung seterusnya. Dalam hubungan yang lebih bermakna dan bernama.

Bahakan hingga saat ini aku membayangkan diriku yang semenyedihkan ini untuk berada disampingmu. Saling menautkan tangan, mengisi kekosongan ruang antar jemari. Mempertemukan logam yang tersemat diantara jari manis kita. Menebar senyum pada siapa saja yang sudi menyapa. Dan mengajak semua berbahagia bersama.

Untuk kamu yang masih saja tertawa, padahal aku tidak.

Setelah membaca ini nanti, kamu seharusnya bersyukur karena semua yang kutulis di atas hanya harapan maupun bayangan, dan selamanya tak tergapai.

Setelah membaca ini nanti, kamu juga akan tahu, kenapa saat tulisan ini sampai di tanganmu, tak ada sepatah kata pun terucap. Meskipun kau sangat ingin. Tolong jangan paksa aku untuk mengucap 'Selamat atas pernikahanmu, selamat menempuh hidup baru.' Karena itu terlalu menyakitkan untuk luka yang tak pernah benar-benar sembuh.

Selamat tinggal, Mantan.Semoga aku bahagia (melebihi bahagiamu).

a posterioriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang