Meraba Rasa

4 1 0
                                    

Menghadiri nikahan mantan, dan (masih) sendiri, tak pernah menjadi angan apalagi inginku. Kukira, aku akan menjadi orang yang paling bahagia dulu sebelum mantan. Itulah definisi baik-baik saja menurutku sebelum saat ini, sebelum kabar bahagia itu.

Radian Aji Pamungkas, aku memanggilnya Ian, dulu, dan kini kunamai mantan. Namun entah juluakan apa yang Ia sematkan padaku.

Semenjak jaman putih merah dan putih biru, Ian selalu ada dimana ada aku. Setiap yang memandang, selalu memasangkan kita dan menamai kita pasagan. Bahkan orangtuaku, entah mantra apa yang kamu gunakan, mereka seolah mendukung semua mauku, asal itu bersama Ian. Aku mensyukuri itu semua, awalnya. Namun kelamaan rasa jenuh yang muncul.

Saking sayangnya Ayah dan Ibu sama Ian, mereka terkesan berlebihan. Tak jarang menjadikan Ian sebagai rivalku. Ian yang memang pada dasarnya cerdas, Ian yang semua maunya di support keluarga. Malah aneh ketika namanya tenggelam, bukan? Namun, ketika dia terpampang menjadi jawara kelas? Itu sudah sewajarnya, kan?

***

"Ayah, Wilan ketrima di SMA Negeri kan?" aku bertanya dengan begitu tidak sabarnya. Tapi itu tidak seirama dengan respon Ayah. Mimik yang beliau tunjukkan begitu sulit diartikan. Semacam ketidakpercayaan dan kekhawatiran, mungkin,entahlah. Namun, dengan sendirinya aku menciut, takut menjadi alasan munculnya ekspresi yang sangat jarang ditunjukkan itu.

"Radi, gak ketrima, Lan?" ucapnya tiba-tiba. Hah? Radi. lagi dan lagi. Beliau selalu membadingkanku dengan Radi, membuatku muak. Untuksaat ini aku ingin menjadi tokoh yang sedikit jahat. Tertawa di atas kesedihannya, mungkin. Padahal ini bukan juga kali pertama aku keluar menjadi seorang pemenang dalam event yang Ayah jadikan ajang membandingkan kami.

"Masa, Yah?" responku formalitas. Tapi tetap saja sepertinya Radi yang nomor satu.

Sejak saat itu, jujur aku kesal. Aku merasa Ian mengambil sesuatu terlalu banyak. Selain hatiku, perhatian orangtuaku pun ia genggam.

Masa putih abu-abu aku mulai menjarak. Kalau memang hati dan perhatian orang tersayang sudah Ian ambil, untuk apa aku bertahan? Aku memilih menunjukkan pada mereka semua, aku bisa, senidiri.

Entah apa yang Ian pikirkan, dia juga seakan mendukung aksiku. Meski akhirnya beda sekolah, tapi sebenarnya kita masih dipertemukan dalamm lingkarang yang sama, berhadapan dalam angkot ketika pagi dan siang, kala itu.

Kuakui lelah, menahan asa untuk sekadar menyuarakan aksara. Bertanya perihal afeksi. Berharap setitik atensi. Barangkali kau sudi.

Semacam gencatan senjata, ini berlanjut hingga massa tak berseragam. Aku benar-benar lelah membahas rasa yang tak teraba. Kuputuskan mengalah. Memberikanmu ruang untuk melangkah, dan aku pun. Tanpa tautan tangan yang mengiringi untuk menyamakan arah.

***

Bodoh, sangat-sangat bodoh. Dan aku sekarang bingung siapa yang hendak dipersalahkan. Semuanya terjadi dalam diriku, dan hanya aku, tak seorangpun terlibat dalam kesalahan ini. Kesalahan fatal yang tak pernah dikehendaki, memang seharusnya tak terjadi dan tak boleh terjadi.

Semuanya benar-benar diluar kendali, tak kuasa aku mengendalikannya. Mata ini, ya mata ini untuk sesaat benar-benar berontak. Entah apa sebabnya. Oh ya mungki karena orang asing itu. Kusebut orang asing karena memang untuk beberapa lamanya__sampai aku tak sadar seberapa lama __orang itu benar-benar asing, tak sedikitpun darinya yang aku ketahui. Sinyal-sinyal yang menyebutkan semua itu familiar pun belum sempat menjalar dalam sarafku. Semuanya terasa begitu kaku dan beku. Terkecuali mata ini, dengan sangat berani dan tanpa malu-malu menguliti sesosok asing itu.

Sebelum akhirnya kusadari, ternyata dia, seoarang yang pernah membuat hidupku begitu susah. Susah dijalani ketika itu, diingat untuk sekarang, ataupun sekedar dilupakan. Semuanya tak bisa kulakukan. Ingin rasanya kumaki, bisa-bisaya mata yang memaksaku tetap menatapnya itu tidak selaras dengan jalan pikiranku.

Tapi bagaimanapun tak bisa disangkal, sejurus kemudian secercah cahaya terasa menerangi dunia yang gelap, perasaan tak menentu tiba-tiba muncul, degup jantung mengencang semaunya, ada suatu kenyamanan tak terkira yang sempat singgah, membuat ujung bibir tertarik ke atas.

Sekuat tenaga aku menahannya, aku harus konsisten pada peranku, menjadi orang orang asing untuknya.

Namun serupa ombak yang menyapu bibir pantai, tak pernah terpikir bagaimana perjuangan butiran pasir untuk bersatu, Rabi dengan tanpa rasa bersalahnya mendekat, menyapaku.

"Hai, Lan! Lama gak ketemu ya? Padahal sekampus? Ck," ucapnya riang, semacam reuni teman lama, tak memedulikan hati dan perasaanku yang ambyar.

"Oh, oh iya hai." Jawabku semampunya. Masih sedikit shock dengan jalan yang dipilihnya.

Ketika takdir yang mempertemukan kita, namun bukankah kita punya pilihan bagaimana harus bersikap? Dengan ringannyam dan tanpa bergeser sedikitpun dari motor, Ian menanyakan kabarku, kabar orangtuaku, kabar kuliahku, dan entah apa saja yang membuat kita nyaman mengobrol tanpa ada kecanggungan. Bahkan dia berkelakar ingin meminta bantuanku untuk mengerjakan projeknya.

"Mas, dicariin juga." Suara yang syahdu, pikirku. Dan mampu mengalihkan fokusku dan Ian. Ternyata bukan cuma fokus, bahkan Ian langsung beranjak, mnerima bungkusan dengan logo tempat makan dari tanganperempuan cantik itu__yang tak lama kutahu namanya Septa.

"Hehe, Mas ketemu temen lama tadi, kenalin Dek, Wilan. Lan, kenalin, Septa." Dan kusambut uluran tangan Septa. Halus.

"Mbak, duluan ya," ujar Septa memecah lamunanku, ternyada dia sudah berda di boncengan Ian. Sejurus kemudian mereka berlalu. Aku kembali gamang, teringat perasaan yang sempat muncul.

***

Dalam senja, kucoba memaknai mesranya horison menanti sang surya kembali ke perduannya. Sambil berpikir pertemuan yang sama sekali tak terduga tadi siang. Mungkinkah takdir?

Alunan piano klasik mengusikku, membuatku mengarahkan pandangan pada balok kaca yang teramat canggih. Terpampang nomor tak dikenalyang membuatku bertanya-tanya, 'siapa gerangan?'

"Hallo, selamat sore?" sapaku sedikit ragu.

"Hai, Lan." Respon teramat riang di seberang membuatku mengernyit. "Ian nih, Lan" lanjutnya.

"Ian?" aku kembali memastikan, takut hanya sebuah delusi.

"Iya. Ian, Radian. Masa lupa, tadi kita baru ketemu lagi loh, Lan." Dari nadanya, seakan sedang merajuk. Aku kembali terkekeh. Dia Ianku.

"Eh, dapet kontakku darimana?"

"Iseng nyari di grup kampus, eh ketemu." Ucaonya diakhiri kekehan yang kurindukan. "Oiya tadi aku serius loh, Lan. Need your help, bantuin projekku ya, Lan." Kubayangkan ekspresi memohon sedang dipasanngnya, sayang tak terlihat.

"Hhhm.' Jawabku sekenanya. Memang apa lagi? Ian paling tahu kalau aku tak mampu menolak.

***

Entah siapa diantara kita yang membuat keputusan, berawal dari projek, kita jadi sering bersama. Sekadar jalan dan atau makan bareng, biasanya. Dalam setiap kebersamaan yang tercipta, tak sekalian ada nama Septa terselip. Aku semakin yakin ini rencana dari yang maha merencanakan untuk mempersatukan aku dan Ian.

***

"Lan, temenin aku kondangan di Septa dong, weekend besok." Bukan ajakan kondangannya yang membuat aku bergeming, tapi namanya. Septa itu orang yang sering kulihat bareng dia, kan? "Wooy, ngelamun lagi." Lanjutnya gemas, sambil sesekali tangan usilnya merup mukaku. "Hehehe" aku terkekeh, kelakuan bocahnya sedikit mengurai kerja otot yang lumayan ekstra akibat shock.

"Septanya Radi, kan?"

"Iyeee, dia. Kamu kenal juga sih harusnya, Radi kan sempet tinggal di deketan rumahmu itu loh."

"Iya, temen kecil kok."

Ini kenyataan bahagia yang benar-benar mengoyakku. Ketika dia tak pernah menganggapku mantan, bukankah harusnya dia tak perlu ikutan melakoni aksi perang dingin? Atau mungkin juga mengakuiku sebagai mantan? Bukankah tak perlu acara jalan dan makan bareng? Yang paling tidak masuk akal, kalau saja dia hanya pernah merasa aku sebagai mantan, dan semuanya sudah kelar, apa salahnya membagi kabar bahagia? Sedang hampir setiap hari kita bertemu. Bahkan aku mendengarnya dari orang lain. Mungkin memang aku tak seberarti itu dalam hidupnya.

a posterioriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang