"Dia cuti seminggu."
Yoongi mendengus kesal. Sore ini ia sudah meluangkan waktu di tengah kesibukannya untuk pergi ke hagwon tempat Jungkook mengikuti kelas privat. Tujuannya adalah menemui guru kurang ajar yang berani membawa Jungkook ke kelab dan meluapkan kekesalan padanya. Sayangnya, Jungkook bilang guru kurang ajar itu mengajukan cuti sampai satu minggu ke depan.
"Dan kau mau menunggu selama itu?" Jimin bertanya dengan gaya angkuhnya. Kaki disilangkan, satu tangan ditumpukan pada punggung sofa, sementara satunya lagi memutar-mutar gelas berisi alkohol.
"Memang aku harus bagaimana lagi? Mengejar sampai ke tempat tinggalnya begitu? Kau saja sana!" Bagi Yoongi, itu malah akan merusak harga dirinya. Melabrak ke tempat wanita itu saja sudah tidak sesuai dengan dirinya, kalau tidak mengingat bagaimana kurang ajarnya wanita itu sampai menyesatkan siswanya dengan dalih hadiah.
"Yang melakukannya sudah banyak, Hyung. Jungkook bukan orang pertama yang dia ajak ke kelab. Aku bahkan tidak mengerti, kenapa wanita itu masih bisa mengajar?"
Dari informasi yang Jimin dapatkan, siswa lain yang diajak ke kelab ada beberapa yang ketahuan seperti Jungkook. Para ibu biasanya lebih barbar dan melabrak gurunya secara langsung, tapi sampai detik ini, Choi Haeyoung belum kehilangan lisensi mengajarnya, bahkan ada cukup banyak yang mengantri agar bisa diajar olehnya.
"Aku tidak punya pilihan selain menunggu masa cutinya selesai," kata Yoongi. Ia menuangkan alkohol sejenis dengan milik Jimin. "Bagaimana dengan Kim Namjoon? Sesuai rencana?"
Jimin tersenyum bangga. Ia masih terbayang bagaimana raut wajah Namjoon saat sesi wawancara dengannya tempo hari. "Kau bisa percayakan itu padaku, Hyung. Semua beres, sesuai rencana."
Memastikan hidup Namjoon hancur adalah tujuan Yoongi. Membuat pria itu kehilangan pekerjaan di masa lalu dan memastikan tidak akan mendapat pekerjaan baru. Yang Yoongi tahu, Namjoon begitu terobsesi bekerja di bidang gaming dan teknologi. Selama obsesi itu masih dipegangnya, Yoongi yakin masih dapat menjegal setiap langkah yang diambil oleh pria itu.
Yoongi bersandar pada punggung sofa yang didudukinya. Kepalanya menengadah, mata lelahnya menatap lurus lampu hias berukuran super besar yang berada tepat di atas kepalanya. Sesaat sorot itu seakan mengajak sinar redup lampu besar itu, kemudian menyipit tak kuat. Pupilnya tersiksa karena cahaya yang bahkan tak terlalu terang.
"Kau ini kenapa?" Jimin menangkap gelagat aneh atasan sekaligus temannya itu. Yoongi selalu seperti itu apabila ada sesuatu yang salah dalam hidupnya. Padahal yang terakhir pria itu dengar adalah keberhasilan rencananya dalam membuat hidup Kim Namjoon semakin terpuruk.
"Ibuku mengamuk lagi hari ini," ujar Yoongi lesu. "Dia hampir bunuh diri dengan menyembunyikan silet yang entah didapat dari mana."
Jimin tak dapat mengatakan sepatah kata pun. Sosok ibu seakan menjadi dua sisi belati bagi seorang Min Yoongi. Membuat dirinya lemah, juga kuat di saat yang sama. Karena sang Ibu yang selama setahun belakangan ini terpaksa dikurung di rumah sakit jiwa, Yoongi jadi menyusun segala rencana untuk membuat hidup Kim Namjoon hancur.
"Aku harus menghancurkan mereka. Segera. Apa pun risikonya."
***
Namjoon selalu menyesal. Setiap kali ia melakukan kesalahan yang membuat dirinya menyakiti Haeyoung terlalu banyak, Namjoon selalu menyesalinya. Namun dorongan dalam dirinya yang tak dapat dikendalikan, seakan menutup rapat pintu nurani pria itu. Sisi lembut cintanya pada wanitanya tak dapat berkutik ketika dorongan mengerikan itu mulai menyeruak ke permukaan.
Wanitanya terdiam dengan tatapan mata kosong di bath tube. Tubuh telanjangnya yang selama ini menjadi kanvas sifat kasar Namjoon dibiarkan terbuka tanpa sehelai benang pun. Ia bergeming ketika Namjoon mulai membersihkan setiap sisi tubuhnya dengan sangat hati-hati. Sesekali terasa ngilu pada bekas keunguan hasil sabetan Namjoon tempo hari, namun Haeyoung tak menunjukkan reaksi berlebih.
YOU ARE READING
PORCELAINE [TELAH TERBIT]
Fanfic[Telah terbit. Tidak ada di toko buku.] Choi Haeyoung dapat menahan semuanya demi Kim Namjoon. Baginya, rasa sakit yang didapatkannya tidak seberapa jika dibanding dengan cinta yang Namjoon berikan padanya dan bagaimana pria itu selalu ada untuknya...