Part 2✓

52 5 0
                                    

Jam tanganku seperti berputar lambat, baru lima menit Aku berangkat dari terminal tadi yang dimana sudah terasa setengah jam dipikirkan. Ditambah beberapa menit mengantri di pom bensin. Sudah sepertiganya bus terisi oleh penumpang yang tidak aku kenal. Tapi tidak ada yang duduk di sampingku, semuanya memburu kursi belakang. Di dalam hati Aku berharap semoga ada cewek cantik yang akan duduk di sampingku. Tapi rasanya tidak akan, sedetik kemudian seorang nenek-nenek yang duduk di sampingku. Aku hanya tersenyum terpaksa ketika nenek itu tersenyum dengan giginya yang sudah tiada.

"Mau ke Sukabumi, Nak?" tanya Nenek yang ada di sampingku.

"Iya, Nek." Aku hanya menjawab singkat sambil memainkan ponsel.

"Nenek juga mau ke Sukabumi, kamu Sukabumi mana, Nak?"

"Jampang, Nek."

"Kita sama, Nenek juga mau ke Jampang. Di sana ada Kakek yang sudah menunggu, sudah lama Nenek tidak ke sana, mungkin rumahnya sudah penuh oleh dedaunan dan rumput." Aku hanya mengangguk sambil sesekali mengelus dada, mimpi apa Aku semalam?

Kondektur terus menyebutkan tujuan bus ke orang-orang yang sedang berdiri di samping jalan, menanyakan apakah mereka akan naik? Aku tenggelam dengan bacaan sebuah postingan di Facebook dimana ada satu foto yang memperlihatkan kondisi bus yang sepi, tapi sang pemilik akun menuliskan kalau bus itu penuh akan penumpang sampai ada yang berdiri.

"Serem banget," gumamku yang langsung ditanya oleh Nenek dengan wajahnya yang penasaran.

"Ada apa, Nak?" tanyanya.

"Ini ada foto bus kosong tidak ada penumpangnya padahal kata yang punya akun penuh."

"Mungkin itu bohong, biasa orang jaman sekarang maunya terkenal." Aku hanya mengiyakan sambil membaca komentar netizen yang kebanyakan berkomentar "serem."

"Sukabumi, Sukabumi, Sukabumi." Suara kondektur bus kembali terdengar, tapi suaranya terasa berbeda di telingaku. Bernada sedih. Mataku mencari asal suara kondektur bus, badannya yang gemuk dengan pakaian ketat membuat lemaknya terlihat jelas, ditambah perutnya yang buncit. Aku menelan ludah ketika mataku tidak menemukan kepalanya karena terhalang oleh lelaki yang duduk di kursi paling depan. Bukan karena terhalang tetapi dia memang tidak memiliki kepala saat aku melihatnya dengan teliti.

"Kenapa, Nak? Seperti lihat hantu saja." Nenek itu kembali bertanya ketika melihat ekspresi wajahku yang berubah tiba-tiba. Mungkin si Nenek adalah psikolog atau wartawan ketika masih muda, peka terhadap sekitarnya.

"Tidak apa-apa, Nek." Sekarang kepala kondektur terlihat jelas ketika membukakan pintu karena ada yang ingin naik. Sepasang suami istri, duduk di kursi belakang sang supir.

Berkali-kali Aku mengusap wajah, memfokuskan pikiran supaya tidak berpikir negatif sambil mengalihkannya ke ponsel. Membaca curhatan teman-teman yang online di Facebook yang terkadang membuatku tersenyum karena lucu ataupun kesal karena selalu ada yang saling menyalahkan ketika ada suatu peristiwa.

"Jaman Nenek dulu tidak ada yang namanya hp," katanya tiba-tiba, membuatku menengok ke wajahnya yang keriput. Jadi teringat Nenekku dahulu di kampung yang sudah tidak ada ketika Aku menatapnya dan ibu yang sekarang sedang menungguku pasti akan seperti beliau nantinya.

"Nenek dengan kakek harus susah payah ketika ingin ke suatu tempat, tidak ada bus, hanya orang-orang kaya yang memiliki kendaraan. Kita orang miskin hanya bisa naik-turun gunung, berjam-jam sampai kaki terasa pegal." Bibirnya tersenyum, mungkin otaknya sedang memutarkan video masa-masa pacaran dahulu.

Aku hanya mendengarkan, sesekali mengangguk. Ikut tenggelam dengan ceritanya.

"Jaman sekarang enak mau kemana-mana juga, Nek. Tinggal naik bus, pesawat, atau kereta ketika tidak punya kendaraan." Kataku sambil membuka pesan masuk dari ibu.

[Kamu jangan lupa banyakin doa, perasaan ibu benar-benar tidak enak. Ibu sangat khawatir dengan kamu. Tidak biasanya perasaan ibu seperti ini, tidak ada apa-apa, kan?] baru kali ini pesannya berisikan seperti itu sejak aku memutuskan untuk merantau. Aku bersegera membalasnya menghiraukan perkataan Nenek yang samar-samar terdengar "kamu hati-hati."

[Mungkin ibu sudah tidak sabar menungguku pulang, aku baik-baik saja cuman busnya yang tidak baik. Berjalan lambat karena mencari penumpang, mungkin sore aku sampai di rumah.] Layar bertuliskan kirim ku tekan, tapi tidak kunjung terkirim. Hanya menampilkan gambar jam di bawah pesannya. Sial, ternyata sinyal yang membuat pesanku tidak terkirim. Warnanya merah dipojok kanan atas ponselku. Kenapa disaat seperti ini sinyal menghilang seperti dimakan bumi, beberapa menit yang lalu masih kencang dengan jaringan 4G.

Berkali-kali Aku mencoba untuk mengganti jaringan dari edge sampai 4G, tapi tetap saja tidak terkirim. Mode pesawat tidak luput dari percobaan untuk mengembalikan sinyal, tetap saja nihil. Tapi berbeda dengan perempuan berkerudung biru yang sedang asiknya melihat video dan sinyalnya tidak menghilang seperti di ponselku. Apakah videonya sudah ia download? Rasanya tidak, karena sepintas Aku lihat dia mengirimkan pesan.

"Kenapa, Nak?" tanya Nenek ketika Aku berusaha mengembalikan sinyal yang tidak tahu ke mana.

"Ini .... Sinyal hilang, Nek. Padahal mau ngirim pesan ke Ibu, ngasih tau kalau saya sudah di bus." Jawabku sambil mengacungkan tangan mencari sinyal, pastinya semua orang melihat ke arahku, mungkin mereka bertanya-tanya ada apa denganku. Aku tidak peduli dengan mereka, yang penting pesanku cepat terkirim. Karena Aku takut Ibu panik pesannya tidak ada balasan. Seperti waktu Aku SMA, lupa memberitahu Ibu kalau aku sudah sampai di asrama. Berkali-kali beliau menelpon dan mengirimkan pesan, ditambah sepupuku juga ikut menelpon. Ibuku panikan orangnya.

"Makanya kalau beli pulsa itu dengan sinyalnya," katanya, mungkin mencoba menghiburku karena wajahku terlihat kesal, meski perkataannya garing. Aku hanya tersenyum, menghormati candaannya.

"Nenek bisa saja, mana ada yang jual sinyal. Ada juga yang jual hp sama pulsa, kalau sinyal itu dari sananya."

"Bersabar saja, mungkin terbawa angin."

"Biasanya sinyal jelek itu waktu hujan, ini padahal cerah tapi sinyalnya jelek." Nenek mengangguk, mungkin beliau paham dengan apa yang Aku katakan. Aku melihat ke luar jendela, jalanan padat, orang-orang memenuhi toko-toko yang berjejer di pinggir jalan.

"Sepertinya anak zaman sekarang ketika tidak ada sinyal itu seperti hilang separuh nyawanya, anak tetanggaku juga begitu, dia selalu berteriak-teriak ketika dia main game dan sinyalnya hilang. Hp yang menjadi korbannya, dilempar sampai hancur ke ubin." Kata Nenek sambil geleng-geleng kepala. Aku hanya tersenyum, memang benar. Sinyal dan kuota menjadi dua bagian yang tidak terpisahkan, hp terasa mati ketika tidak ada kuota ataupun sinyal yang hanya menghilang terkadang saja.

"Anak zaman now namanya juga, Nek." Mataku kembali menangkap sesuatu yang ganjil di bus ini ketika Aku melihat ke arah kaca depan. Kaca tersebut dipenuhi oleh warna merah yang menutupi semua bagiannya, tapi sang supir dengan tenang mengemudikan bus tanpa membersihkan kacanya. Warna merah itu seperti darah segar yang baru saja di siramkan. Tidak tahu dari mana asalnya, tiba-tiba saja ada. Aku mengucek-ngucek mata dan kaca bus kembali seperti semula, bersih.

"Kenapa, Nak?" tanya Nenek.

"Tidak ada apa-apa, Nek." Jawabku sambil berusaha mengembalikan sinyal yang tidak tahu kemana.

Sudah beberapa kejadian yang Aku lihat di bus ini, kejadian yang tidak pernah Aku lihat sebelumnya. Kondektur yang tidak berkepala, wajah hancur sang supir dengan matanya yang hampir keluar, pemuda berwajah seram yang sedang duduk di kursi belakang bersama dua temannya, dan kaca yang penuh oleh warna merah seperti darah. Ditambah waktu yang terasa lambat dan sinyal menghilang tiba-tiba. Soal sinyal dan waktu Aku tidak mempermasalahkannya, tapi wajah mereka yang membuatku takut. Itu yang menjadi masalahku sekarang.

"Tenang saja, Nak. Semuanya akan baik-baik saja. Tidak usah khawatir dan takut. Bus ini akan sampai di Sukabumi, Aku yakin itu, meski di perjalanan pasti akan ada hal-hal seru." Kata Nenek. Apa maksud semua perkataannya. Hal seru apa yang akan terjadi? Dan kenapa Nenek mengatakan seperti itu, apakah dia tahu sesuatu? Tahu apa yang Aku lihat, tapi rasanya tidak mungkin, karena sejak tadi Nenek hanya diam saja, melihat ke arah depan, sesekali melirik ke arahku ketika wajahku terlihat kesal karena sinyal yang tidak kunjung datang sampai saat ini.

Awalnya Aku berpikir seperti itu, tapi semuanya Aku rasakan kejadian demi kejadian, di sini, di bus.

Bus Hantu Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang