Aku kembali menoleh ke arah kursi yang dimana berawal ada sepasang mata menyala sedang menatapku, di foto. Dan sekarang tidak tahu kemana makhluk itu pergi setelah dia ada di depan kamera dengan wajahnya yang menyeramkan. Fotonya tersimpan di memori dan tidak akan Aku hapus sampai kapanpun. Sang pedagang tersadar Aku melihat ke arahnya, lebih tepatnya ke arah kursi yang ada di sampingnya.
"Mau tahu lagi, Mas?" tanyanya dengan senyuman pemikat khas pedagang.
"Enggak, Mas. Masih ada." Memang masih ada tahu di kantong plastik, di pangkuanku.
Bus masih melaju seperti pikiranku yang terus menguras otak untuk mencerna apa yang sebenarnya terjadi. Keanehan-keanehan yang Aku rasakan seakan terus bertambah seiring dengan berjalannya waktu yang terasa lambat sekali berjalan. Jam tanganku terus berdetak, tapi setiap kali Aku melihatnya jarum jam seperti masih berada di tempatnya, baru berganti ketika sudah berkali-kali lipat waktu berputar, yang Aku rasakan.
Suara anak-anak terdengar dari arah depan, tertawa cekikikan. Mungkin suara anak kecil yang bersama ibunya. Aku kembali fokus sampai Aku teringat akan anak kecil itu, hanya satu anak yang naik ketika sudah meninggalkan terminal tadi, yang Aku tahu. Tetapi, suara tertawa cekikikan itu seperti suara tiga sampai lima orang anak kecil, di depan kursiku. Dengan perasaan yang campur aduk antara takut dan penasaran Aku memutuskan untuk pura-pura berdiri sambil melihat suara cekikikan yang semakin lama semakin melengking, seperti suara kuntilanak yang sering di putar Maman untuk menakuti Jali ketika dia sedang di kamar mandi.
Namun, belum sampai Aku menaikan pantat, sesuatu menyentuh pundakku yang langsung Aku menoleh. Tidak ada siapa-siapa. Nenek masih terlelap tidur dengan posisi tangan masih di tempatnya. Tidak mungkin orang di belakangku yang melakukannya, karena kursi masih kosong begitupun dengan kedua ibu-ibu paruh baya atau lelaki berpakaian tentara, sangat-sangat tidak mungkin.
Ponselku kembali berdering ketika Aku memikirkan banyak hal, tertawa cekikikan anak kecil yang sudah tidak terdengar lagi dan siapa yang menyentuh pundak?
[Nak, kamu masih jauh? Ibu sudah belanja buat masak makanan kesukaan kamu,] sudah Aku duga tadi Ibu pergi ke pasar ketika pesanku tidak dibalasnya.
[Masih di jalan, Bu. Baru keluar dari kota.] Balasku sambil menambahkan sebuah nama jalan yang Aku baca di sebuah plang toko.
[Dari tadi baru keluar Bandung? Bagaimana bisa?]
[Aku tidak tahu, tapi nyatanya Aku masih di sini.] Aku mengshare lokasi terkini ke Ibu.
[Sebaiknya kamu turun, Nak. Ganti mobil!]
[Kenapa, Bu?] sinyal kembali berulah, sialan! Gambar jam di bawah pesan dan warna merah di tempat sinyal.
Ada apa sebenarnya, kenapa sinyal selalu menghilang ketika Aku ingin menanyakan sesuatu yang penting? Dan kenapa Ibu menyuruhku berganti bus? Apa karena Ibu tahu bahwasanya bus yang Aku tumpangi berhantu? Ditambah siapa lagi yang bermain musik dengan suara cempreng dan petikan gitar yang asal-asalan?
Dua orang pemuda berjaket jeans dengan topi hitam yang sedang konser dadakan di bagian belakang menggantikan pedagang tahu yang sudah turun. Tidak tahu kapan naiknya, mungkin ketika mobil sedang berjalan lambat lantas mereka naik lewat pintu belakang.
Hidup di jalanan, bukanlah sesuatu kemauan.
Hidup di jalanan, bukanlah takdir.
Hidup di jalanan, tidak ada yang mau.
Tapi tidak ada pilihan, karena hidup harus terus berjalan.
Biarlah diri ini dicaci, kami tak peduli.
Tuhan tahu kami, bukan dari omongan mereka.
Tuhan tahu kami, segelintir orang yang ingin hidup sampai mati.Biarkan kami hidup damai dengan nasi bungkus dan rokok sebatang.
Meski kami harus naik-turun bus untuk mendapatkannya.Maafkan kami kalau membuat onar, itu hanya sebagian dari kami yang gila.
Cinta damai, sampai akhir.Itulah sepenggal lirik nyanyian mereka yang Aku dengar. Lagu kedua dari mereka menyanyikan salah satu lagu dari band ibu kota yang sedang naik daun. Tapi Aku tidak terlalu fokus mendengarkannya karena mengembalikan sinyal adalah hal yang lebih penting, sekarang.
"Mungkin ini dari kami, mohon maaf kalau perjalanan bapak-ibu terganggu karena suara kami yang pas-pasan, dan terima kasih buat Pak kondektur bus karena sudah mempersilahkan kami masuk. Mungkin ada sedikit rezeki buat kami untuk makan sebungkus nasi dan sebatang rokok nanti siang," kata salah satu pemuda berjaket jeans warna biru sambil menyodorkan topinya ke setiap penumpang.
Aku mengambil uang dua ribu dari saku celana, lantas memberikannya ke mereka ketika melewatiku.
"Terima kasih, Mas," katanya sambil berpindah ke kursi lainnya. Aku hanya mengangguk. Banyak yang mereka dapatkan, dari uang lembaran sampai recehan. Mungkin cukup untuk mereka makan siang ini.
Bus berhenti, ada yang kembali naik dan kedua pengamen tadi turun. Seorang Ibu sedang hamil yang naik lantas duduk di kursi kosong di depan kursi anak dengan ibunya. Sekilas Aku melihat kedua pengamen tadi langsung masuk ke sebuah tempat makan, mungkin mereka melanjutkan mengamen di sana atau langsung makan.
Ponselku masih belum memperlihatkan tanda-tanda akan bagusnya sinyal, berbagai metode telah Aku coba seperti metode sebelumnya. Tapi semuanya percuma, sinyal masih saja hilang.
"Cu, kamu tenang. Nenek akan menjenguk dan membawakan bunga kesukaanmu, nanti akan nenek tanam di rumahmu." Suara lirih nenek kembali mengalihkanku dari kekesalan pada hp. Ternyata nenek mengigau, beliau masih tertidur pulas, mungkin kelelahan karena kondisi fisiknya yang sudah tua.
"Ha-ha-ha, ha-ha-ha, ha-ha-ha," suara tawa anak kecil dari kursi depanku kembali terdengar. Dan Aku memutuskan untuk melihatnya, tapi di punggungku seperti ada yang menempel, berat.
"Kamu jangan melihatnya," suara nenek terdengar, nadanya seperti berbisik.
"Kenapa?" Saat Aku menoleh, Nenek masih tertidur. Aku menelan ludah.

KAMU SEDANG MEMBACA
Bus Hantu
HorrorMenceritakan sebuah perjalanan bus yang ternyata sebagian penumpangnya bukanlah manusia, Ajay dan Nenek berusaha sekuat tenaga untuk bisa keluar dari sana. Kejadian demi kejadian menyeramkan mereka lihat. Ternyata ada sebuah cerita dan rahasia dalam...