Part 1✓

103 7 0
                                    

"Aku pulang hari ini, Bu." Kataku ke Ibu yang ada di sebrang telpon sambil memasukkan baju ke tas ransel.

"Kamu hati-hati, jangan lupa bawakan oleh-oleh, bukan buat Ibu tapi Adikmu yang terus menanyakan kamu kapan pulang terus dia minta oleh-oleh." Aku tersenyum, itu adalah cara halus untuk Ibu meminta sesuatu dan mengatasnamakan adik.

"Sudah Aku belikan semuanya, ada di kardus."

"Ya sudah, sekali lagi hati-hati dan jangan lupa baca doa."

"Siap ibuku tercinta." Telpon ditutup bersamaan dengan baju terakhir yang masuk ke tas. Semua barang yang diperlukan sudah masuk ke tas dan kardus kecil yang sudah siap di depan lemari, begitupun dengan barang-barang yang ada di kosan yang Aku tinggalkan sudah berada di tempatnya tapi itu pasti tidak akan lama, karena temanku pasti akan mengacaukannya. Tidak tahu sekarang dia di mana, mungkin berada di tempat temannya, karena dia sifatnya nomaden, berpindah-pindah meski ada kosan yang nyaman dan teman baik hati, rajin menabung, serta tidak sombong, seperti Aku.

Sudah satu tahun lebih Aku tidak pulang ke kampung halaman, bukan karena tidak rindu akan tetapi masalah kampus yang selalu memaksaku untuk mengurungkan niat untuk bertemu dengan orang yang Aku cinta. Hanya bisa bertemu lewat telepon dan hari ini libur panjangku telah tiba. Meski harus memaksa Jali untuk menggantikanku di acara beberapa hari kemudian, untungnya dia mau dengan bayaran oleh-oleh moci dan rengginang.

"Pulang sekarang, Jay?" tanya Maman salah satu tetangga kos ketika Aku menutup pintu, menguncinya.

"Iya, kapan kamu pulang?" Aku balik bertanya.

"Paling besok atau lusa." Jawabnya sambil memasukkan sampah ke tong sampah.

"Ya sudah, Aku duluan. Oh ya, sesekali temenin Jali tidur."

"Biarkan saja dia tidur sendiri, wong sudah besar. Hati-hati dan salam ke orang di rumahmu," katanya. Aku mengacungkan jempol sambil menuruni anak tangga, berbelok ke sebuah kamar yang menjadi tempat Aku meminta makan ketika tidak ada makanan di kamar. Gordennya masih tertutup, mungkin dia masih tertidur karena semalam mengerjakan tugas sampai pagi.

Aku bergegas menuju gerbang yang dimana sudah ada tukang ojek online menungguku dari tadi. Dia menyodorkan helm, menanyakan tujuan. Aku hanya mengiyakan sambil menyuruhnya supaya cepat, takut ketinggalan bus. Motor itu meliuk-liuk melewati mobil yang merayap lambat, menyalakan klakson ketika ada angkot yang tiba-tiba berhenti atau kembali melaju setelah menurunkan penumpang. Matahari bersinar terang di langit tanpa awan yang menutupinya. Semoga saja cuaca tidak akan berganti seperti hari-hari sebelumnya, pagi sampai siang panas dan sore sampai malamnya hujan.

"Terima kasih, Pak." Kataku sambil menyerahkan uang pas dan helm.

"Jangan lupa bintang limanya, Mas."

"Siap," kataku sambil membuka kembali aplikasi lantas memberikan bintang lima ke akunnya meski dia tadi berkata yang tidak pantas ketika ada angkot yang tiba-tiba berhenti tanpa memberikan lampu sen.

Ada yang berbeda ketika mataku melihat terminal hari ini, seperti kusam wajahnya dan lebih menyeramkan di siang bolong. Tidak seperti biasanya terminal yang selalu aku kunjungi untuk menaiki mobil tampak seperti ini, orang-orang berjalan seperti biasa, ada yang naik dan ada yang turun dari bus ataupun angkot, ada yang menawarkan jasa angkat barang dan ada juga yang menawarkan jajanan asongan. Tapi, mataku berkata lain. Tidak tahu kenapa? Mungkin hanya perasaanku saja yang terkadang suka berlebihan.

"Mau kemana, Mas?" lelaki berpakaian batik bertuliskan nama dan nama armada bus di dadanya membuyarkan lamunanku.

"Mau ke Sukabumi." Jawabku.

"Mari saya antar, gratis," katanya sambil mengambil kardus yang ada di dekat kakiku. Aku hanya mengikutinya, karena memang armada itu yang akan aku naiki. Bus-bus berjajar dari berbagai armada dengan sang kondektur menyebutkan tujuan dari antar kota sampai antar provinsi, dari bus biasa sampai ber-AC.

"Saya simpan di bagasi barangnya, Mas," Aku mengangguk lantas langsung masuk ke bus yang ternyata hanya ada lima orang di dalamnya, enam denganku. Dua perempuan paruh baya yang ada di tengah dan tiga lelaki duduk terpisah. Aku mengambil duduk di kursi yang bersebelahan dengan kedua perempuan paruh baya itu, mereka sedang berbicara dengan bahasa Jawa, tidak aku mengerti.

Ponselku berdering, pesan dari Jali.

[Jangan lupa bawa bayaran untukku dari Sukabumi, dan hati-hati.] katanya lewat salah satu aplikasi pesan.

[Hati-hati juga di kosan katanya semalam ada yang berbaju putih melayang-layang.] aku membalasnya mencoba menakuti dia karena orangnya penakut.

[Jangan bercanda, gua tidur sendirian malam ini.]

[Ajakin aja si Maman, dia pasti mau.] Satu penumpang kembali naik, kakek-kakek dengan wajahnya tertutup masker. Duduk di belakangku. Disusul oleh ketiga lelaki seumuran denganku, mereka duduk di kursi paling belakang. Tertawa membicarakan cewek.

"Kata gua juga apa, jangan berani cari perhatian sama itu cewek, bahaya." Kata salah satu lelaki bertopi.

"Sudahlah yang penting dia tidak kenapa-napa, hanya memar sedikit." Kata temannya.

Aku menengok ke arah mereka, benar saja ada sedikit memar di pipi lelaki yang duduk di tengah. Mungkin cewek yang mereka katakan memiliki ilmu bela diri dan menghajar lelaki itu. Tapi, sudut mataku melihat sesuatu yang ganjil ketika mataku kembali fokus ke ponsel. Wajah lelaki itu berubah menjadi hancur penuh akan luka dan darah yang terus keluar sampai aku ingin muntah.

"Kenapa, Mas?" tanya perempuan paruh baya berpakaian layaknya ibu-ibu yang duduk di sebelah dengan konde di kepalanya.

"Tidak apa-apa, sedikit mual." Aku kembali melirik ke arah belakang, wajah itu sudah tidak ada lagi. Hanya ada wajah sedikit memar.

"Coba oleskan minyak angin," katanya lagi sambil menyerahkan minyak angin. Tapi aku menolaknya, karena bau darinya bisa membuatku semakin mual.

Ada apa sebenarnya dengan diriku hari ini? Kenapa perasaanku tidak enak ketika kaki ini menginjak terminal. Ada hawa berbeda, dan wajah lelaki yang penuh luka, siapa dia? Apakah dia kerasukan hantu? Apa hanya ilusi karena semalam aku menonton film horor. Aku membuang pikiran negatif jauh-jauh karena kaki lelaki yang sedang memainkan ponselnya menapak dengan sepatu berwarna hitam bermerk terkenal.

Sebuah pemberitahuan terdengar dari pengeras suara, menyuruh bus yang Aku tumpangi supaya berjalan karena waktunya sudah habis. Sang kondektur dan supir naik, menyalakan mesin. Aku tidak sengaja melihatnya, dan lagi. Wajah supir yang sedang duduk dibalik kemudi berlumuran darah dan salah satu matanya keluar yang membuatku menutup mata.

Sial! Apa sebenarnya terjadi?

Bus perlahan meninggalkan terminal menuju jalan raya, berhenti sebentar karena ada penumpang naik. Seorang anak dengan ibunya. Duduk di depanku. Kemudian cewek cantik berkerudung biru dengan pakaian senada masuk lantas duduk di depan dua perempuan paruh baya. Aku memberanikan diri untuk melihat wajah sang supir dari kaca yang ada diatasnya, wajah itu seperti biasa. Tidak ada darah dan matanya masih ada. Sepertinya mataku bermasalah.

[Kamu sudah berangkat, Nak?] tanya Ibu melalui pesan singkat.

[Sudah, Bu. Baru berangkat.] Aku membalasnya.

[Perasaan Ibu tidak enak, kamu hati-hati jangan lupa berdoa.] Aku lupa tidak berdoa ketika naik tadi, mengusap wajah lantas berdoa dalam hati dan perlahan hatiku terasa tenang.

Tidak jauh dari terminal, bus berhenti di sebuah pom bensin yang penuh oleh kendaraan roda dua dan empat. Mengantri untuk mendapatkan bensin. Kondektur bus turun menghampiri petugas pom lantas memberikan sejumlah uang yang tidak Aku ketahui berapa, yang pastinya cukup untuk perjalanan ke Sukabumi.

Bus Hantu Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang