Bus terus melaju, sesekali menyalakan klakson meminta kendaraan yang ada di depan supaya bergerak cepat atau memberitahukan kepada calon penumpang kalau bus masih membutuhkan mereka. Sedikit penumpang maka akan sedikit pula setoran yang akan mereka terima ditambah uang dapur harus selalu ada setiap harinya. Itulah mengapa sang kondektur terus-terusan menyebutkan tujuan bus yang Aku tumpangi meski di kaca depan sudah tertulis dengan jelas.
"Kamu sudah menikah, Nak?" tanya Nenek lagi saat Aku berusaha mencari sinyal yang tiba-tiba eror, tidak tahu sinyalnya atau ponselku yang eror.
"Belum, Nek. Masih kuliah, memikirkan tugas saja sudah pusing. Belum sampai memikirkan untuk berumah tangga." Ponsel ku matikan lantas kembali dihidupkan, tapi tetap saja sinyal belum ada. Bagaimana perasaan ibu sekarang di rumah? Pasti was-was menunggu balasan chat.
"Cepat nikah Nak, umur kamu sudah matang dan kita tidak tahu umur kita." Benar juga apa kata nenek, umur tidak ada yang tahu.
"Doakan saja semoga ada jodohnya, Nek."
"Aamiin," katanya pelan dengan raut wajah yang menghayati ketika aku lirik.
Baru kali ini Aku mendapati teman duduk yang suka mengajak ngobrol walau umur kita jauh berbeda. Biasanya, orang yang duduk di sampingku tidak lama membuka mata, terlelap tidur bukan mati. Terbangun ketika sudah di tujuan. Dan Aku hanya diam saja, memainkan ponsel atau ikut tertidur meski ibu sering melarang untuk tidur di bus. Katanya takut ada orang jahat yang mengambil barang atau Aku turun di tempat yang salah.
Satu penumpang kembali naik, seorang lelaki berpakaian tentara duduk di belakang dua perempuan paruh baya, wajahnya yang terlihat galak dengan tangan penuh otot menatapku. Aku hanya tersenyum sambil mengalihkan pandangan ke cewek berkerudung biru yang sedang menonton film dengan earphone tersambung ke ponselnya. Andaikan dia yang duduk di sampingku, pasti akan tercium minyak wangi bukan bau balsem.
Aku mengerutkan dahi, bau apa ini?
Hidungku tiba-tiba menangkap bau busuk yang sangat menyengat terbawa oleh angin, tapi Nenek di sampingku sepertinya tidak mencium apa-apa sama halnya kedua perempuan paruh baya di sebrang. Mereka tampak biasa saja, tidak menutup hidung, sedangkan bau itu sangat busuk seperti bau bangkai yang dipenuhi oleh belatung. Nasi uduk yang tadi Aku makan berusaha keluar, tapi tidak kunjung datang hanya mual saja. Ditambah dengan pikiranku yang kembali membuka memori beberapa hari yang lalu ketika Aku membersihkan bangkai tikus sebesar betis yang dipenuhi oleh belatung dan pastinya sangat bau di salah satu kosan teman.
"Kamu sepertinya mabuk, coba oleskan balsem ke dada." Tangannya yang keriput menyodorkan balsem. Aku mengambilnya karena tidak enak lantas mengoleskannya sedikit ke dada, rasa panas langsung terasa, seperti ada api di dadaku.
"Terima kasih, Nek. Tapi kok panas banget."
"Tidak apa, panasnya hanya sebentar, nanti juga hilang." Aku menahan rasa panas ditambah menahan bau busuk yang terus-menerus menusuk hidung. Darimana asalnya bau ini? Apakah hanya Aku saja yang menciumnya? Dan kenapa dadaku panas banget? Balsem apa yang di berikan oleh nenek? Ah, sial! Andai saja Aku tidak menerima balsem tadi, mungkin tidak akan merasakan panas hanya bau saja serta mual.
Ponselku berdering, pesan-pesan masuk setelah terhalang oleh sinyal yang tiba-tiba menghilang dan sekarang muncul kembali dengan hanya beberapa batang saja di pojok kiri atas.
[Jay, Lo bener soal di kamar ada yang melayang-layang?] tanya Jali di salah satu pesan masuk. Aku tersenyum dan ingin rasanya tertawa sambil menahan rasa panas dan bau busuk, ternyata dia percaya saja soal ada yang melayang-layang di kamar berbaju putih.
[Enggaklah, gua cuman bercanda aja tadi.] Pesan sudah mendarat di ponselnya, ceklis dua. Tapi belum dibacanya.
Aku membuka pesan dari ibu.
[Nak, beneran kamu tidak apa-apa? Kamu kenapa tidak besok saja pulangnya?]
[Beneran ibuku tercinta, memangnya kenapa?]
[Perasaan Ibu tidak enak, ditambah lagi foto kamu yang ada di ruang tamu tiba-tiba jatuh, takut seperti di film-film.] Aku menepuk jidat lantas cepat-cepat membalasnya. Ternyata keseringan menonton film membuat ibuku seperti ini, terbawa ke dunia nyata.
[Itu mungkin karena pakunya saja yang sudah tidak kuat menahan foto, ada-ada saja.] Ibu belum membacanya.
Bus kembali berhenti, lampu merah menghalanginya, pedagang asongan, pengamen, langsung masuk menawarkan barang dan jasanya. Aku mengambil uang dari kantong celana.
"Nek, mau cemilan?" tanyaku, menawarkan untuk memilih makanan yang ditawarkan oleh pedagang.
"Tidak usah repot-repot, Nak. Nenek bawa tapi di tas."
"Ambil saja, Nek. Biar saya yang bayar." Kataku sambil mengambil dua kantong keripik singkong dan satu kantong tahu dengan buras.
"Mau apa, Nek? Mumpung ada yang bayarin." Kata sang pedagang dengan senyumannya. Senyuman yang berharap Nenek mengambil banyak dagangannya.
"Tahu sama buras saja," katanya yang langsung diambilkan oleh lelaki yang sedang menunggu pembeli lainnya.
Aku kembali memasukkan uang pengembalian lantas melahap buras. Inilah yang Aku suka ketika naik bus, banyak yang berjualan meski terkadang mereka sedikit memaksa supaya kita membelinya. Kita tidak akan kelaparan, dengan harga Lima ribu saja sudah mendapatkan dua cemilan.
"Terima kasih, Nak." Kata Nenek sambil melahap buras dengan giginya yang sudah tiada. Aku hanya mengangguk sambil menghabiskan sisa buras, sayangnya tidak ada bakwan yang menemaninya.
Namun, mulutku berhenti mengunyah ketika mataku melihat kedua perempuan paruh baya sedang memakan makanan yang membuat rasa mual kembali datang. Kantong plastik yang ada ditangannya bukanlah tahu, melainkan belatung sebesar jempol tangan. Bergerak-gerak ketika dimasukkan ke mulutnya. Aku lihat tadi mereka membeli tahu ke pedagang yang sama dengan tahu ku makan. Cepat-cepat aku memeriksa tahu yang ada di pangkuanku. Dan untungnya di dalam plastik benar-benar tahu, begitupun dengan yang dimakan oleh nenek, bukan belatung.
Tidak hanya kedua perempuan itu yang memakan belatung, lelaki berpakaian tentara dengan lahapnya memakan belatung ditambah cabe rawit. Aku mengucek-ngucek mata, memastikan apa yang Aku lihat benar. Mataku tidak menipu. Bukan hanya belatung saja, lelaki itu meminum darah yang ada di dalam botol. Itu benar-benar darah, bukan minuman yang berwarna merah. Samar-samar aku melihat tangan nenek mengusap wajahku sebelum aku tidak sadarkan diri.
Aku seperti terbawa oleh angin menuju suatu tempat yang sangat gelap sampai tanganku tidak bisa terlihat ketika membuka mata. Hanya terdengar semilir angin yang menerpaku perlahan, sepertinya Aku bukan berada di bus, karena tidak ada yang bisa Aku lihat di sini.
"Hallo," suaraku terdengar menggema memenuhi tempat dimana Aku berdiri. Aku mencoba melangkahkan kaki dengan hati-hati, takut menginjak sesuatu atau terperosok ke dalam jurang.
Suara gelak tawa anak kecil terdengar dari jauh, sedetik kemudian tawa itu seperti ada di depanku, sedetik kemudian kembali menjauh. Aku teringat akan cerita warga kampung soal yang Aku rasakan sekarang, mereka berkata tentang hewan yang bernama "buyut rongke" Aku tidak akan membahas apa hewan itu, melainkan suaranya yang terkadang dekat dan terkadang jauh. Ketika suaranya jauh berarti dia berada di dekat kita, begitupun sebaliknya. Suaranya dekat berarti dia jauh dari kita.
"Siapa di sana?" mataku melihat sekelebat seperti ada yang berlari ketika Aku memikirkan suara tawa anak kecil. Cepat sekali dia bergerak seperti mengelilingiku yang membuatku merasakan pusing.
Aku terjatuh ketika sosok sekelebat itu ada di depanku, wajahnya tidak jelas terlihat, hanya samar-samar Aku melihatnya, dia anak kecil laki-laki berwajah putih pucat.

KAMU SEDANG MEMBACA
Bus Hantu
HororMenceritakan sebuah perjalanan bus yang ternyata sebagian penumpangnya bukanlah manusia, Ajay dan Nenek berusaha sekuat tenaga untuk bisa keluar dari sana. Kejadian demi kejadian menyeramkan mereka lihat. Ternyata ada sebuah cerita dan rahasia dalam...