Part 6✓

37 3 0
                                    

Aku menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal, menatap nenek yang masih tertidur. Telingaku masih mendengar tertawaan anak kecil di kursi depanku dan sepertinya hanya Aku saja yang mendengarnya, karena semuanya tampak biasa saja sama halnya dengan Nenek, ia tertidur dengan pulas tanpa memperdulikan suara tawa anak kecil yang semakin lama semakin kencang serta memekakkan telinga.

Bus ini semakin aneh, setiap saatnya pasti saja Aku melihat atau mendengar hal yang ganjil, kalian pasti sudah tahu apa yang Aku rasakan, dan pastinya kalian akan menyuruhku untuk turun dari bus ini. Tapi, jiwa penasaranku masih menguasai diri untuk tetap duduk di kursi. Tak peduli semuanya akan menjadi menyeramkan seperti yang Aku lihat di film-film. Atau ini hanya film belaka, sutradara menutupi kamera supaya tidak diketahui oleh Aku.

"Kamu jangan menganggu, diam di rumah dan tunggu Nenek," katanya di dalam tidurnya yang lelap.

Aku tidak memperdulikan suara Nenek karena memperbaiki ponsel hal yang utama sekarang, membalas pesan ibu yang terhambat oleh sinyal. Batangan sinyal berwarna merah perlahan berganti hitam, satu batang, dua batang, tiga batang, bukan 4G melainkan H plus. Tapi tidak apa yang penting pesanku tersampaikan ke Ibu yang mungkin sekarang sedang panik karena anaknya tidak kunjung membalas pesannya.

Ponselku berdering, bukan dari ibu melainkan dari Diara.

[Kamu sudahdah pulang? Jali tadi cerita semuanya, katanya dia lihat Aku sama kamu di gang dekat rumah makan mamah, padahal Aku baru bangun dan jangan minta pap. Terus Jali juga ngasih foto yang kamu kirim, itu bener di bus? Matanya serem ih, kayak mata hantu apalagi pas foto dia dekat banget kamera, jelas banget itu hantu.] Mataku fokus ke kata "pap" maksudnya apa coba? Aku tahu bagaimana dia bangun tidur, wajahnya yang asli dan rambutnya berantakan seperti nenek lampir. Tapi Aku juga mengutuk Jali, bukannya dia sudah berjanji supaya tidak menyebarkan foto itu ke orang lain. Nyatanya sekarang Diara tahu kalau Aku berada di bus yang ada hantunya, dasar lelaki yang tidak bisa dipegang perkataannya.

[Iya udah pulang tadi pagi, soal dia lihat kita di gang, mungkin matanya aja kurang vitamin A dan foto itu, Aku juga heran kenapa bisa ada makhluknya. Padahal di kursi yang aku foto tidak ada siapa-siapa. Tiga kali Aku memotretnya dan makhluk itu semakin dekat di foto terakhir. Tapi sekarang tidak tahu dimana makhluk itu.] Pesan terkirim dan langsung di bacanya, terpaksa Aku menceritakannya. Aku masih menunggu pesan dari ibu tapi belum dibalasnya.

[Coba kamu foto lagi.] Aku memotret kursi untuk keempat kalinya dan hasilnya dia masih ada di sana. Mata itu masih ada di sana, menatap ke arah kamera dengan tajam seperti mata singa yang akan menerkam mangsanya.

[Makhluk itu masih ada di sana,] kata Diara melalui aplikasi pesan.

[Iya, tidak hanya mata itu yang Aku lihat, banyak keganjilan yang Aku rasakan dari pertama di terminal sampai naik bus ini. Aku juga melihat yang belum pernah dilihat sebelumnya, bus ini berhantu.]

[Kamu turun saja, ganti bus.]

[Tidak, bukan Ajay namanya kalau penakut.]

[Alah, nonton film setan aja tutup mata apalagi ini setan beneran, Aku gak percaya kamu seberani itu.] berbicara dengannya selalu membuatku tenang dan rasanya beban hilang, rasa takut tergantikan oleh rasa berani.

[Lihat saja, Aku pasti memecahkan misteri yang ada di bus ini.]

[Nanti mati bagaimana?]

[Aku?]

[Iya.] Ditambah emoticon sedih. Aku menepuk jidat.

[Astaghfirullah, ya do'akan saja Aku baik-baik saja, teman macam apa yang mendoakan seperti itu.]

[Ya sudah, Aku doakan semoga kamu selamat sampai tujuan dan memecahkan misteri bus itu. Udah dulu Aku mau mandi, badan lengket.]

[Tapi kamu harus berjanji jangan menyebabkan foto bus ini!]

[Siap, komandan.] Dia langsung tidak aktif. Aku menghela napas, benar juga apa yang dikatakan oleh Diara. Bagaimana kalau Aku mati dimakan oleh makhluk bus ini, dan bagaimana kalau semua orang di bus ini semuanya hantu, hanya Aku yang manusia. Bagaimana? Aku masih ingin tetap hidup dan bertemu dengan orang yang Aku sayang, di rumah maupun kampus. Tapi terlambat, tekadku sudah bulat untuk tetap duduk di bus ini apapun yang terjadi.

Bus kembali berhenti, bukan ada yang naik melainkan sang kondektur ingin mengisi saldo kartu tol di Indomaret, ia berlari-lari kecil masuk ke sana. Nenek yang ada di sampingku terbangun.

"Sudah sampai di Sukabumi?" tanyanya sambil mengucek-ngucek matanya.

"Belum, Nek. Itu kondekturnya ngisi kartu tol." Jawabku sambil melihat toko-toko di samping jalan. Bangunan yang sepertinya tidak terawat, penuh oleh dedaunan di depannya dan cat yang sudah pudar. Orang-orang berlalu lalang dengan wajah yang tertunduk. Pakaiannya penuh oleh tanah dan banyaknya sobekan. Aku melihat ke arah sisi lainnya, semuanya sama. Toko-toko yang menyeramkan dan orang-orang berjalan menunduk dengan pakaian yang sudah lama tidak diganti sepertinya.

"Kamu lihat apa, Nak?" tanya Nenek.

"Enggak, Nek. Itu kondekturnya lama,"

"Kamu bukan lihat hantu, kan?"

"Sebenernya.... Nenek lihat apa di sana?" Aku mencoba menanyakan itu untuk memastikan tidak hanya Aku yang melihatnya.

"Toko, banyak orang," jawabnya.

"Tokonya bagaimana, Nek? Menyeramkan? Terus pakaian orang-orangnya bagaimana?" Sang kondektur masuk lantas memberikan kartu tol ke supir, bus kembali melaju.

Sepanjang jalan Aku melihat toko dan orang-orang yang ada di pinggir jalan, semuanya sama. Toko yang penuh oleh dedaunan bahkan ada pohonan besar yang tumbang mengenai salah satu toko tapi toko itu tidak hancur dan orang-orangnya dengan santai berjalan.

"Kamu mau tahu apa yang aku lihat, Nak?" Mataku langsung beralih ke Nenek. Aku mengangguk bersiap mendengarkan.

"Dari awal Aku naik bus ini, semuanya terasa berbeda. Aku tahu kamu melihat hal yang aneh, kan?" Aku kembali mengangguk.

"Seperti yang kamu lihat, beberapa orang yang ada di bus ini bukanlah manusia." Aku menelan ludah, bulu kuduk langsung naik, keringat dingin mulai keluar. Ternyata tidak hanya Aku saja yang melihatnya.

"Mak....sud.....nya, Nek?" kataku tiba-tiba gagap.

"Bus ini adalah bus hantu," seperti ada sesuatu yang menusuk jantungku ketika mendengar apa yang dikatakan oleh Nenek. Ternyata benar apa yang Aku duga selama ini kalau bus memang berhantu.

"Ah, Nenek jangan bercanda."

"Aku tidak bercanda, sekarang Aku tanya, kamu lihat kondektur itu?" Aku mengangguk, melihatnya sedang meminta ongkos ke penumpang, dua kursi lagi menuju tempatku duduk.

"Apakah dia memiliki kepala?" Aku kembali menelan ludah saat melihatnya lagi, kepalanya tiba-tiba menghilang tidak ada di tempatnya. Aku memang sudah melihatnya tadi, tapi sedekat ini sesuatu hal yang membuatku serasa ingin pingsan. Dia sudah ada di depanku.

"Biarkan Aku yang membayarnya," kata Nenek sambil menyodorkan daun beberapa lembar, di tangan sang kondektur lembaran uang sama banyaknya dengan daun. Dia tidak banyak bicara karena bagaimana mau bicara kepala saja tidak punya, itu yang membuatku menahan tawa.

"Kamu ingin tahu bagaimana dia bisa tidak berkepala?" Aku mengangguk.

"Nanti akan Aku ceritakan, sekarang tutup matamu dan jangan dibuka sampai Aku menyuruh untuk membukanya." Belum sempat Aku bertanya, tiba-tiba awan hitam masuk memenuhi bus dan dengan cepat tangan Nenek menutup mataku.

"Ada apa, Nek?"

"Kamu jangan berisik dan tutup mata, ini hanya sebentar saja, sampai dia menghilang." Dia? Siapa? Samar-samar Aku mendengar langkah kaki dibarengi gelak tawa. Bukan langkah kaki yang seperti biasa, tapi langkah kaki yang membuat bus bergoyang.

Bus Hantu Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang