3. Cinta Di Martajasah

337 37 9
                                    

Rasa-rasanya baru kemarin tertawa bersama
Menikmati waktu beraroma surga
Mengapa kini kau harus pergi jauh
Meningalkanku dengan semua ketidakberdayaan ini
Terlambat!
Kau pergi sebelum sempat kubagi keluh kesahku


◇◇☆◇◇

Salah satu kegiatan wajib santri putri kala subuh adalah setoran Al-Qur'an selepas dzikir. Terutama bagi santri baru yang belum lancar membaca Al-Qur'an sebelum mondok.

Mereka terbagi beberapa kelompok. Di tunjuk berdasarkan asrama dan guru mengaji. Mulai dari Daerah A sampai Daerah D. Daerah A, B dan C berada di pondok selatan. Sedangkan Daerah D berada di bagian utara menyatu dengan kamar mandi dan tempat jemuran.

Abidah mendapat bagian mengaji pada ketua pengurus. Wanita berkulit hitam manis dengan penguasaan ilmu tajwid mengagumkan membuat Abidah bangga bisa berguru padanya. Pembawaannya yang bijak namun tegas menjadi panutan bagi semua santri yang berguru padanya.

Dengan jumlah 10 santri baru, Haira--nama ketua pengurus tersebut mengajari mereka dengan sabar. Ketika anak didiknya masih banyak yang belum lancar dan tidak menguasai ilmu tajwid dia ajari dengan telaten sampai bisa mempraktekkan.

Tiba giliran Abidah, gadis beranjak dewasa itu menyetor lanjutan bacaan dengan lancar. Hanya sesekali salah membaca huruf namun tidak memiliki teguran salah makhroj.

Meski dia masih santri baru, tetapi sejak usia lima tahun memang sudah belajar mengaji di rumah Aba Ahmad. Guru mengaji yang dipilih orang tuanya mengajar putri mereka. Aba Ahmad terkenal dengan sifat sabar yang luar biasa. Oleh sebab itu, semua murid yang pernah mengenyam ilmu Al-Qur'an padanya pasti dikenal masyarakat sebagai santri fasih.

"Bid, kamu hebat, ya. Setiap setoran pasti lancar. Nggak kayak aku yang belum bisa baca Qur'an." Puji Erina ketika mereka duduk santai di musollah usai setoran pagi.

"Nggak juga kok. Aku masih harus banyak belajar. Buktinya tadi masih ditegur sama mbak Haira." Ucapnya merendah.

"Nggak, Bid. Bacaan kamu jauh lebih baik dari bacaanku." Tukasnya lagi.

"Nggak usah sedih. Kita kudu belajar lebih giat lagi. Semangaaat!" Abidah mengepalkan tangan berharap teman se asramanya itu tidak lagi berkecil hati.

"Iya. Semangaat!" Akhirnya Erina terpancing juga. "Demi bapak-ibu aku harus bisa." Ucapnya dengan mimik lucu. Abidah tertawa melihat wajah berseri temannya.

"Ohya, maaf ya, Bid. Tiap kali kamu disakiti sama mbak-mbak senior aku nggak bisa bantu. Nggak bisa belain kamu." Erina berubah sedih.

Abidah sedikit terkejut. Namun akhirnya tersenyum, "Iya, nggak papa. Memang kita ini siapa. Hanya santri baru yang nggak punya kuasa apa-apa," balasnya menegarkan diri.

"Kamu yang sabar ya. Aku yakin kamu pasti kuat melewati semua ini. Aku selalu doain kamu. Dan doain mereka semoga cepat dibalas oleh Allah." Wajah gadis setahun lebih tua dari Abidah itu tampak geram.

Keduanya terdiam. Tak lama Abidah memutuskan mengajak Erina kembali ke asrama. Melepas mukena dan bersiap untuk mandi. Setengah jam lagi harus mengikuti kelas Jurmiyah. Dia tidak ingin terlambat dan malas dicecar oleh Nana dan Dewi untuk kesalahan sekecil apapun.

Pada saat tertentu dia akan berpikir mengapa semua anak asrama begitu membencinya. Kesalahan apa yang dia perbuat hingga menimbulkan kebencian berlarut-larut. Padahal dia tidak pernah membantah, tidak lancang pada yang lebih tua dan juga tidak berkata kasar selama berada di pesantren. Lalu mengapa semua orang seakan menghakiminya?

Ada Cinta Di Madura (On Go)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang