Memang apalagi yang bisa dilakukan anak kecil yang masih polos
Selain hanya diam mendengarkan
Ingin membela diri untuk kesalahan yang tak diperbuat
Tetapi, siapa yang akan peduli?◇◇☆◇◇
"Di suruh ngaji malah pulang. Kamu budek ya!" Suara lantang Nana sempat membuat Abidah terperanjat.
Waktu maghrib yang seharusnya di manfaatkan dengan damai dibuat heboh oleh Nana. Dia berkacak pinggang di depan Abidah yang menunduk takut.
"Balik sana!" Bentaknya mendorong Abidah.
"Tapi, mbak. Aku cuma pulang sebentar. Haus." Abidah membela diri menahan tubuhnya agar tidak jatuh.
"Emang gak bisa ditahan sampe jamaah isya'. Manja banget sih!"
"Aku kan cuma mau minum, mbak. Cuma sebentar. Setelah itu balik lagi ke musollah." Kali ini dia lebih berani membela diri.
"Pake mgelawan lagi. Kalo dikasih tau, nurut." Dewi menjewer telinga Abidah.
"Sakit, mbak." Ringisnya mengusap telinganya yang memerah.
"Balik sana. Kok bisa sih mbak Habibah punya anak asuh kayak kamu. Menyusahkan!"
Dengan air mata menggenang, Abidah kembali ke musollah. Dia begitu sedih dengan perlakuan kasar santri senior di asrama semakin kasar padanya. Apa salah jika dia hanya ingin minum sebentar lalu kembali melanjutkan tilawah sampai waktu isya' tiba?
Dalam diam gadis beranjak remaja itu menangis. Dia menutagar tangisnya tak terdengar santri yang lain. Al-Qur'an yang dipegangnya basah oleh air mata yang tak hentinya mengalir.
Dia tidak punya tempat berbagi. Tak ada yang sudi membela dari sikap kasar yang ditujukan padanya. Satu-satunya hal yang bisa dia lakukan hanya menjauh dan menangis.
Jika saja Habibah tinggal di pondok pasti nasib buruk tak akan menimpanya. Sayang, Habibah hanya pulang sebentar. Itupun ketika mengambil baju ganti. Dia tak sempat menanyakan kondisi Abidah selama ini karena tidak pernah bertemu. Ketika Habibah ke pondok biasanya Abidah sedang mengikuti kelas sore.
"Nyaik.... Abidah takut."
Ratapan Abidah hanya terdengar di langit. Bumi seakan enggan memihak padanya. Setelah merasa lebih baik, Abidah melanjutkan tilawah. Setitik dua titik air mata masih jatuh membasahi Al-Qur'an meski sudah tidak sederas sebelumnya.
"Perbanyak mengaji ya Nak. Ingat, kamu belajar Al-Qur'an pada Abah Ahmad. Maka kamu harus ngaji yang banyak biar pahalanya tetap mengalir pada beliau. Pun Nyaik dan Ramah."
Nasehat itu yang selalu dipegang Abidah. Baginya, jika bukan karena perjuangan orang tua, dia tidak akan bisa berada di tempat yang mulia. Karena itu apapun yang terjadi dia harus mememuhi harapan orang-oramg yang menyayanginya.
"Bid, nasi kamu dikerubuni semut tuh. Tadi aku buang ke tempat sampah daripada semutnya malah pindah ke kamar." Dewi berkata sambil selonjoran kaki. Mengipasi wajah dengan sobekan kulit buku.
Abidah sudah seringkali tidak makan malam karena nasi jatah kiriman sore selalu di buang ke tempat sampah. Berbagai alasan mereka katakan. Jika tidak dikerubuti semut, hampir basi, kadang mereka berkata kalau nasi bungkus miliknya terkena najis dari bawah saat piket sore.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ada Cinta Di Madura (On Go)
Spiritual#04 In Tahfidz 18Syawal1441H #03 In Tahfidz 22Dzulqo'dah1441H #02 In Tahfidz 24Jumadilawal1445H SEQUEL BASMALAH CINTA Judul Awal : TASBIH PENGANTAR RINDU #RomanceReligi