9. Benci Obat

299 27 8
                                    

Seringkali terlintas tanya.
Rasanya jadi orang sehat sempurna itu kayak gimana sih?

◇◇☆◇◇


Puskesmas Banyuates tampak lengang. Tidak ada hilir mudik para perawat yang sibuk memberikan pelayanan pada pasien. Sebagian dari mereka menunaikan kewajiban subuh. Sebagian lagi masih terlelap setelah menuntaskan jaga malam.

Langit masih gelap. Satu persatu bintang menghilang. Di kejauhan suara kokok ayam saling sahut-sahutan. Bersiap menyambut pagi yang berbeda dengan kemarin.

Di ruangan UGD gadis itu masih terbaring lemah. Dengan selang infus menancap di lengan kiri dan hidung yang tak lepas dari alat bantu pernapasan. Oksigen. Netranya terpejam rapat dengan wajah pucat.

Dia baru tertidur satu jam sebelumnya setelah semalaman terganggu oleh rasa sakit yang begitu menyiksa. Obat penenang yang diberikan dokter tidak mampu membuatnya terlelap.

"Ma......" suara gadis itu terdengar serak kala memanggil ibunya yang baru selesai solat subuh.

"Ada apa, nak? Dadanya sakit lagi?" Tampak raut khawatir di wajah wanita itu.

Pelan gadis itu menggeleng. "Maafin Abidah ya Ma. Udah nyusahin mama lagi." Ucapnya dengan suara bergetar menahan tangis. Ketika melihat wajah lelah ibunya perasaan bersalah menerpa.

Sebuah senyuman tulus mama Azzah perlihatkan. Tangannya terulur mengusap pipi putrinya yang sudah basah terkena air mata.

"Nggak kok. Mama lega kamu sudah lebih baik. Sedikitpun mama tidak direpotkan. Semua ini sudah takdir dari Allah." Ucapnya beralih menggenggam tangan kanan putrinya yang bebas.

"Tapi..."

"Mama bersyukur karena kamu anak mama yang kuat menjalani semua ini. Bagi mama, kesembuhan kamu adalah yang paling utama." Selanya.

Abidah terisak. Seketika haru memenuhi hatinya. Merasa beruntung memiliki ibu yang begitu tulus. Ibu yang selalu dia ingin peluk dalam keadaan apapun.

Semalam ketika gadis itu semakin parah, Haura bergerak cepat. Dia meminta pengurus kesehatan untuk mebawanya ke puskesmas. Pergerakan napasnya lemah. Bahkan netra gadis itu tertutup rapat meski tidak tertidur atau pingsan.

Pengurus langsung menyanggupi. Mereka langsung ke Dhalem untuk melapor. Beruntung mereka segera datang. Jika terlambat sedikit izin yang mereka inginkan tidak akan diperoleh. Lima menit berikutnya Kiai Anwar harus pergi menghadiri undangan pengajian.

"Kalian tanyakan ke orang tuanya. Mau di bawa ke puskesmas atau langsung pulang?" Saran beliau ketika mendengar penjelasan salah satu pengurus.

"Enggi," sahut mereka takdim. Lalu undur diri kembali ke pondok selatan.

Salah satu dari pengurus memanggil beberapa santri yang didaftarkan ikut mobil pondok. Ada sekitar tiga orang.

"Kalian duduk di tengah ya. Abidah nggak bisa duduk. Dia harus dibaringkan di kursi belakang."

Tanpa menjawab ketiga santri yang sedang sakit segera masuk ke kursi tengah. Santri yang mengantar langsung kembali masuk ke dalam kantor kunjung usai menutup pintu.

Beberapa santri putra yang sedang berjaga di gazebo depan kantor kunjung memperhatikan. Entah apa yang sedang mereka bicarakan. Sesekali terdengar candaan.

Jam sembilan malam mobil pondok bergerak maju. Tujuan pertama mereka rumah Abidah di dusun Cempaka Putih. Dusun paling utara di desa Cempaka.

Tiba di depan rumah Abidah, dua orang pengurus turun. Mama Azzah segera menyambut mereka dengan perasaan bingung. Tak biasanya mereka berkunjung di malam hari. Salah satu diantaranya menjelaskan dengan hati-hati.

Ada Cinta Di Madura (On Go)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang