"Air mata pun tidak bisa mendefinisikan perihal kesedihan yang sedang dirasakannya. Binar matanya menghilang seketika."
//
Setelah kepergian Dellano, hari-harinya terasa hampa dan kosong. Lavina merasa seperti kehilangan bagian dari dirinya sendiri, dan kesedihan yang mendalam terus menyelimuti hatinya.
Saat itu, ia diantar pulang oleh Rega. Sesampainya di rumah, Lavina merasa tubuhnya melemah, seperti kekuatannya telah terkuras habis. Dengan langkah gontai, ia merosotkan tubuhnya ke kursi, merasakan kelelahan yang begitu menyengat. Tanpa dapat menahan lagi, Lavina menenggelamkan kepalanya dalam lekukan tangan, membiarkan air mata yang tak terbendung lagi mengalir dengan deras.
Dalam keheningan yang menyelimuti ruangan, suara tangisannya memenuhi udara. Lavina merasa begitu menyesal, menyesal karena tidak mengetahui tentang keadaan Dellano dan malah berpikiran buruk tentangnya. Ia merasa bersalah karena telah membiarkan prasangka dan kekhawatirannya menguasai pikirannya, tanpa memberikan kesempatan pada Dellano untuk menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi.
//
Tiga tahun telah berlalu sejak peristiwa tragis kepergian Dellano. Setelah lulus kuliah, Lavina memilih untuk melanjutkan karirnya di dunia kerja. Meskipun kesedihan masih terasa dalam hatinya, namun Lavina memilih untuk melangkah maju dan menjalani hari-harinya seperti biasa.
Selama tiga tahun itu, yang menjadi penopang Lavina dari keterpurukan adalah Rega. Pemuda itu dengan setia berada di sisi Lavina. Meskipun terkadang masih terasa sulit untuk melupakan Dellano, namun dengan bantuan Rega, Lavina mulai memperoleh kedamaian dalam hatinya dan menerima keadaan yang ada.
"Kalo besok gimana?" tanya Regi pada Lavina, menatapnya dengan ekspresi yang penuh harap.
Lavina menjawab sambil menggaruk kepalanya yang sedikit berantakan, "Kayaknya bisa, tapi gue agak telat ya?"
Regi menggelengkan kepala dengan gerutu, "Yah lo mah sibuk terus."
Gadis itu hanya tersenyum dan mengangkat bahunya dengan santai, "Iyadeh, nanti gue izin pulang cepet."
"Akhirnya! Kalo lo gak ada, masa gue yang gantiin buat ngukur baju wedding-nya?" celetuk Regi dengan nada canda.
Lavina hanya tersenyum dan menggelengkan kepala, "Iya iya, ih bawel. Oh iya, Rega jemput jam berapa?"
"Katanya sih jam dua siang," jawab Regi.
"Cie, sebentar lagi bakal jadi kaka ipar gue, nih," godanya lagi, sambil menunjuk-nunjuk Lavina dengan ekspresi jenaka.
Komentar Regi membuat pipi Lavina terlihat memerah, dan ia hanya bisa tertawa kecil sambil menggelengkan kepala. Meskipun masih terasa aneh untuk membayangkan dirinya sebagai calon kakak ipar Regi. Ya, akhirnya Lavina sudah mulai membuka hatinya untuk Rega dan ia bisa melihat betapa tulusnya Rega terhadap dirinya.
Dua hari lagi adalah hari yang dinantikan bagi Lavina dan Rega: acara resepsi pernikahan mereka. Dalam suasana yang penuh kegembiraan dan haru, pasangan ini sibuk mempersiapkan segala hal untuk hari istimewa mereka.
Dari memilih dekorasi hingga menyesuaikan detail-detail terkecil, Lavina dan Rega bekerja sama. Mereka berdua tampak bahagia, tersenyum dan bercanda satu sama lain saat mereka menyiapkan segala sesuatu untuk acara spesial mereka. Acara resepsi pernikahan Lavina dan Rega berlangsung dengan meriah dan penuh kebahagiaan. Semua teman sekolah, termasuk Karina dan Catheryn, hadir untuk merayakan kebahagiaan pasangan ini.
Lavina dan Rega berdiri di depan altar, berpegangan tangan dengan penuh cinta dan harapan. Di hadapan keluarga dan teman-teman tercinta, mereka saling mengucapkan janji suci untuk saling mencintai, menghormati, dan mendukung satu sama lain sepanjang hidup mereka.
Terdapat keharuan yang tersirat di wajah Regi, sahabat terdekat Lavina, saat ia melihat kakak dan sahabatnya itu bersatu dalam ikatan suci pernikahan. Ia sangat terharu melihat bagaimana Lavina dan Rega menemukan kebahagiaan bersama setelah melewati berbagai cobaan dan rintangan.
//
"Mau aku bantuin, gak?" tawar Rega dengan ramah, mencoba untuk membantu Lavina yang sedang sibuk memasak.
Lavina menggelengkan kepala dengan lembut, "Nggak usah, sebentar lagi selesai. Lagian kamu baru pulang kerja pasti capek. Itu kopinya udah aku buatin di depan."
Meskipun Lavina menolak tawarannya, Rega tetap mendekat ke arah Lavina dan memeluknya dari belakang Lavina yang sedang fokus memasak makan malam. Sikap Rega yang tidak biasa membuat Lavina sedikit kaget.
"Kamu kenapa sih, tumben manja?" tanya Lavina dengan candaan, mencoba untuk mengerti apa yang ada di pikiran Rega.
Rega mengerucutkan bibirnya dengan manja, "Aku juga 'kan mau dimanja, kamu sibuk terus sama Arka," keluh Rega dengan nada lucu.
Lavina tersenyum dan mengusap lembut kepala Rega. Setelah itu, Lavina melanjutkan kegiatannya memasak, tetapi dalam hatinya, ia merasa bahagia karena bisa merawat dan memanjakan Rega seperti ini. Ia seperti sedang mengurus dua bayi.
"Onty! Mainannya jangan diambil!" teriak Arka dengan nada memperingatkan pada Regi yang sedang asyik bermain.
"Pinjam sebentar dong, Onty juga 'kan mau main," goda Regi dengan senyum nakalnya, mencoba untuk merayu Regi agar bisa meminjam mainannya.
"Mama! Liat nih, Onty udah gede masih pinjem mainan aku!" aduannya kepada mamanya, Lavina, dengan wajah cemberut yang menggemaskan.
"Jangan gitu, Papa sudah mengajari, kan? Kita harus saling apa?" tanya Rega pada Arka dengan lembut, mencoba mengingatkan putranya tentang pelajaran yang telah diajarkan sebelumnya.
"Belbagi?" jawab Arka dengan penuh antusiasme, mencoba untuk menjawab pertanyaan papanya.
"Nah betul! Pintar anak papa!" puji Rega dengan senyum bangga, sambil mengelus surai anak laki-lakinya yang baru berumur dua tahun, merasakan kebahagiaan yang mendalam melihat perkembangan dan kecerdasan sang anak.
Sementara itu, Lavina dan Rega hanya bisa tersenyum melihat tingkah laku lucu dari Arka dan Regi. Mereka berdua saling bertatapan dengan ekspresi bahagia, merasa bersyukur memiliki satu anak yang ceria dan penuh warna dalam kehidupan mereka.
Arkatama Mevano Maheratna, adalah kebahagiaan mereka seutuhnya.
Dalam kedamaian rumah tangga yang hangat dan harmonis ini, tawa dan candaan dari Arka menjadi penyemangat bagi Lavina dan Rega. Mereka merasa bahagia karena dapat menyaksikan kedekatan dan kebersamaan antara anak mereka dan Regi yang suka iseng, serta merasakan kehangatan dan cinta yang selalu mengalir di antara mereka sebagai keluarga.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Coldness of Memory and the Unerasable Fire [COMPLETED]
Teen Fiction"Pada akhirnya yang tersisa hanya kamu dan dirimu sendiri." --- Seorang siswi pindahan kelas 10 ternyata secara terang-terangan menaruh hatinya kepada salah satu kakak kelasnya yang sangat terkenal dingin dan bad habbitnya. Semuanya muncul karena t...